Bab 7
Luka cambuk kali ini membuat Kirana harus berbaring di tempat tidur dua hari penuh.
Sampai akhirnya, ponselnya bergetar, seorang staf mengabarkan kalau seluruh proses pembelian pulau sudah selesai. Kini pulau terpencil itu sepenuhnya menjadi miliknya!
Dia hampir tidak bisa menahan rasa senangnya dan langsung menekan nomor telepon itu!
Orang di seberang kembali memastikan berulang kali. "Nona Kirana, Anda yakin tiga hari lagi ingin tinggal di pulau itu?"
Kirana belum pernah setegas ini. "Ya, aku yakin."
Staf itu menjawab, "Baik, Nona Kirana. Tiga hari lagi kami akan membawa Anda masuk pulau tepat waktu."
Baru saja telepon ditutup, Harvey tiba-tiba masuk.
"Mau masuk pulau apa?"
Kirana menyimpan ponsel, mengalihkan topik. "Nggak apa-apa. Paman, ada perlu apa mencariku?"
Harvey tidak mengejar pertanyaan itu, hanya berkata, "Karya yang kamu pakai untuk ikut lomba kemarin menang. Panitia undang kamu lusa buat terima penghargaan."
Begitu Harvey menyebutkan itu, barulah Kirana teringat. Dia memang pandai menggambar, sebulan lalu masuk final lomba paling bergengsi di negara itu. Tidak disangka benar-benar menang.
Pada hari penyerahan penghargaan, Grace membawa seluruh keluarga, bersikeras ikut hadir.
"Kirana, kamu adikku. Tentu saja kita harus menyaksikan hari gembiramu!"
Tapi kalimat berikutnya terdengar seperti keluhan yang disengaja.
"Andai aku juga bisa menang. Sayangnya kondisi tubuhku nggak sehat, jadi aku nggak sempat belajar menggambar."
"Tapi nggak apa-apa, kamu menang itu sama saja seperti aku yang menang!"
Kirana tidak menjawab, tapi dia merasakan firasat buruk.
Acara dimulai dan akhirnya tiba pada pengumuman pemenang medali emas.
Kirana duduk di bawah panggung, tubuhnya tegang sampai berkeringat.
Penghargaan ini sangat penting baginya. Ini adalah pengakuan atas karyanya, juga pengakuan dari dunia seni.
Pembawa acara membuka amplop, terlihat sempat bingung, tapi kembali normal dan mengumumkan.
"Selamat kepada pemenang medali emas ... Grace Limanta!"
Satu ruangan langsung heboh. Banyak yang belum pernah mendengar nama itu dan berbisik.
"Siapa Grace Limanta? Pendatang baru ya?"
"Setahu aku yang seharusnya menang itu lukisan Senja dari Kirana!"
Kirana terpaku cukup lama sebelum akhirnya sadar. Dia hendak berdiri untuk bertanya pada pihak panitia, tapi George menahannya.
"Cukup. Satu jam lalu aku yang hubungi panitia buat ganti nama, biar Grace yang naik panggung."
"Grace menikmati menjadi sorotan. Mulai sekarang, semua karyamu akan memakai namanya."
Kirana menoleh dengan tidak percaya. Sementara itu Farhan dan Monica menatap Grace di panggung dengan bangga. Lalu melirik sekilas ke arah Kirana sambil berkata. "Kamu jangan perhitungan dengan kakakmu. Lagi pula itu hanya sebuah penghargaan saja."
Harvey pun hanya fokus menatap Grace yang bersinar di atas panggung, sama sekali tidak melihat wajah Kirana yang sudah pucat.
Saat itu juga, tubuhnya terasa dingin.
Sekali lagi, Grace mencuri cahaya yang seharusnya menjadi miliknya.
Para pelakunya adalah semua orang itu.
Di tengah tepuk tangan, Grace berterima kasih pada semua orang, kecuali Kirana.
Kembali ke rumah Keluarga Limanta, Kirana masuk ke kamarnya dan mengeluarkan semua karyanya.
Juga boneka-boneka yang dia beli setelah menabung uang jajan tiga bulan. Boneka kayu yang dia pahat diam-diam sendirian. Baju-bajunya yang lusuh.
Kemudian, semuanya dia bawa ke ruang tamu dan melemparkannya ke depan Grace.
Grace terkejut. "Kirana, apa yang kamu lakukan?"
Kirana menunjuk semua barang itu, suaranya tenang. "Bukankah mereka bilang semua karyaku harus aku kasih ke kamu? Bukan hanya karya, semua barangku juga, aku kasih padamu."
Setelah mengatakan itu, dia menyapu pandangan ke arah semua orang, lalu mentertawakan dirinya sendiri dalam hati.
Selain itu, ayah, ibu, kakak dan paman, semuanya dia tidak mau lagi. Untuk Grace saja!