Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Ketika tatapannya bertemu dengan mata pria itu yang dalam dan tajam, Dreya sempat tertegun. Rafael? Kenapa bisa dia? Sudut mata Rafael sedikit terangkat, sorot matanya tampak redup dalam cahaya yang remang. Dreya teringat kembali pada kejadian di rumah lama Keluarga Boris tadi, dadanya terasa sesak. Untuk sesaat, dia tidak tahu harus berkata apa. "Jalan kaki butuh waktu setidaknya sejam untuk sampai ke bawah." Suara Rafael rendah dan serak. "Kamu serius mau jalan kaki sampai ke kaki bukit?" Jika tidak bertemu dengan Rafael, Dreya memang berniat seperti itu. Karena Javi tidak mungkin mengejarnya, apalagi mengantarnya pulang. "Makasih, Om Rafael." Dreya membuka pintu mobil dan masuk. Pada bersamaan, dia kembali merasa pusing. Jika tidak segera berpegangan pada pintu, mungkin dia sudah terjatuh. Rasa sakit di kepalanya begitu menyiksa. "Kamu barusan panggil aku apa?" Setelah duduk, suara rendah Rafael terdengar lagi. Dreya menoleh ke samping, dan ketika matanya bertemu dengan mata dalam itu, sebuah pemikiran gila muncul di benaknya. "Rafael belum menikah, dan nggak pernah ada skandal." "Kalau ingin naik ke atas, kekuatan sendiri jelas nggak cukup ... " Sebelum dia dapat memikirkan lebih jauh, pusingnya kembali menyerang dengan hebat. Kali ini, dia tidak bisa menahannya. Detik berikutnya, tubuhnya tidak terkendali terjatuh di samping Rafael. Rafael refleks mengangkat tangan dan menopang bahu Dreya. Aroma lembut bunga lavender langsung memenuhi indra penciumannya. Aroma yang sangat tidak asing. Dia merasa pernah mencium aroma itu di suatu tempat. Sejak pertama kali melihat Dreya, ada rasa dejavu yang tidak bisa dijelaskan olehnya. Padahal hari ini adalah pertemuan pertama mereka. "Nona Dreya, Nona Dreya ... " Rafael menunduk menatap wanita di pelukannya, keningnya mengerut. Meskipun terhalang jas, dia bisa merasakan suhu tubuh Dreya yang terus meningkat. Dia mengulurkan tangannya yang memikat itu, lalu menyentuh kening Dreya. Demam. Cukup parah. Dia menarik tangannya, lalu menelepon asisten pribadinya, Kevin Gavar, "Panggil dokter ke Griya Lestari ." "Baik, Pak Rafael." Setengah jam kemudian, di Griya Lestari . Kevin datang bersama dokter keluarga dan langsung menuju lantai dua. Di depan pintu kamar utama, berdiri sosok tinggi ramping. Kevin awalnya mengira bahwa Pak Rafael yang tidak enak badan. Namun, saat masuk ke kamar, dia terkejut melihat seorang wanita di tempat tidur. Dia tahu, Pak Rafael sangat menjaga kebersihan. Selain Bi Wati yang membersihkan kamar, tidak ada orang lain yang boleh masuk kamar utama, apalagi wanita. Kevin berdiri di samping, tidak bisa tidak mengamati wanita di atas ranjang. "Siapa sebenarnya wanita ini?" pikirnya. Setelah minum obat, kondisi Dreya mulai membaik. Dia terbangun setengah jam kemudian. Begitu membuka mata dan melihat ruangan asing, dia sempat tertegun. Semua interior berwarna hitam, putih, dan abu-abu. Bahkan tirai jendela pun berwarna hitam. Dia teringat kejadian sebelum pingsan. Dia ingat jelas masuk ke mobil Rafael ... Jangan-jangan ini kamarnya? Dia bangkit dari tempat tidur, tubuhnya masih panas. Dengan tubuh lemah, dia membuka pintu dan keluar. "Nona sudah sadar, ya." Begitu membuka pintu, dia bertemu dengan tatapan ramah. Dia menebak, yang menyapanya adalah pembantu di rumah ini. Bi Wati melihat Dreya menoleh ke sekeliling, lalu menunjuk ke ujung lorong sambil berkata, "Kalau Nona ingin cari Tuan, beliau sedang ada di ruang kerja ... " Dreya mengangguk pelan, dia