Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 13

Dreya ingin menarik kembali tangannya, tetapi karena perbedaan kekuatan antara pria dan wanita, dia sama sekali tidak mampu melepaskan diri. Dia hanya bisa membiarkan dirinya diseret oleh Javi menuju ruang tamu. Pembantu di rumah ini selalu diliburkan di akhir pekan. Karena itu, ruang tamu hanya ada mereka berdua. Javi menjatuhkan Dreya ke sofa, lalu dia duduk di seberangnya. Setelah itu, dia menuangkan secangkir teh untuk dirinya sendiri. "Kayaknya kamu masih belum jelaskan alasanmu mau bercerai," ujarnya tanpa melihat Dreya. "Jelaskan! Apa sebenarnya alasanmu?" Dreya tersenyum sinis, lalu berkata, "Masih perlu alasan?" Setelah menuangkan teh, Javi meletakkan cangkirnya dengan keras di atas meja, lalu menatap Dreya yang tampak dingin. "Bam!" Suara benturan antara teko teh dan meja marmer mewah terdengar berat. Seketika mengganggu keheningan ruangan. "Dreya, kamu pikir hidupmu bakal mudah setelah bercerai denganku? Kamu itu mantan narapidana. Blak-blakan saja, kamu cari kerja pun, nggak akan yang berani terima kamu." Dreya tersenyum dingin. Dia memang tidak ada niat mencari pekerjaan, karena dia berencana membangun usahanya sendiri. "Kamu bicara panjang lebar, intinya cuma takut Kakek akan mengusirmu dan Vano, 'kan?" Dreya bangkit dari sofa. "Tenang saja, aku akan telepon Kakek dan jelaskan semuanya. Masalah ini nggak akan membuatmu dan Nona Yevani terseret, semuanya aku tanggung sendiri." Setelah mengatakan itu, dia berniat pergi. "Aku sudah bilang kamu boleh pergi?" Suara Javi terdengar berat, dia langsung ikut berdiri. Namun, langkah Dreya tetap tidak berhenti. "Pak Javi, harap segera tanda tangan suratnya." Tepat dia selesai berkata, lengannya langsung ditarik oleh Javi dari belakang. Detik berikutnya, tubuhnya kembali terhempas. Javi melempar Dreya kembali ke sofa, kedua kaki panjangnya melangkahi pinggang ramping Dreya, lututnya bertumpu di sofa, dan satu tangannya mencengkeram pergelangan tangan Dreya, menekannya kuat-kuat ke sandaran sofa. Dreya seketika tidak bisa bergerak. Mereka memang pernah memiliki momen mesra, tetapi kebanyakan Dreya yang berinisiatif. Situasi seperti saat ini sungguh jarang terjadi. Dreya menatap Javi dengan waspada. "Kamu mau ngapain?" "Beberapa hari ke depan, tetap tinggal di Graha. Nggak boleh pergi ke mana pun. Sebelum urusan dengan Kakek beres, jangan harap aku tanda tangan surat itu." Suara Javi begitu rendah, dan mata hitamnya yang seperti batu amber tampak menyimpan ketenangan sebelum badai. "Kamu nggak punya alasan untuk mengurungku." Dreya berusaha keras melepaskan diri. "Lepaskan." Namun, Javi seolah tidak mendengar, tetap mencengkeramnya erat. "Javi, menganiaya mantan istri di siang bolong, nggak takut mencoreng nama Keluarga Boris?" Tiba-tiba, suara pria yang sangat berat dan berkarisma terdengar dari arah pintu depan. Keduanya langsung menoleh. Begitu melihat pria yang masuk, tubuh Dreya seketika mematung. Rafael? Kenapa dia bisa datang ke sini? Sementara Javi, dia langsung melepaskan wanita di depannya dan berdiri. "Om? Ada urusan apa ke sini?" Dreya segera duduk tegak, secara naluriah merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Dengar-dengar kakekmu marah besar kemarin. Kebetulan hari ini aku ada waktu, jadi mampir ke rumah. Vano menginap di rumah lama semalam. Begitu tahu aku pulang, dia merengek minta aku antarin dia pulang." Rafael bicara dengan santai sambil melirik sekilas wanita yang di sofa. Hanya bertatapan selama satu detik, dia langsung mengalihkan pandangannya. Saat mobil Maybach memasuki halaman