Bab 8
"Rosa, kenapa kamu menangis?"
Seorang wanita paruh baya muncul di belakang Rosa. Melihat air mata Rosa, dia menghela napas pelan.
"Rosa, Ibu tahu kamu nggak mau menikah dengan Regi. Sebenarnya Ibu juga nggak mau. Dia itu playboy. Selain suka menggoda wanita, dia nggak punya kelebihan sama sekali. Tapi sekarang, hanya keluarganya yang bisa menyelamatkan keluarga kita. Ibu tahu, ini menyusahkanmu."
Rosa memandang ibunya, mengusap air mata di sudut matanya, dan berkata lembut, "Ibu, aku baik-baik saja, jangan khawatir. Aku tahu apa yang harus kulakukan."
"Ini adalah takdirku, aku nggak punya pilihan. Seluruh Keluarga Burhan membutuhkanku untuk menyelamatkan mereka. Meskipun aku nggak mau, aku nggak akan melakukan hal yang merugikan keluarga ini. Tenang saja."
Sungguh ironis. Keluarga Burhan yang dulunya begitu terhormat dan terkenal di Kota Jermada, kini harus bergantung pada pernikahan anak-anaknya demi menyelamatkan nama keluarga.
Yang paling menyedihkan adalah meski pihak pria bukan pasangan yang cocok untuk pernikahan ini, mereka bahkan tak berani menolak. Mereka hanya bisa pasrah dan putus asa.
Rosa sudah menerima takdirnya. Ketika kakek yang paling menyayanginya sampai harus merendahkan diri untuk memohon padanya, ketika seluruh anggota Keluarga Burhan memohon dengan putus asa agar dia menyelamatkan keluarga, dia tahu hidupnya sudah hancur.
"Bu, aku keluar sebentar. Kalau ada keperluan, telepon aku saja."
Setelah mengatakan itu, Rosa meninggalkan ruangan.
Dia tetap memutuskan untuk menemui Axel. Meskipun dirinya sudah tidak punya hak lagi untuk mencintai Axel, tapi dia tetap tidak bisa melepaskan dan melupakannya.
Terutama saat ini, ketika Axel baru saja keluar dari penjara, tapi malah menghadapi perceraian. Pasti hatinya sangat hancur dan menderita. Dia ingin menemui Axel. Meskipun hanya bisa memberikan sedikit penghiburan, baginya itu sudah cukup berharga.
Sementara itu, Clara yang baru saja menutup telepon dari Rosa tampak seperti gunung berapi yang siap meletus, penuh dengan kemarahan.
"Dulu, sikap Rosa terhadap Axel memang mencurigakan. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, dia masih saja nggak tahu malu. Benar-benar menyebalkan."
Melihat Clara yang marah, Jessi yang duduk di sebelahnya menghela napas dalam hati. Dia merasa Clara tidak seharusnya bersikap seperti ini.
Bagaimanapun, Clara dan Axel sudah bercerai. Kalau Axel benar-benar direbut orang, justru itu bisa mengurangi banyak masalah. Tapi sikap Clara sekarang jelas-jelas seperti wanita yang cemburu.
"Clara, seharusnya kamu nggak marah, tapi senang. Kan kamu memang ingin memutus semua hubungan dengan Axel, dan juga takut dia mengganggumu. Kalau dia benar-benar punya hubungan dengan Rosa, itu bukan hal yang buruk."
Mendengar perkataan Jessi, Clara langsung meledak dan berkata dengan marah, "Perceraianku dengan Axel adalah urusan kami berdua. Sekalipun aku ingin memutus semua hubungan dengannya, Rosa nggak berhak menuduhku nggak berperasaan. Apalagi sikapnya yang sok suci dan terlihat penuh perhatian itu, melihatnya saja sudah membuatku muak."
"Dulu Axel adalah suamiku. Sekarang, meski sudah bercerai, dia tetap mantan suamiku. Rosa itu siapa? Berani-beraninya dia menggurui aku. Padahal dia sendiri yang nggak tahu malu, menyukai pria yang sudah menikah, bahkan sampai sekarang masih menginginkannya. Benar-benar nggak tahu diri."
Jessi tersenyum pahit dan tidak tahu harus berkata apa saat ini.
Tapi dia punya firasat bahwa Clara sebenarnya tidak pernah melupakan Axel. Sekeras apa pun usahanya untuk memutus hubungan, di hatinya selalu ada Axel.
Hanya saja, mungkin Clara sendiri belum menyadarinya.