tahu orang yang dibicarakan bibi itu pasti adalah Rafael. Dengan langkah pelan, dia berjalan ke ujung lorong dan mengetuk pintu. "Masuk." Setelah suara rendah pria itu terdengar, Dreya membuka pintu dan masuk. Di depan jendela setinggi langit-langit, berdiri sosok tinggi ramping. Hanya dari siluetnya punggungnya, Dreya langsung mengenalinya. "Pak Rafael, kenapa aku bisa di rumahmu?" Rafael menoleh, menatap wajah pucat Dreya. Dengan ekspresi datar, dia melewati Dreya dan berkata, "Kamu pingsan di mobilku. Aku nggak tahu alamatmu, jadi aku bawa kamu ke sini. Bi Wati sudah beri kamu obat." "Terima kasih, Pak Rafael ... " "Kenapa nggak panggil Om Rafael lagi?" Rafael berjalan ke meja kerjanya yang besar, menarik kursi dan duduk. Dreya tertegun sejenak, merasa bingung. "Tadi di mobil, kamu panggil aku Om Rafael. Kamu masih istri Javi, dan dia belum tanda tangan surat cerai itu. Secara teknis, kamu memang harus panggil aku begitu." Rafael bersandar santai, matanya agak terangkat tetapi tidak menunjukkan emosi apa pun. Memanggilnya seperti itu di dalam mobil, tidak lain karena saat itu, sebuah pikiran gila sempat melintas di benak Dreya. Namun, tubuhnya sekarang masih lemah, wajar saja jika dia tidak memikirkan hal lain. Saat hendak menjawab, suara anak kecil terdengar dari luar. "Ayah, Om Buyut benaran ada di rumah?" Tubuh Dreya langsung menegang. Itu adalah suara putranya, Yovano. "Kenapa dia ada di sini?" tanya Dreya dalam hati. "Ada. Ayah sudah tanya tadi." Saat suara Javi terdengar, Dreya merasakan sensasi merinding di kulit kepalanya. Dia baru saja menyatakan ingin bercerai. Jika saat ini mereka melihatnya di rumah Rafael, penjelasan apa pun tidak akan cukup untuk membersihkan reputasinya dari tuduhan yang bisa merusaknya. Untuk menghindari masalah dan kesalahpahaman yang tidak perlu, Dreya memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu. Dia melihat sekeliling, dan hanya di bawah meja yang cocok untuk bersembunyi. "Pak Rafael, tolong jangan bilang aku di sini ... " Dreya segera berjalan ke sisi meja, berdiri di samping Rafael. Rafael mengikuti arah pandangannya dan langsung tahu niatnya. Bibir tipisnya tiba-tiba terangkat sedikit, seolah tersenyum tetapi tidak sepenuhnya. Semakin menarik ... Rafael mengangguk pelan, lalu menggeser kursinya ke belakang, memberi ruang untuk Dreya. Langkah kaki dari luar makin mendekat. Dreya langsung berjongkok dan masuk ke bawah meja. Saat kursi kembali maju, aroma kayu cedar dari tubuh Rafael samar-samar tercium. Gerakan mendadak itu membuat Dreya refleks mundur. Mungkin karena gerakannya terlalu besar, tubuhnya pun terjatuh ke belakang Secara naluriah, dia mengulurkan kedua tangannya dan meraih sepasang kaki panjang di depannya. Rafael menunduk, dan mata mereka bertemu. Saat itu, waktu seolah berhenti. Sementara itu, suara ketukan pintu terdengar. Dreya buru-buru melepaskan tangannya dan duduk diam di bawah meja. "Om Rafael." Javi melangkah masuk, tangan menggandeng Yovano. Di dalam ruangan, hanya Rafael yang menunggu dalam diam. Rafael menaikkan pandangannya, lalu berkata dengan acuh tak acuh, "Malam-malam begini, kenapa kalian datang?" Dreya mendengarkan dengan saksama dari bawah meja. Terdengar suara Javi berkata, "Kondisi Vano sudah mendingan. Aku tadinya mau bawa dia pulang, tapi kejadian hari ini begitu mendadak. Aku nggak sangka Dreya akan bikin keributan seperti itu. Padahal jamuan malam ini untuk menyambut kepulangan Om. Jadi, aku datang untuk minta maaf."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.