Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Keesokan paginya, departemen desain riuh. Begitu Rosie melangkah masuk, semua mata menatap ke arahnya dan banyak yang berbisik di belakang. Dengan satu tatapan, Rosie bisa merasakan kalau keramaian itu mungkin ditujukan padanya. "Rosie, semalam departemen desain kemalingan," bisik Erin di sampingnya, "naskah desain yang disimpan di kantor direktur untuk lomba, malah ada mejamu." Begitu mendengar itu, Rosie langsung paham. Setiap akhir tahun, ada kompetisi antar desainer di departemen desain. Setelah naskah desain selesai, banyak rekan kerja yang menyerahkannya ke Pak Nathan untuk disimpan. Kalau sampai hilang atau bocor, kerja keras mereka sia-sia, bahkan harus membuat ulang. Itu sama saja buang waktu dan memberi peluang berpikir bagi pesaing. Rosie tidak bicara, hanya menatap sekeliling. Tatapan tajamnya membuat semua orang terdiam, mereka tidak menyangka Rosie masih bisa begitu tenang. Suasana departemen desain yang tadinya heboh, mendadak senyap. Rosie tersenyum tipis. Tas dan tablet masih belum sempat ditaruh, tapi di meja kerjanya sudah ada setumpuk berkas. Dengan jari telunjuk dan ibu jari, Rosie mengambil naskah itu dengan ekspresi jijik. Kelopak matanya terangkat dan melirik seisi ruangan sekali lagi. "Sepertinya naskah desain kalian bisa pindah sendiri ke mejaku." Dia melepas berkas itu dengan santai. Benar saja, semua naskah tertata rapi di mejanya. Semua orang sudah tahu naskah ada di atas meja, tapi tidak seorang pun yang berani ambil. Mereka menunggu Rosie datang supaya bisa ditanyai secara langsung. "Rosie! Kalau mau jadi juara, nggak perlu sampai begini!" "Semalam kamu lembur, ternyata mengintip karya kami!" "Karya itu seharusnya rahasia! Tapi kamu sudah melihat karya kita, bukankah ini nggak adil?" ... Mereka berteriak menuduh Rosie. Rosie tetap santai. "Kalau aku mau mengintip, cukup foto saja dan melihatnya di rumah. Kenapa aku masih menyimpan naskah di meja? Aku juga bisa membuangnya ke tempat sampah supaya kalian frustrasi! Kenapa harus posting lembur di IG? Bukankah aku seharusnya diam saja? Siapa yang akan melakukan hal bodoh macam ini?" Semua orang terdiam, tidak bisa membantah. Namun beberapa senior tetap tidak puas, ingin menginjaknya sekarang juga. Rosie tidak ingin mendengarnya lagi. Dia langsung menaruh semua naskah itu di atas printer. Sebenarnya dia bukan orang yang mudah marah, setidaknya tidak akan membuat masalah saat baru masuk perusahaan. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini dia benar-benar tidak tahan lagi menelan semua perlakuan tidak adil padanya. "Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut!" Nathan masuk ke ruangan, di belakangnya ada Carlo dan Samuel. Untuk pertama kalinya, bos datang tiba-tiba membuat semua orang langsung bungkam. Rosie melirik Nathan, tapi tatapannya tanpa sengaja bertemu dengan Carlo yang berdiri di belakang. Jadi buru-buru mengalihkan pandangan. "Nggak ada apa-apa, semalam Bu Rosie mengintip naskah desain untuk lomba akhir tahun dan kami hanya melontarkan sedikit keluhan." Entah siapa yang mulai bicara. "Aku nggak melakukannya." Nada suara Rosie terdengar tegas. Saat ini, dia menyadari Carlo terus menatapnya. Tatapan dingin itu membuatnya takut, sampai-sampai waktu bicara pun terdengar agak gugup. "Segala sesuatu harus berdasarkan bukti. Meski aku pulang sangat larut tadi malam, bukan berarti aku yang melakukannya. Lagi pula, aku merasa karya para rekan kerja di sini, tidak ada nilai referensi bagiku. Aku nggak merasa karya mereka akan membuatku meraih juara pertama di akhir tahun." "..." Departemen desain kembali gaduh. Ada yang