Bab 4 Membongkar Kedok Gadis Munafik
Suara tangis itu langsung menarik perhatian ketiga orang di ruang tamu.
Reza berlari paling cepat. Begitu melihat pemandangan di depan matanya, amarahnya langsung meluap. Dia segera menuntun Vienna bangun, lalu tanpa pikir panjang mengangkat tangan hendak menampar Ardelia.
Ardelia mundur selangkah dan menatapnya dengan dingin, "Apa maksudmu?"
Vienna menangis tersedu-sedu, "Kakak, jangan seperti itu. Wajar saja kalau Kak Ardelia marah. Aku sudah menempati posisinya sebagai nona besar. Huhu ... semua ini salahku!"
Saat bicara, dia sengaja memperlihatkan luka lecet di lengannya.
Melihat itu, Melisa merasa hatinya sakit, "Vienna, kamu ngomong apa? Ardelia, kenapa kamu melakukan itu pada Vienna? Dia sudah hidup bersama kami selama bertahun-tahun. Dia sudah seperti keluarga sendiri bagi kami! Lagi pula, penukaranmu dulu nggak ada hubungannya dengan dia!"
Wajah Ardelia tetap tenang, tapi tanpa disadari dia memancarkan aura yang sangat kuat membuat semua orang di sana sulit bernapas.
Ardelia berkata dingin, "Aku yang mendorongnya?"
Vienna segera berkata, "Kak Ardelia, semua salahku. Ayah, Ibu, Kakak, jangan salahkan Kak Ardelia. Mulai sekarang aku akan lebih jarang muncul di depan Kakak."
Kata-katanya yang terdengar penuh pengertian itu semakin membuat ketiga orang itu merasa kasihan.
Adrian berkata dengan tegas, "Ardelia, minta maaf pada adikmu."
Ardelia menyipitkan mata, "Bagaimana kalau aku nggak minta maaf?"
Reza membentaknya, "Keluarga Lume nggak menyambut orang yang hatinya busuk! Kalau kamu nggak mau minta maaf, jangan harap bisa masuk rumah ini lagi!"
Ardelia memejamkan mata sebentar, membuka ponsel dan menyalakan rekaman suara.
"Kakak, akhirnya kamu berhasil menemukan Keluarga Lume setelah mengerahkan segala upaya. Tapi kamu sudah hidup lama di lingkungan rakyat biasa. Sekarang sudah kembali ke rumah, jangan bawa kebiasaan buruk di sana ke sini."
Itu suara Vienna, penuh nada meremehkan.
Ardelia, "Rakyat biasa sangat baik. Seenggaknya, mereka nggak bermuka dua."
"Kakak, terserah kamu mau ngomong apa. Pokoknya kamu nggak mungkin bisa kembali ke rumah ini."
Setelah itu terdengar suara tangisan keras.
Adrian, Melisa, dan Reza menatap Vienna dengan tatapan tidak percaya.
Wajah Vienna langsung pucat pasi.
Kapan Ardelia menyalakan perekam suara?
Wanita sialan! Orang kampung sialan memang penuh akal busuk!
Melisa terkejut dan kecewa, "Vienna, jadi kamu yang mengatur semua ini? Kenapa kamu bisa melakukan hal seperti ini?"
Apakah ini Vienna yang biasanya patuh dan baik?
Namun, suara orang dalam rekaman itu terdengar jahat dan egois!
Vienna menatap wajah kecewa keluarganya, lalu air matanya langsung bercucuran. Dia segera berlutut di lantai, "Maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku sudah salah. Aku hanya terlalu takut kehilangan kalian, hu ... hu ... maaf, aku sudah mengecewakan kalian!"
Reza juga terkejut, tapi begitu melihat sikap Vienna, hatinya langsung luluh dan membantunya berdiri, "Bodoh, kamu tetap yang paling penting di mata kami."
Lalu Reza menatap orang tuanya, "Ayah, Ibu, memangnya kalian nggak tahu sifat Vienna? Dia selalu baik hati dan melakukan ini pasti karena terlalu takut kehilangan kalian."
Melisa tampak bimbang. Saat melihat Vienna menangis sesenggukan, akhirnya dia pun luluh. Dia berbalik, ingin menenangkan Ardelia tapi hanya melihat sosoknya menjauh. Dia terkejut dan merasa sedikit cemas, "Ardelia!"
Reza mendengus dingin, "Kalau dia mau pergi, biarkan saja. Sikapnya seperti kita yang memohonnya kembali!"
"Dasar kamu!" Melisa menegurnya, tapi nadanya tidak keras. "Bagaimanapun juga, dia tetap adikmu."
Reza berkata tegas, "Adikku hanya Vienna seorang!"
Awalnya dia penasaran dengan adik kandungnya itu, tapi setelah bertemu hari ini, dia merasa gadis itu keras kepala dan galak, tidak menggemaskan seperti Vienna.
Melisa kesal, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya dia menatap Adrian, "Sayang, apa yang harus kita lakukan?"
Adrian terdiam sejenak, lalu berkata datar, "Mana mungkin semudah itu kalau ingin menjadi bagian dari keluarga kaya. Dia dibesarkan di desa, sifatnya masih keras. Biarkan dia menenangkan diri dulu sebelum kembali lagi, itu justru hal yang bagus."
"Benar juga, bagaimanapun Ardelia tumbuh besar di kampung, nggak tahu lika-liku kehidupan keluarga kaya. Nanti harus cari orang untuk mengajarinya tata krama dan etika." Melisa menghela napas, namun hatinya tetap merasa sedikit sesak. Bagaimanapun juga, Ardelia adalah anak kandung yang lahir dari rahimnya sendiri.
Melihat perubahan emosi Melisa, Vienna menatapnya sebentar, lalu tiba-tiba tersenyum, "Ibu, Bu Elvira datang ke Kota Jayata! Dia setuju untuk bertemu denganku!"
"Benarkah?" Mata Melisa langsung berbinar, bayangan muram tadi seketika sirna, "Bu Elvira adalah juri di kompetisi piano nasional. Kalau kamu bisa mendapatkan bimbingannya, akan lebih mudah untuk menjadi juara! Ayo, kita pergi bertemu Bu Elvira."
...
Ardelia sudah berjalan sampai ke pintu.
Tidak ada satu pun yang datang mencarinya, tapi Ardelia sama sekali tidak kecewa. Ini justru sesuai dugaan.
Vienna memang menjijikkan dan munafik, tapi kesombongannya itu jelas datang dari kasih sayang berlebihan Keluarga Lume. Kalau Keluarga Lume hanya peduli pada Vienna, apa gunanya dia kembali?
Sayangnya, dia tidak membawa keluar hadiah yang dibawanya tadi.
Ardelia masuk ke mobil. Dia tidak makan banyak saat makan siang tadi, jadi mencari restoran terkenal di Kota Jayata.
Begitu masuk, Ardelia langsung menanyakan ruang VIP.
Pelayan menjawab dengan sopan, "Maaf, ruang VIP sudah penuh. Bagaimana kalau duduk di meja biasa?"
Ardelia agak tidak terbiasa makan di tempat ramai. Dia sedang ragu ketika seseorang tiba-tiba menabraknya dari belakang. Dia mengangkat kepala dan terkejut begitu melihat orang itu.