rumah, Rafael sudah mendengar keributan, lalu menyuruh asisten pribadinya, Kevin, membawa Yovano ke taman belakang. "Di mana Vano?" "Kalian ribut seperti ini, mana mungkin aku bawa anak kecil masuk, 'kan?" Rafael memasukkan kedua tangannya ke saku, dan duduk berhadapan dengan Dreya. Pandangan Dreya jatuh pada pria di seberangnya. Aura kuat yang dipancarkan pria itu langsung menyelimuti seluruh ruangan. Javi menuangkan teh untuk Rafael. "Om, kita hanya sedang bicara tentang masalah perceraian. Om juga tahu, semalam Kakek marah besar. Aku harus menenangkan emosinya dulu." Rafael melirik cangkir teh itu, tetapi tidak berniat meminumnya. "Kalau sudah putuskan untuk bercerai, kenapa harus peduli pandangan orang lain?" ujarnya dengan nada agak dingin. Javi tertegun sejenak, ingin berbicara tetapi ragu. Singkatnya, sebagian besar aset yang dimiliki Javi adalah warisan dari Keluarga Boris, terutama dari kakeknya. Kesuksesannya hari ini, banyak dibantu oleh sang kakek. Karena itulah dia harus mendengarkan pendapat kakeknya. "Nanti aku akan telepon Kakek dan menjelaskan semuanya. Memang aku yang sepihak ingin bercerai denganmu, jadi Pak Javi, tolong jangan menyulitkanku lagi." Dreya segera bangkit dari sofa dan berjalan keluar tanpa menoleh. Kedatangan Rafael adalah kesempatan yang baik untuk melarikan diri. Jika tidak pergi sekarang, sepertinya malam ini benar-benar harus menginap di Graha. Menyaksikan sosok yang pergi itu, Javi refleks memperkuat cengkeraman di cangkir tehnya. Saat dia hendak bicara, matanya bertemu dengan tatapan dingin tajam dari Rafael. Dia akhirnya mengalihkan pandangannya. "Om sudah datang, gimana kalau makan bersama?" "Lain kali saja! Aku masih ada urusan." Rafael bangkit dari sofa dan ikut berjalan keluar. "Ibu, kenapa kamu datang?" Saat Dreya tiba di pintu, Yovano entah sejak kapan sudah berada di depannya. Kenapa datang. Ketika dua kata itu masuk ke telinga Dreya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman sinis. Si anak begitu mengerti situasi, tetapi ayahnya malah berpura-pura bodoh. Sungguh konyol! "Ada yang perlu dibicarakan sama ayahmu, sekarang sudah mau pergi." Tanpa menunggu Yovano merespons, Dreya langsung melangkah pergi. Yovano menatap ibunya yang semakin menjauh, dan hatinya tiba-tiba terasa berat tanpa alasan yang jelas. Dia sangat ingin memanggil ibunya. Namun, dia juga khawatir ibunya benar-benar tidak akan pergi jika dia memanggilnya. Dia tidak ingin melihat ibunya di rumah. Terlebih lagi, besok Tante Yevani akan menjemputnya ke sekolah! Jika ibunya ada, Tante Yevani tidak bisa mengantarnya ke sekolah. Pada akhirnya, dia tidak berkata apa-apa, hanya bisa melihat ibunya pergi. Setelah keluar dari halaman, Dreya bersiap naik taksi pulang. Saat mobil Maybach Rafael keluar dari halaman, Dreya sudah masuk ke dalam taksi. Rafael melihat Dreya masuk ke dalam taksi melalui kaca depan, lalu mobilnya melaju pergi dengan cepat. Di kursi pengemudi, ketika Kevin melihat wajah pria yang suram melalui kaca spion tengah, dia pun bertanya, "Pak Rafael, Anda masih ingin bicara dengan Nona Dreya? Perlu saya kejar taksi itu?" "Nggak perlu." Rafael mengalihkan pandangannya, matanya tertuju pada tablet di tangannya. Beberapa saat kemudian, seolah teringat sesuatu, dia menatap Kevin di kursi pengemudi dan bertanya, "Pengukir giok bernama Dyra itu, hari ini masih belum ada kabar?" "Benar," jawab Kevin pelan. "Hari ini pun belum ada kabar mengenainya." "Tiga tahun lalu ... kapan tepatnya dia terakhir muncul?" tanya Rafael, suaranya penuh tekanan.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.