Bab 10
Saat pintu terbuka, Yoga melangkah masuk dengan setelan jas hitam berpotongan sempurna, wajahnya dingin dan tajam, seluruh tubuhnya memancarkan tekanan kuat hingga seluruh ruang rapat seketika sunyi senyap.
Rapat pun dimulai. Para kepala departemen bergantian melaporkan perkembangan proyek, dan Yoga duduk di posisi utama, mendengarkan dengan wajah tenang.
Pada saat itu, ponsel pribadinya mulai bergetar. Dia melirik sekilas pada layar. Itu panggilan dari telepon rumah di vila.
Dia mengangkat tangan, memberi isyarat agar laporan dihentikan sementara, lalu menjawabnya.
Suara panik seorang pelayan terdengar. [Pak! Gawat! Ibu ... Ibu menyalakan api, seluruh vila terbakar!]
Yoga mendengarnya tanpa sedikit pun perubahan di wajahnya. "Nggak masalah. Terbakar ya sudah. Nanti pindah saja ke vila yang lain."
Dia menutup telepon, memberi isyarat agar rapat dilanjutkan.
Laporan baru berlanjut ke bagian penting ketika telepon kedua kembali masuk, berasal dari pimpinan sebuah balai lelang kelas atas. Suaranya penuh hormat, tetapi terdengar gelisah. [Pak, maaf mengganggu. Nona Wilma minta kami melelang semua perhiasan, aksesori, dan tas mewah yang Anda hadiahkan padanya. Karena nilainya sangat besar, kami ingin mengonfirmasi dengan Anda ... ]
Ekspresi Yoga tetap tidak berubah. "Terserah dia."
Dia kembali menutup telepon, dan meminta rapat dilanjutkan.
Tidak lama kemudian, telepon ketiga berdering. Itu dari Mia, suaranya disertai tangis. [Yoga, unggahan Wilma di Twitter menyerangku. Sekarang makin banyak orang yang merundungku. Aku harus bagaimana ... ]
Nada Yoga tetap tenang. "Apa yang dia unggah? ... Jangan menangis dulu, biar aku lihat. Apa pun yang dia unggah, akan aku urus."
Dia menutup telepon, membuka Twitter, dan benar saja, unggahan Wilma yang baru saja dipublikasikan langsung terpampang.
Isinya bukan klarifikasi seperti yang diminta Yoga, melainkan membagikan ulang tuduhan plagiarisme, disertai satu kalimat yang langsung menjatuhkan bukti bahwa Mia mencuri karyanya.
[Selamat untuk si pencuri yang mencuri fotoku, sekarang benar-benar terkenal!]
Yoga menatap unggahan itu, sorot matanya berubah muram.
Dia sudah menduga Wilma tidak akan patuh begitu saja, tetapi dia tidak menyangka gadis itu akan bertindak setegas itu, tanpa menyisakan sedikit pun muka.
Sudahlah, semuanya sudah dalam perhitungan.
Saat dia hendak memerintahkan asistennya menangani krisis hubungan masyarakat, telepon keempat kembali berdering.
Itu panggilan telepon dari sahabat dekatnya.
[Gila! Yoga! Kamu benar-benar melepas Wilma yang liar dan cantik itu? Kalau kamu nggak mau, aku yang ambil!]
Jemari Yoga yang memegang ponsel menegang. "Maksudmu?"
[Kamu belum tahu?] Sahabatnya makin terkejut. [Lihat Facebook-mu! Wilma yang unggah!]
Yoga segera keluar dari layar panggilan dan membuka Facebook.
Unggahan pertama yang muncul adalah dari Wilma.
Dua foto.
Satu foto, buku perceraian yang dibuka.
Satu lagi, swafoto Wilma di ruang tunggu bandara. Dia memakai kacamata hitam, bibir merahnya terangkat, dan di belakangnya terpampang layar besar informasi penerbangan.
Di atas foto, terpampang kalimat mencolok ...
[Single dan bahagia! Yang mau jadi pacarku, antre daftar.]
Kolom komentarnya sudah meledak!
Dari atas hingga bawah, padat tidak berujung. Ada ratusan komentar, dari anak-anak konglomerat, pemuda berbakat dari berbagai lingkaran sosial, bahkan beberapa aktor pria terkenal ... semuanya berbaris rapi.
[Daftar +1]
[Kakak, lihat aku! Aku yang pertama antre!]
[Nona Wilma, beri aku kesempatan!]
[Aku sudah kirim CV lewat pesan pribadi, mohon pertimbangkan!]