Bab 8
Setelah bergulat dengan pikirannya semalaman, Rosie akhirnya memutuskan untuk langsung menemui Carlo.
Bagaimanapun juga, ini menyangkut bisnis bos dan dia juga tidak mau sampai benar-benar bermusuhan dengan Liana dan tidak mempermalukannya di kantor.
Saat kembali ke kantor, masih terdengar gunjingan rekan kerja.
Namun Rosie paling mudah menutup telinga dan tidak peduli dengan desas-desus itu. Dia duduk di meja kerjanya dan menelepon Samuel.
Butuh waktu lama sampai telepon diangkat.
"Tolong tanyakan, apakah Pak Carlo ada waktu hari ini? Aku ingin membuat janji."
"Kamu langsung naik saja."
Rosie bisa mendengar kalau Samuel bahkan tidak perlu berpikir sebelum menjawabnya.
Dia masuk lift, Samuel menekan tombol dari atas, Rosie pun bisa naik sampai lantai 30.
Rosie tidak langsung masuk ke kantor CEO, tapi bertanya pada Samuel yang ada di sampingnya.
"Apakah bos ada di sampingmu saat aku telepon tadi?"
"Neng, otakmu terbuat dari apa? Kamu pintar sekali!"
Rosie menghela napas. Samuel bahkan tidak lapor dulu, langsung menyuruhnya naik. Jadi itu hanya ada satu kemungkinan, pembicaraan mereka pasti sudah terdengar oleh bos.
Rosie paling tidak suka perasaan ini. Rasanya seperti sejak mereka tidur bersama, Carlo langsung menaruh perhatian khusus padanya.
Tali merah dewa jodoh seolah diikat paksa Carlo ke tangannya.
Rosie mengetuk pintu kantor CEO dengan hati was-was.
"Masuk." Hari ini Carlo masih dengan setelan hitam, seolah dia hanya punya satu setelan dan tidak pernah ganti.
"Ada apa?" Dia menaruh pena dan menatap Rosie dengan serius.
Rosie pun menceritakan seluruh kejadian dari awal hingga akhir.
Carlo mendengarkan tanpa buru-buru memberi tanggapan, hanya berkata.
"Urusan ini biar aku yang tangani."
"Aku hanya butuh dia minta maaf secara langsung. Tentu saja, nggak boleh sampai mengganggu urusan perusahaan."
Meski Rosie tahu mana yang lebih penting, tapi terkadang dia tetap keras kepala.
Carlo bergumam pelan, bersandar di kursinya, lalu berkata dengan nada penuh makna.
"Apa pun keputusanmu dalam hal ini, itu nggak akan memengaruhi perusahaan. Kamu yakin nggak mau mempublikasikannya?"
"Departemen pengangkutan Grup Soegiharto bekerja sama dengan Carlomase Fashion, sedikit banyak pasti akan terkena imbas." Rosie memilih menghindari masalah yang tidak perlu.
"Mengkhawatirkan aku?"
"..." Padahal sedang membicarakan hal serius, tapi dengan satu kalimat itu wajah Rosie langsung terasa panas. "Bukan."
Hening ....
"Liana juga seorang wanita. Dia pasti punya alasannya sendiri melakukan itu. Jangan terlalu keras padanya."
"Terserah kamu."
Kalimat Carlo terdengar seperti sedang berbicara pada pasangan dekat.
Rosie benar-benar ingin menampar dirinya sendiri. Dia seharusnya tidak perlu datang menemuinya.
Tidak lama kemudian, Samuel datang membawa Liana. Rosie duduk di sofa.
Saat melihat Rosie, Liana tampak sedikit canggung.
"Kak Carlo, kamu mencariku?"
Panggilan Kak Carlo itu langsung membuat bulu kuduk Rosie berdiri.
"Panggil aku apa?"
Carlo yang sedari tadi tidak mengangkat kepala, tiba-tiba menyipitkan mata. Dia mengangkat kelopak mata dan meliriknya.
Liana kira dengan menunjukkan identitas, Carlo akan memberi muka, tidak disangka justru kena omel.
Dia buru-buru menggubah panggilannya, "Pak Carlo."
Carlo mengatup rahang dan kembali menunduk membaca dokumen.
"Bukan aku yang mencarimu, tapi dia."
Tatapan Liana pun menatap Rosie dengan gugup.
Rosie tersenyum ramah dan melambaikan tangannya, "Halo, Bu Liana!"
Dia bahkan kagum dengan mentalnya sendiri, bahkan dalam situasi seperti ini masih bisa tersenyum begitu tulus.
"Rosie, ada apa? Memangnya nggak bisa diselesaikan secara pribadi sampai harus mengganggu Kak Carlo segala?"
Nada suara Liana langsung berubah.
Dia masih bertaruh kalau Rosie tidak tahu apa-apa.
