Bab 4
"Kok kamu di sini?"
Suara ketus Javi terdengar.
Dreya mengangkat wajah, melihat Javi bersama Yovano sedang menemani Yevani datang untuk pemeriksaan lanjutan.
Tiga orang itu tampak begitu akrab, benar-benar seperti keluarga bahagia.
Yevani tampak agak terkejut, lalu berkata dengan nada tidak berdaya, "Nona Dreya, kamu nggak perlu bersikap kekanak-kanakan. Kalau ingin ketemu Javi, nggak perlu menghadangnya di rumah sakit. Lagi pula, kamu baru keluar dari penjara, ini bukan citra yang baik ... "
Ibu sengaja menunggu kita di sini?
Dia menyesal nggak ikut pulang?
Dengan pemikiran itu, Yovano merasa senang tanpa alasan, tetapi teringat kata-kata Dreya sebelumnya, dia kembali cemberut.
"Ibu sungguh munafik. Jelas-jelas nggak bisa jauh dari aku dan Ayah, ingin pulang ke rumah, tapi malah bersikap begini."
Javi pun ikut menyindir, "Aku pikir kamu benaran punya harga diri, nggak mau kembali ke Keluarga Boris. Ternyata, baru dua hari sudah nggak tahan dan datang menghadang di sini. Dreya, kamu nggak berubah ... "
Belum selesai dia bicara, suara dokter terdengar.
"Nona Dreya, ini obat-obatmu."
Dokter menyerahkan obat padanya.
Mengingat luka-luka di tubuh Dreya, dokter memandang ketiga orang itu dengan ekspresi tidak senang sambil menegur mereka, "Kenapa menghalangi jalan orang? Jangan ganggu pasien saya mengambil obat."
"Ngerti bahasa manusia, 'kan?" Dreya mengangkat pandangannya, tatapannya dingin. "Aku ke rumah sakit tentu saja untuk berobat. Menurutku, otak kalian sepertinya perlu diperiksa dan diobati."
Ucapan Dreya membuat Javi terdiam, wajahnya menggelap. Kemudian, dia mengernyit sambil memikirkan sesuatu.
Baru keluar dari penjara sudah sakit?
Apa mungkin dia benaran ...
Saat Dreya hendak pergi, Yovano tiba-tiba menarik tangannya.
Dia mengatup-ngatupkan bibirnya sebelum berkata, "Lusa adalah hari upacara kelulusanku. Meski kamu marah, kamu tetap harus datang. Karena kamu adalah ... ibuku."
Kata "ibuku" itu dia ucapkan sangat pelan.
Dia pun menoleh ke arah Yevani, seolah takut membuatnya tidak senang.
Namun, Dreya sama sekali tidak melirik Yovano.
Dia melepaskan tangan anak itu dan berkata dengan nada dingin, "Kamu salah orang. Aku bukan ibumu."
Selesai bicara, dia berbalik dan hendak pergi.
Tiba-tiba, Yevani berseru, "Aku tahu Nona Dreya malu karena pernah dipenjara, jadi enggan pulang. Tapi bagaimanapun juga, kamu nggak bisa lari dari tanggung jawab sebagai seorang ibu. Tiga tahun kamu nggak mengurus anakmu, sekarang masih mau mengabaikan Vano?"
Suara Yevani cukup keras.
Beberapa orang mulai menoleh ke arah Dreya.
Kata-kata seperti "penjara" dan "nggak mengurus anak" menarik perhatian banyak orang.
Bisik-bisik mulai terdengar.
Namun, saat itu juga, seorang pria berseragam polisi tiba-tiba berjalan ke arah Yevani.
"Nona Yevani, ada yang melaporkan bahwa dua patung singa penjaga rumah miliknya telah dicuri. Dua patung itu pernah muncul dalam acara televisi di kediaman Nona. Mohon kerja sama untuk ikut bersama kami pergi."
Keramaian pun pecah.
Javi mengernyit.
Dia pulang ke rumah di Kompleks Azalea?" tanyanya dalam hati.
Yevani terkejut, wajahnya memerah.
Belum sempat Yevani membela diri, Dreya terbatuk pelan, dan wajahnya yang pucat tetap tampak dingin.
