Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 10

Rafael menghentikan ketukan jarinya secara naluriah. Sepasang matanya yang memikat itu, yang sedang menatap Dreya, samar-samar memancarkan senyuman. Dia mengira Dreya hanyalah bunga yang terlalu dimanjakan hingga rapuh. Tidak disangka, Dreya justru tumbuh seperti rumput liar yang tegar melawan angin. Ternyata ... Seorang wanita penuh ambisi. Juga berhasil menarik perhatiannya. Dreya tentu menyadari perubahan ekspresi Rafael. Namun, apa yang dikatakannya memang adalah suara hatinya. Situasi sudah berubah. Selama dia memiliki kesempatan untuk melepaskan diri dari jeratan lumpur, siapa pun bisa menjadi batu pijakannya. "Nggak nyangka, Nona Dreya ternyata wanita yang begitu ambisius." Rafael perlahan berdiri, kedua tangannya bertumpu di sisi meja. Dia menatap Dreya dan lanjut berkata, "Sungguh sayang sekali keponakanku kehilangan dirimu." Dreya tersenyum dingin. Di mata Javi hanya ada wanita yang dicintainya, Yevani. Perceraian ini justru akan membuatnya gembira. Hanya orang lain yang akan menggunakan kata penyesalan seperti itu. "Orang akan berubah, suatu hubungan pun akan berakhir," ujar Dreya dengan tenang. "Yang penting adalah proses kebersamaan itu sendiri. Karena pada akhirnya kita akan sadar kalau hasilnya selalu sama." Sorot matanya penuh dengan kehampaan yang tidak berujung. Rafael tidak tahu banyak tentang pernikahan mereka, tetapi dari kata-kata Dreya, dia bisa merasakan pengorbanan yang dalam. Melihat Rafael tidak bersuara lagi, Dreya berencana untuk pergi. "Sudah malam. Pak Rafael sebaiknya istirahat lebih awal. Aku pamit dulu." Dia pun berbalik hendak pergi. Namun, suara Rafael menghentikannya. "Nona Dreya." "Ada apa?" Rafael mengeluarkan sebuah kartu nama dan menyerahkannya padanya. "Pernikahan di keluarga besar nggak semudah yang kamu kira. Menikah sulit, bercerai lebih sulit. Kalau kamu butuh bantuan, aku bisa membantumu." Dreya melihat kartu nama itu, dan langsung tertegun Dia tahu, setelah bercerai, dia akan mendapatkan setengah harta Javi. Dia paham betul maksud kata-kata Rafael. Dia hanya tidak menyangka Rafael akan menawarkan bantuan kepadanya. Melihat Dreya diam, Rafael menambahkan, "Aku punya tim pengacara terbaik. Kalau perlu, kamu bisa mencariku." "Terima kasih, Pak Rafael." Setelah berpikir sejenak, Dreya menerima kartu nama itu. Rafael berkata lagi, "Kondisimu belum sepenuhnya pulih, perlu diantar pulang sopir?" "Nggak usah." Dreya membalas tatapan Rafael, sorot matanya sedikit melembut. "Di sini lebih mudah panggil taksi daripada di rumah lama. Aku bisa pulang sendiri." Tanpa menunggu jawaban, Dreya langsung melangkah pergi. Rafael menatap punggungnya yang menjauh, senyum kecil di bibirnya tidak bisa ditahan. Dia tahu bahwa Dreya tidak akan dengan mudah datang mencarinya. Meskipun demikian, dia tetap memberikan kartu nama itu. Karena orang yang bisa membangkitkan minatnya ... Tidak banyak. Setelah suara langkah kaki semakin menjauh, ponsel di atas meja berbunyi. Rafael mengangkatnya, lalu terdengar suara Kevin berkata, "Pak Rafael, soal ukiran giok yang ingin Bapak perbaiki, semua ahli bilang hanya satu orang yang bisa melakukannya, Dyra. Tapi orang ini sudah nggak muncul selama tiga tahun dan nggak bisa dihubungi, seperti menghilang dari dunia." "Kalau begitu, terus cari orang itu sampai ketemu." Rafael berjalan lalu berhenti di depan jendela, menatap