Bab 1
Di pinggiran Kota Jadipura, penjara nomor 9.
Axel membawa barang bawaannya dan perlahan melangkah keluar dari gerbang penjara.
Di luar gerbang, sebuah mobil Bentley sedang menunggu.
Begitu melihat Axel keluar, seorang wanita berusia sekitar dua puluhan dengan penampilan profesional, mengenakan kacamata berbingkai hitam dan memancarkan aura cerdas serta elegan, berjalan mendekatinya.
"Pak Axel, sudah lama nggak ketemu. Silakan naik ke mobil."
Axel menatap wanita cantik itu dan tersenyum. "Jessi, tiga tahun nggak bertemu, kamu makin cantik saja. Di mana Clara? Dia nggak menjemputku?"
Jessi mendorong sedikit kacamata di wajahnya dan menampilkan senyum datar. "Bu Clara ada rapat penting hari ini, jadi dia menugaskanku untuk menjemputmu."
"Waktunya sudah hampir tiba, dan semuanya sudah diatur di hotel. Silakan naik mobil."
Melihat sikap dingin Jessi, Axel tidak banyak bicara lagi. Dia mengangguk dan berkata, "Kalau begitu, bisakah aku menelepon Clara?"
Permintaannya sebenarnya sangat sederhana, seorang suami hanya ingin menelepon istrinya. Namun Jessi tetap menggeleng dan menolak tanpa ragu.
"Maaf Pak Axel, Bu Clara sedang rapat sekarang dan nggak mau diganggu. Silakan naik ke mobil."
Axel menatap Jessi dalam-dalam, lalu berjalan ke depan mobil sambil tersenyum tipis dan berkata, "Sudah bisa beli Bentley rupanya. Sepertinya selama tiga tahun aku nggak ada, Clara hidup cukup baik."
Setelah mengatakan itu, Axel langsung membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.
Kemudian, mobil mulai bergerak. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara.
Hingga mobil tiba di Hotel Kaisar Jadipura, Jessi membawa Axel ke sebuah suite mewah.
Saat itu, ruangan tidak kosong. Di dalamnya sudah ada dua pria dan satu wanita, semuanya berpakaian formal dan tengah menunggu di sana.
"Karena Pak Axel baru saja keluar dari penjara, silakan mandi dan ganti baju dulu. Pakaiannya sudah kami siapkan. Setelah itu, baru kita bisa berbicara."
Melihat situasi ini, Axel merasakan firasat buruk. Namun, dia tidak berkata apa-apa dan hanya tersenyum, lalu pergi ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian.
Setengah jam kemudian, saat Axel muncul kembali dari kamar, semua orang yang ada di situ spontan menatapnya dengan mata berbinar-binar.
Tidak bisa dipungkiri, Axel sangat tampan dan menggoda. Ditambah tinggi badannya 185 cm dan tubuh yang atletis, orang yang melihatnya sekali pasti ingin melihatnya lagi.
Setelah mengambil sebotol air mineral, Axel duduk di sofa, memandang Jessi dan beberapa orang lainnya, lalu berkata dengan nada datar, "Ada yang ingin dibicarakan? Katakanlah."
Jessi mengangguk pelan, lalu mengambil sebuah berkas perjanjian dan berkata, "Ini adalah perjanjian perceraian antara Pak Axel dan Bu Clara. Dalam perjanjian ini tercantum bahwa Pak Axel akan mendapatkan hak penuh atas rumah yang dulu kalian tempati. Selain itu, Bu Clara juga akan memberikan dua unit ruko yang terletak di kawasan bisnis utama, serta uang tunai sebesar sepuluh miliar sekaligus."
"Dengan semua aset ini, kehidupanmu ke depannya nggak akan menjadi masalah lagi. Silakan tanda tangani."
"Kalau Pak Axel punya pendapat lain, sampaikan saja. Ketiga orang ini adalah pengacara kami. Mereka akan menyampaikan segala masukan darimu."
Syaratnya memang sangat menguntungkan.
Axel mengambil perjanjian cerai di atas meja, lalu tersenyum dan berkata, "Jadi, satu-satunya pilihanku adalah bercerai, ya?"
Jessi menyesuaikan kacamatanya, mengangguk, dan berkata, "Bisa dibilang begitu. Pak Axel adalah mantan narapidana dan memiliki aib di masa lalu yang bisa merusak reputasi Bu Clara. Selain itu, sudah tiga tahun berlalu, perasaan juga sudah hilang. Jadi, lebih baik Pak Axel tanda tangani saja."
Aib?
Axel tersenyum.
"Aku masuk penjara demi Clara, dan dia sangat paham hal itu. Lalu, begitu aku bebas, satu-satunya bentuk terima kasihnya hanyalah surat perceraian?"