Mengingat hal ini, tatapan Jessi menjadi lebih dingin. Dia tidak akan membiarkan Clara memiliki kesempatan sedikit pun untuk menyesal. Kalau sampai Clara dan Axel rujuk kembali, maka semua usahanya akan sia-sia.
Janji yang diberikan oleh putra sulung Keluarga Sandiro di Provinsi Tanjara adalah sesuatu yang didambakan banyak orang, serta cukup untuk membuat seseorang melesat dan meraih kesuksesan besar. Bagi Jessi, ini adalah kesempatan terbaiknya, bahkan bisa dibilang satu-satunya kesempatan.
Dia sama sekali tidak boleh melewatkannya.
Clara harus benar-benar memutuskan hubungan dengan Axel.
Bahkan, mereka harus menjadi musuh.
"Benar, Rosa memang nggak tahu malu dan selalu bersikap sok baik. Clara, kamu ingat kan, dia orang yang paling munafik. Dulu, saat kita bertiga selalu bersama, dia sering melakukan hal-hal kecil seolah memberi kita kebaikan hanya karena kondisi keluarganya lebih baik dari kita. Apa kamu pikir dia tulus?"
"Nggak. Dia cuma mau memuaskan rasa sombongnya demi kebanggaan dirinya sendiri. Dia terus bersikap sok simpati pada kita. Benar-benar menjengkelkan."
Jessi dan Clara terus membicarakan berbagai keburukan Rosa, tetapi mereka lupa bahwa kemunafikan yang mereka sebutkan adalah Rosa yang pernah membantu mereka berkali-kali. Rosa bahkan tidak mengharapkan balasan dan seringkali membantu mereka dengan hati-hati agar tidak melukai harga diri mereka. Tapi hasilnya, dia malah dianggap sombong dan sok baik?
Mendengar itu, Clara menundukkan kepala, mengepalkan tinju, dan amarahnya sama sekali tidak mereda.
Jessi semakin menambah api kemarahan dengan berkata, "Menurutku, kamu nggak perlu marah, Clara. Yang paling penting sekarang adalah membawa Rosa bertemu Axel. Apa pun yang terjadi antara mereka nanti, atau bagaimana mereka berbicara, bukankah semuanya tergantung pada kita?"
"Apalagi, mengingat sifat dan kepribadian Regi, apa menurutmu dia akan membiarkan Rosa dan Axel lepas begitu saja? Regi pasti akan menghukum Rosa. Kalau kamu nggak mau Axel terluka, kamu juga bisa muncul sebagai penyelamat. Bersikap fleksibel sesuai situasi adalah strategi terbaik."
Mendengar itu, Clara menatap Jessi dalam-dalam dan berkata, "Sepertinya kamu lebih membenci Axel dan Rosa daripada aku."
Mendengar ini, Jessi gemetar dalam hati, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Aku hanya mempertimbangkan masalah dari sudut pandangmu. Aku merasa ini nggak adil untukmu."
"Clara, aku melihat bagaimana perjalananmu hingga hari ini. Jangan biarkan Axel merusak masa depanmu lagi, kalau nggak, kamu akan menyesal nanti."
"Selain itu, jangan lupa, Pak Simon akan datang ke Jermada dalam beberapa hari. Kalau kita nggak menekan Axel sekarang dan terjadi masalah lagi hingga Pak Simon benar-benar turun tangan, Axel pasti nggak akan selamat."
"Jadi, kita harus mengendalikan Axel, bahkan jika memungkinkan, memasukkannya ke penjara selama beberapa hari adalah solusi terbaik. Setidaknya, ini juga bisa dianggap sebagai perlindungan untuk Axel, bukan?"
Mendengar ini, Clara terdiam sejenak sebelum berkata, "Aku akan memikirkannya. Kalau nggak ada jalan lain, hanya ini yang bisa dilakukan. Aku melakukan ini untuk menyelamatkan nyawa Axel. Sayangnya, dia terlalu biasa dan nggak istimewa. Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk Axel, tapi dia nggak akan pernah mengerti jerih payahku."
"Niat baik dianggap jahat. Mungkin di belakangku, dia pasti memakiku. Tapi biarlah ... bagaimanapun, aku dan dia sudah nggak ada hubungan lagi. Aku juga nggak mengharapkan terima kasihnya. Aku hanya berharap dia nggak akan menggangguku lagi di masa depan."
Setelah mengatakan ini, Clara menghela napas pelan, seolah-olah dia telah melakukan hal yang sangat baik dan mengalami ketidakadilan yang besar.
Namun, yang akan dia lakukan selanjutnya justru adalah hal yang benar-benar merugikan orang lain.