kegelapan malam. Bayangan wajahnya terpantul di kaca jendela, sorot matanya dipenuhi kedinginan. Ukiran giok yang dibicarakan itu adalah satu-satunya barang peninggalan dari ibunya, berbentuk bunga anggrek. Karena sebuah insiden, dia tidak sengaja memecahkannya. Begitu pulang dari luar negeri, dia terus meminta Kevin untuk mencari orang yang bisa memperbaikinya. "Baik, Pak Rafael." ... Sementara itu, Javi bersama putranya hendak mengantar Yevani pulang, tetapi di pertengahan jalan ibunya, Feli, menelepon. Ibunya mengabari bahwa Kakek Arian marah besar setelah mereka pergi, dan menyuruhnya segera kembali untuk menenangkan sang kakek. Javi sangat menghormati kakeknya, jadi dia tidak berani menolak. "Tapi, Vano kan harus segera istirahat." Yevani yang sudah menunggu di dalam mobil, bertanya dengan suara pelan. "Nggak apa-apa, Tante Yevani, aku sudah mendingan kok." Yovano tersenyum dan bersandar di pelukan Yevani. Sudah pukul sembilan malam ketika mereka tiba kembali ke rumah lama. Kakek Arian masih marah dan enggan turun dari kamar, jadi Feli yang menyambut mereka, lalu duduk menunggu di sofa ruang tamu. Yovano merasa bosan, melihat sekeliling, lalu menoleh ke samping dan berkata, "Tante Yevani baru pertama kali ke rumah kami, tapi malah dapat perlakuan seperti ini. Tante jangan sedih, ya." Mendengar itu, Yevani menunjukkan ekspresi getir dan berkata, "Tante hanya nggak sangka semuanya akan jadi seperti ini. Jamuan keluarga kalian jadi kacau." "Kamu nggak perlu merasa bersalah. Aku dan Vano tahu siapa pelakunya, jadi bukan kamu yang bikin kacau jamuan ini." Raut wajah Javi serius, tetapi suaranya sangat lembut. Yevani mengangguk, matanya berkaca-kaca, tubuhnya secara naluriah condong ke arah Javi. Javi pun merangkul punggungnya dengan lembut. "Ayah." "Ada apa?" Javi menoleh ke samping, menatap putranya. Yovano menengadah, menatap ayahnya, lalu dengan ekspresi cemberut bertanya pelan, "Ibu benaran mau cerai sama Ayah?" Pertanyaan itu membuat Javi tertegun. Wajah Dreya terlintas di benak. Apa yang dilakukan Dreya malam ini benar-benar membuatnya terkejut. Begitu tegas, begitu mantap ... "Kalau Ayah dan Ibu bercerai, berarti Ayah bisa bersama Tante Yevani, 'kan?" Melihat ayahnya tidak bersuara, Yovano sekali lagi membuka mulut untuk bertanya. Sepasang mata kecilnya berkilau, tidak berpaling dari wajah Javi, seakan sedang menunggu jawaban. Sorot matanya penuh harapan, juga menyimpan sedikit penyesalan yang tampak samar. Menurutnya, Tante Yevani memang sangat baik, bisa berakting dan bernyanyi, juga sering membawanya bermain serta membelikan mainan kesukaannya. Namun, masakan yang dibuat ibunya juga sangat lezat, dan pakaian yang dibuatkan ibunya juga sangat bagus. Sebagian besar pakaian yang dia kenakan dari usia tiga hingga enam tahun dijahit sendiri oleh ibunya Setiap kali mengenakan pakaian buatan ibunya keluar, dia selalu mendapatkan banyak pujian dari orang-orang. Semua pakaian itu adalah sesuatu yang orang lain ingin beli pun tidak bisa. Situasi seperti ini benar-benar membuatnya dilema. ... Sementara itu, Yevani sudah menatap Javi dengan penuh harapan. Javi yang sejak tadi diam, kini menunjukkan rasa kesalnya. "Dia sudah pernah dipenjara, tapi masih berani minta cerai! Selain Keluarga Boris, dia bisa ke mana lagi? Dia hanya emosi sesaat, kamu pikir ibumu benaran akan pergi?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.