Dengan ekspresi datar, Jessi menunjuk surat perceraian itu dan berkata, "Meskipun dipenjara selama tiga tahun, Pak Axel masih mendapatkan dua ruko senilai 10 miliar dan juga uang tunai dengan jumlah yang sama. Aset 20 miliar ini seharusnya sudah cukup untukmu."
"Tiga tahun di penjara ditukar dengan kekayaan senilai puluhan miliar. Kurasa siapa pun akan menerimanya. Kenapa Pak Axel masih terus bersikeras dan nggak mau melepaskannya?"
"Lebih baik berpisah dengan baik-baik. Siapa tahu nanti kalau ada kesulitan, Bu Clara masih bisa membantumu. Tapi kalau sampai ribut dan membuat semua orang malu, aku rasa juga nggak ada untungnya buatmu, 'kan?"
Sungguh pidato yang bagus dan perhitungan yang hebat.
Tiga tahun penjara ditukar dengan aset puluhan miliar memang sangat menguntungkan.
Axel langsung melemparkan perjanjian cerai ke atas meja dan berkata dengan tenang, "Aku akan tanda tangan, tapi suruh Clara datang sendiri untuk bicara denganku."
"Hubungan antara aku dan dia bukan urusan kalian. Apa kalian merasa pengacara hebat? Apa kekayaan puluhan miliar itu segitu berharganya?"
"Biar Clara yang bicara langsung denganku. Aku nggak butuh uang sepeser pun. Begitu dia datang, aku akan langsung menandatanganinya. Sampaikan padanya."
Setelah mengatakan itu, Axel langsung kembali ke kamarnya.
Sepuluh menit kemudian, Jessi mengetuk pintu.
"Pak Axel, Bu Clara sudah sampai."
Axel keluar, dan benar, Clara sudah tiba. Saat ini, Clara terlihat sangat cantik dengan gaun hitam panjang dan perhiasan yang memesona, tetapi wajahnya hanya menunjukkan ketidakpedulian.
Semua tampak asing, tak ada lagi rasa akrab seperti dulu.
"Aku sudah datang, tanda tangani sekarang."
Tanpa kata-kata berlebihan, dan bahkan tanpa sapaan, Clara dengan dingin mengucapkan kata-kata itu.
Axel berjalan ke hadapan Clara dan duduk, lalu menatapnya sambil tersenyum kecil. "Jadi, hubungan kita berakhir karena aku masuk penjara dan hidupku biasa-biasa saja, sehingga aku nggak pantas untukmu?"
Mendengar itu, Clara mengangguk dan berkata, "Kalau kamu ingin memahaminya seperti itu, boleh saja. Bagaimanapun, kita bukan lagi kita yang dulu. Mari berpisah dengan baik, Axel. Anggap saja aku telah berbuat salah padamu."
Sambil memegang surat perjanjian cerai, Axel menghela napas dan berkata, "Kamu memang telah berbuat salah padaku. Apa menurutmu tiga tahun di penjara bisa ditebus hanya dengan uang beberapa miliar?"
"Terutama perasaanku padamu ... apa benar-benar nggak ada harganya sama sekali di matamu?"
"Aku tahu kamu adalah Clara Fernando, presiden direktur Grup Fernando, wanita kaya dengan kekayaan triliunan, sosok presdir dingin yang memikat ... tinggi dan tak tersentuh."
"Karena itu, aku nggak layak untukmu, 'kan?"
Clara menghela napas, perlahan berdiri, dan berkata, "Axel, kalau kamu menemuiku hanya untuk mengejekku, itu nggak perlu. Kamu bisa saja nggak menandatangani dokumen ini, tapi pernikahan kita sudah berakhir. Aku akan menyerahkan urusan ini ke pengacara. Mulai sekarang, kita nggak perlu bertemu lagi."
Setelah berkata demikian, Clara bersiap pergi.
Sementara itu, Axel mengambil pulpen dan dengan cepat menandatangani surat cerai itu, lalu melemparkannya kepada Jessi.
"Aku sudah tanda tangan, dan aku nggak akan mengambil hartamu. Seperti yang kamu bilang, mulai sekarang, kita nggak punya hubungan lagi!"
Mendengar kata-kata itu, entah kenapa tubuh Clara sedikit gemetar. Namun pada akhirnya, dia pergi begitu saja tanpa menoleh.
Sementara itu, Axel duduk sendirian di sofa hotel, memandang awan yang bergulung-gulung di luar jendela. Saat ini, yang terpancar di wajahnya hanyalah kepahitan dan kesedihan.
Tepat pada saat itu, terdengar suara dering telepon.
Saat melihat nomor yang tidak dikenalnya, alis Axel berkerut. Dia baru saja keluar dari penjara, dan tidak banyak orang yang tahu nomor ini. Siapa yang meneleponnya di saat seperti ini?
Dia pun menjawab panggilan itu.
Sebelum Axel sempat berbicara, dia mendengar suara yang tergesa-gesa dari seberang telepon.
[Halo, apa ini Dokter Ahli, Axel Anderson?]