Saat mendengar panggilan Kak Carlo, dada Carlo terasa sesak. Ketika dia ingin bicara, Rosie lebih dulu menanggapi.
"Aku sebenarnya nggak mau mengganggu Kak Carlo, tapi kalau sampai mengganggu para desainer di departemen desain, aku khawatir kamu yang nggak sanggup menanggungnya."
Rosie mengeluarkan ponsel, memperlihatkan rekaman video.
Wajah Liana langsung pucat pasi, kakinya gemetar dan tangannya mengepal erat.
"Huh, Kak Carlo ...." Carlo mendengus dan bergumam pelan, lalu memilih tidak mencampuri pertengkaran itu.
"Kamu ...."
Liana hampir tidak percaya, hanya dalam waktu sehari Rosie sudah menemukan kebenarannya!
"Dengan melakukan hal seperti ini, memangnya kamu nggak peduli lagi dengan nama baikmu sebagai desainer? Kalau bukan Kak Carlo yang menahanku, aku sudah menghancurkan departemen desain." Rosie menatapnya dengan tenang.
Carlo yang duduk di kursinya mengerutkan kening, memerhatikan Rosie yang tetap duduk santai di sofa.
"Liana, minta maaf, lalu pergi," kata Carlo.
"Kak Carlo!" Liana merengek seperti anak kecil dan menoleh manja padanya.
"Panggil aku Pak Carlo."
"Dia bisa memanggilmu Kak Carlo, kenapa aku nggak boleh?"
"Kamu juga nggak boleh." Carlo menunjuk Rosie, nada suaranya meninggi.
Rosie hanya terdiam, bibirnya terkatup rapat.
Meski kesal, tapi karena Carlo sudah bicara, Liana terpaksa membungkuk dan meminta maaf dengan nada rendah hati.
"Maaf Bu Rosie, aku nggak seharusnya memfitnahmu. Aku nggak akan mengulanginya lagi."
"Baiklah." Rosie tersenyum, akhirnya bisa bernapas lega.
Carlo melambaikan tangan, menyuruh mereka pergi. Mendengar dua wanita bertengkar membuat kepalanya berdengung.
Liana pun keluar dengan wajah penuh amarah.
"Tunggu." Carlo tiba-tiba teringat sesuatu.
Dia mengangkat kepala, lalu bertanya untuk mengujinya, "Malam itu, waktu pulang, kamu nggak bertemu orang lain, 'kan?"
Rosie mengepalkan tangannya. Jadi, Carlo juga melihatnya waktu itu. Dari sikapnya, sepertinya Carlo lebih cemas daripada dirinya sendiri.
Tatapan dingin Liana melirik Rosie di belakangnya, "Nggak ada."
Carlo mengangguk tipis, "Baik, kamu keluar dulu. Tutup pintunya. Rosie, kamu tetap di sini."
Liana kembali melirik Rosie dengan dingin, lalu pergi dengan penuh amarah.
Jantung Rosie berdetak kencang, "Pak Carlo, ada urusan apa lagi?"
"Ke sini."
Rosie menurut melangkah ke meja kerjanya.
Carlo terlihat angkuh, bersandar di kursi putar, kedua tangannya bertumpu santai di pegangan kursi.
"Kamu begitu yakin aku nggak akan memarahimu? Hmm?"
"Pak Carlo, aku nggak mengerti maksudmu." Rosie berpura-pura bodoh.
Dia tahu dengan kepintaran Carlo pasti sudah bisa membaca pikirannya, tapi Rosie ingin menguji reaksinya.
Dia ingin memastikan apakah ucapannya dulu, mau coba jadi Nyonya Abner itu benar-benar serius atau hanya rasa bersalah karena mereka pernah tidur bersama.
"Huh, sekarang tahu panggil aku Pak Carlo? Bukankah barusan kamu memanggil Kak Carlo dengan sangat lancar?"
Carlo melihat Rosie yang menahan senyum tapi tidak berani. Dia ingin marah, tapi tidak bisa melakukan apa-apa padanya.
"Maaf, aku nggak akan melakukannya lagi."
Dia menahan diri dan sorot matanya tampak gelisah, lalu berhenti di kerah kemejanya.
Dalam sekejap, dia teringat kemeja yang dirusaknya semalam.
Carlo mengikuti arah pandangannya, lalu melirik kerah kemejanya.
"Apa maksudmu?"
Mendengar itu, Rosie panik dan buru-buru menggeleng.
Carlo justru semakin tertarik, bersandar santai di kursi dan menatapnya dengan malas.
"Kenapa? Mengincar tubuhku?"
"Bukan, bukan begitu ...." Wajah Rosie memerah. "Kalau nggak ada urusan lain, aku permisi dulu, Pak Carlo."
Belum sempat Carlo menjawab, Rosie sudah kabur.
Carlo tertawa kecil.
Menarik.