bilang dia sombong, ada yang bilang dia tinggi hati, juga ada yang bilang dia asal bicara. Mendengar itu, Carlo menundukkan kepala sedikit dan tersenyum tipis. "Periksa rekaman CCTV saja," ujar Nathan. "Petugas keamanan bilang kemarin malam sedang perbaikan, kamera nggak bisa dibuka. Hanya terlihat Bu Rosie sedang bekerja di kantor, tapi nggak kelihatan naskah desain itu." Erin menjawab dengan suara gemetar. Begitu peristiwa itu terjadi, Erin langsung memeriksa kamera untuk membela sahabatnya. Karena kasus ini belum ada kesimpulan, perdebatan terus berlanjut. Rosie memilih diam, sambil memikirkan kenapa tumpukan naskah desain itu bisa sampai ke mejanya. "Rosie." Suara tenang muncul dari kerumunan dan semua orang langsung diam. Itu Carlo. "Ikut denganku." Nada suaranya datar, tetap dingin seperti biasa. Setelah mengucapkannya, dia langsung berjalan ke lift. Saat dia berbalik, semua orang mulai berbisik. Mereka yakin Rosie akan dimarahi habis-habisan. Tapi Rosie tidak takut, dia mengikutinya sambil berjalan tegak. Begitu masuk lift, aroma kayu cendana dari tubuh Carlo tercium dan perlahan menenangkan kegelisahan Rosie. Begitu masuk ke kantornya, Samuel keluar dan menutup pintu. "Duduklah, kita sarapan bersama." Dia menunjuk meja dengan sarapan sederhana. "Hah?" Rosie sedikit bingung. Apa maksudnya? Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi perutnya malah berbunyi tidak tepat waktu. Carlo duduk, membuka alat makan sekali pakai, lalu menyerahkannya pada Rosie yang masih berdiri kaku. Rosie tidak mengerti mengapa situasinya bisa berbalik begitu cepat, tapi karena godaan makanan, akhirnya dia menerima alat makan dan duduk di hadapannya. Hari ini Rosie memakai celana santai longgar, dipadukan kaos lengan pendek dengan kerah setengah tinggi. Rambut digulung acak tapi tetap rapi dan terlihat menggoda. Sesekali Carlo menatapnya tanpa sengaja. Rosie makan perlahan, Carlo menyesuaikan tempo makannya, duduk santai menemaninya. "Sudah kenyang?" tanya Carlo. "Iya." Rosie menarik selembar tisu untuk menyeka mulutnya. Bulan ini karena sibuk urusan perayaan nasional, sudah lama dia tidak sarapan dengan benar. "Kerja yang baik, pergilah." Carlo mulai membereskan meja. Rosie buru-buru membantunya dan tangannya tanpa sengaja menyentuh tangan Carlo yang hangat. Dia segera menariknya dan meletakkan di belakang. "Aku jalan dulu." "Hmm." Carlo bahkan tidak mengangkat kepalanya. Rosie tidak mengerti kenapa dia memanggilnya sekarang. Dia kira setelah sarapan mungkin akan membahas naskah desain, tapi ternyata Carlo tidak bertanya apa pun. Saat sampai di pintu, Rosie berhenti dan membalikkan badan, "Pak Carlo." "Hmm." Dia membuang kotak makanan ke tempat sampah, menepuk debu di tangan dan mata beningnya menatap Rosie. "Urusan kita, jangan kasih tahu orang lain." "Urusan yang mana?" Urusan yang mana? "Semuanya." "Baik." Carlo menjawab singkat, lalu kembali ke mejanya. Rosie menghela napas lega, tidak mengerti maksud CEO dominan itu. Setelah kembali ke mejanya, suasana kantor terasa sangat tegang. "Mau nggak sisa bakpaoku?" Erin mendorong bakpao ke Rosie. "Nggak perlu, aku sudah kenyang." Rosie duduk. "Iya juga, marah sampai kenyang!" Tak lama kemudian, Samuel datang dan memanggil Nathan ke atas. Suara obrolan semakin ramai, orang-orang mulai berspekulasi tanpa takut. "Bos dingin tanpa hasrat itu nggak memarahimu?" Erin bertanya pelan. "Nggak." "Kalau begitu, apa yang kamu lakukan selama belasan menit di atas?" "Hanya menanyakan beberapa hal tentang kejadian pagi tadi." Rosie merasa bersalah, jadi buru-buru menghentikan topik dan mulai bekerja.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.