Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Setelah mandi, Viandina memaksa dirinya berbaring di atas tempat tidur. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuatnya segera terlelap. Entah sudah berapa lama, dalam setengah sadar, dirinya merasakan tubuh panas menindihnya, aroma familier bercampur bau alkohol menyelimuti seluruh dirinya. Itu Mervis. Seperti biasa, tanpa banyak pemanasan, pria itu segera memulai tindakannya. Dulu, setiap kali pria itu tiba-tiba menuntut seperti ini, selalu disertai kata-kata lembut seperti "aku terlalu merindukanmu" atau "aku tak bisa menahan diri", membuat pipinya merah padam dan hatinya bergetar manis. Namun sekarang, Viandina tahu, semua itu hanya demi mempercepat hitungan menuju sepuluh ribu kali, agar penyakitnya sembuh, supaya dirinya bisa mengejar wanita yang benar-benar dicintainya. Viandina segera membuka mata dan mendorongnya kuat-kuat. Mervis yang sedang tenggelam dalam kenikmatan, merasa terganggu dan sedikit kesal, suaranya terdengar rendah dan serak, "Ada apa?" "Aku nggak enak badan." Viandina memalingkan wajah, menghindari ciumannya. Mervis tertawa pelan. Kehangatan jarinya terasa membakar kulit Viandina dengan sentuhan ringan. Nada suara pria itu penuh rayuan yang biasa membuatnya lemah, "Nggak enak badan? Tapi kurasa di sini ... bukankah menyambutku dengan baik?" Jantung Viandina berdetak keras. Kata-kata seperti ini, sikap seperti ini, dulu membuatnya berkali-kali salah mengira bahwa lelaki itu benar-benar mencintainya. Wanita menahan diri agar tidak mendorongnya lagi, suaranya bergetar halus, "Bukan itu ... hatiku yang nggak enak. Aku nggak mau." Mervis tidak menanggapinya serius, mengira Viandina hanya sedang bermanja. Pria itu menunduk, mencium lehernya, lalu membujuknya dengan lembut, "Jangan rewel, sebentar lagi juga selesai." Sentuhan itu membuat seluruh tubuhnya menegang. Rasa terhina dan sakit hati membanjiri Viandina. Akhirnya dirinya tak tahan lagi, suaranya bercampur tangisan, "Karena kamu nggak mencintaiku, makanya kamu nggak pernah peduli pada perasaanku, 'kan? Kamu cuma perlu pelampiasan, begitu, 'kan?" Gerakan Mervis segera berhenti. Dirinya mengangkat kepala, menatap mata Viandina yang penuh air mata, alisnya berkerut. "Siapa yang bilang begitu padamu? Kalau aku nggak mencintaimu, bagaimana bisa aku tidur denganmu sesering ini? Bagaimana bisa aku memanjakanmu seperti seorang putri?" "Aku memang putri!" "Baik, baik, kamu putri kecil." Nada suara pria itu penuh kepura-puraan, lalu dia kembali menindih Viandina, napasnya terasa panas, "Putri kecilku, tahan sedikit lagi, sebentar saja ...." Sebentar saja ... apakah itu artinya jumlahnya hampir genap sepuluh ribu? Hati Viandina terasa membeku, tenggelam dalam keputusasaan. Dirinya tahu malam ini pun tak akan bisa lolos. Saat dirinya sudah pasrah, bersiap menanggung semuanya seperti boneka mati, tiba-tiba ponsel di meja samping berbunyi nyaring. Gerakan Mervis terhenti. Dengan kesal, dirinya melirik layar ponsel. Begitu melihat nama peneleponnya, wajahnya segera berubah, Yurilia. Pria itu segera bangkit, tanpa ragu mengangkat telepon. Suaranya yang tersirat kelembutan dan kegugupan adalah suara yang belum pernah Viandina dengar sebelumnya. "Kak Rilia? Kamu sudah kembali dari luar negri? Tunggu di sana, aku segera datang!" Pria itu bahkan tidak menoleh pada Viandina yang masih di tempat tidur. Dengan cepat dia mengenakan pakaian, mengambil kunci mobil, lalu bergegas keluar kamar. Suara langkahnya menghilang di tangga, disusul deru mesin mobil yang kian menjauh. Viandina meringkuk di atas ranjang yang berantakan sambil mendengarkan suara mobil yang makin jauh, tubuhnya terasa dingin membeku. Dirinya menatap keluar jendela. Di langit malam, beberapa bintang tampak sangat terang, samar-samar mulai membentuk garis sejajar. Hampir waktunya. Tak lama lagi, dirinya akan pergi selamanya dari pria yang telah menipu tubuh dan hatinya itu. Keesokan siang, Mervis baru kembali. Wajahnya terlihat tenang, bahkan sedikit santai, seolah semalam tidak terjadi apa-apa. "Sudah bangun?" Si pria melangkah mendekat, nadanya lebih lembut dari biasanya. "Tadi malam ada urusan mendadak, Kak Rilia baru pulang dari luar negeri, sulit dapat taksi di bandara, jadi aku menjemputnya." Viandina menunduk, tidak menjawab. Mervis terus bicara, "Kak Rilia dengar aku punya pacar, dia ingin bertemu denganmu. Kita makan siang bersama, tempatnya sudah dia pilih." "Aku nggak mau pergi." Suara Viandina kering dan datar. Alis Mervis berkerut, nadanya berubah tegas, "Jangan keras kepala. Kak Rilia sangat penting bagiku, dia jarang sekali ingin bertemu orang." Selesai berkata, tanpa memberi kesempatan untuk menolak, Mervis setengah memaksa membawanya keluar rumah. Di restoran mewah, Yurilia sudah menunggu. Dirinya mengenakan setelan Chario yang elegan dengan riasan yang sempurna. Sikapnya lembut dan tenang, terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Yurilia memang memancarkan pesona khas wanita matang. Melihat mereka datang, Yurilia tersenyum dan bangkit. "Ini pasti Dina, ya? Cantik sekali. Berdiri di samping Mervis, kalian benar-benar pasangan yang serasi." Yurilia menggenggam tangan Viandina dengan ramah. Meskipun kata-katanya terdengar seperti pujian, Viandina dengan tajam menangkap perubahan halus pada tubuh Mervis yang sekejap tampak kaku, dengan raut wajah yang agak canggung. Viandina tahu apa yang dipikirkan pria ini. Pasangan serasi? Dalam hati Mervis, wanita yang "serasi" dengannya ... tidak pernah dirinya, Viandina.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.