Dia menatap Yovano.
"Dia sudah berusia sembilan tahun. Mau menganggap siapa sebagai ibunya, itu haknya. Dan aku ... juga punya hak untuk nggak menjadi ibunya."
Hukum hanya mewajibkan pemberian nafkah.
Namun, tidak pernah mewajibkan seorang ibu untuk harus mencintai anaknya.
Dreya lalu kembali menatap Yevani, "Soal Nona Yevani ... dua patung singa itu adalah harta pribadiku. Bahkan suami yang hanya sah di mata hukum pun nggak punya hak untuk memberikannya ke orang lain. Kalau Nona Yevani nggak bisa mengembalikannya, bersiap saja merasakan hidup di penjara seperti apa."
Javi langsung mencengkeram pergelangan tangannya.
Javi sempat tertegun saat menatap wajah Dreya.
Dia baru menyadari betapa kurus pergelangan tangan Dreya, dan betapa panas kulitnya menyentuh telapak tangannya.
"Dia lagi demam." Kalimat ini seketika muncul di benaknya.
Namun, dia segera sadar dan berkata dengan nada tajam, "Kamu masih belum puas buat keributan? Hanya karena dipenjara tiga tahun, kamu melapor polisi dan ingin menyeret Yevani? Dua patung itu aku yang izinkan untuk diberikan padanya!"
Yovano ikut menyahut dengan nada kesal, "Benar! Kalau bukan karena kakek Buyut dan Tante Yevani yang menyuruhku memahamimu, aku nggak akan mau menjadikanmu ibuku. Sekarang kamu malah memperlakukan Tante Yevani seperti ini!"
Bahkan menolak datang ke upacara kelulusannya!
Ketidakpuasan dalam hati Yovano semakin kuat meski juga ada sedikit rasa gelisah.
Jika ibunya yang dulu, pasti tidak akan bersikap sedingin ini terhadapnya. Pasti akan berusaha menyenangkan hatinya, dan menghadiri upacara kelulusannya.
"Ibu benaran sudah berubah!" pikir Yovano
Tuduhan mereka menggema di telinganya, tetapi Dreya tidak merasakan apa pun selain dinginnya hati dan getirnya ironi.
Mungkin, di mata mereka, tiga tahun yang seperti neraka baginya, tidak sebanding sedikit pun dengan luka yang dialami Yevani.
Karena demam tinggi, Dreya mulai linglung dan sempoyongan.
Dia hanya menepis tangan Javi, lalu menatapnya dan tiba-tiba tersenyum sambil berkata, "Kamu memang menjijikkan, ya. Pak Javi bisa ngomong seenteng itu, kenapa nggak coba masuk penjara juga?"
Nada bicaranya tajam, jauh berbeda dari dirinya yang tiga tahun lalu.
Javi tertegun lagi.
Keluar dari rumah sakit.
Dreya segera menyeka tangan yang tadi disentuh Javi. Di pikirannya, hanya ada satu hal.
Dia ingin menyelesaikan masalah perceraian secepatnya.
Setiap detik yang terjalin dengan Javi adalah siksaan yang tidak berujung baginya.
Perkara Yevani membuat itu penuh kekacauan.
Namun, Dreya langsung tidur setelah minum obat.
Saat dia terbangun dalam keadaan lemas, dia melihat Annie yang baru saja kembali dengan penampilan lelah.
Annie menggeleng tidak percaya. "Kamu baru keluar dari penjara, kenapa demamnya parah sekali? Waktu aku baru sampai, suhu tubuhmu sudah hampir empat puluh derajat. Untung sekarang sudah turun."
Annie menyodorkan air dan obat. "Kalau ada yang bisa aku bantu, langsung ngomong saja."
Dreya tidak ingin membicarakan penderitaan yang dia alami di penjara.
Melihat Annie yang masih sama seperti tiga tahun lalu, hatinya akhirnya merasakan sedikit kehangatan.
Suami dan anak tidak bisa diandalkan.
Malah sahabat yang masih bisa diandalkan.
Dia menelan obat, lalu menunduk dan berkata pelan, "Bantu aku buatkan surat perjanjian cerai. Satu hal lagi, bantu aku cari seseorang."