Bab 5
Satu kalimat itu, seperti vonis terakhir, sepenuhnya memadamkan sisa kecil api harapan di hati Viandina.
Tepat saat itu, seorang perawat berlari masuk dengan panik. "Pak Mervis! Celaka! Nona Yurilia jatuh di tangga, dia berdarah banyak sekali!"
Wajah Mervis segera berubah, dirinya berdiri dengan tergesa-gesa dan berlari keluar. Karena gerakannya terlalu cepat, pria itu tanpa sengaja menumpahkan semangkuk sup yang dibawa Yurilia di atas meja nakas! Sup panas itu tumpah sebagian besar ke lengan Viandina yang tidak tertutup selimut!
"Ahhhh!" Viandina menjerit kesakitan, lengannya segera memerah.
Namun Mervis bahkan tidak menoleh, sosoknya sudah menghilang di ambang pintu.
Viandina menahan sakit hingga keringat dingin mengucur, berusaha menekan tombol panggil perawat.
Namun setelah ditekan lama, tak ada satu pun perawat yang datang.
Dirinya menahan rasa sakit akibat luka bakar dan luka kecelakaan, berjuang turun dari ranjang, ingin mencari dokter sendiri.
Di ujung lorong, di depan sebuah ruang perawatan VIP, sekelompok dokter dan perawat berkerumun. Sosok tinggi tegap Mervis berdiri di tengah, mencolok sekali.
Dirinya sedang memarahi para dokter itu, suaranya dingin dan menakutkan, penuh ancaman yang tak bisa dibantah, "Aku nggak peduli kalian pakai cara apa, kalian harus menyelamatkannya! Kalau dia sampai kenapa-kenapa, seluruh pihak rumah sakit ini akan kubuat menanggung akibatnya!"
Kemarahan dan kehilangan kendali Mervis seperti itu, semuanya demi Yurilia.
Hati Viandina terasa getir, dirinya tak sanggup melihat lagi. Dia berbalik, lalu dengan susah payah berjalan ke meja perawat.
Untung masih ada satu perawat magang muda yang tertinggal. Melihat luka bakar di lengan Viandina yang mengerikan dan wajahnya yang pucat pasi, si perawat kecil itu terkejut dan segera mengambil salep luka bakar dan perban untuk membantu Viandina merawat lukanya.
Sepanjang proses itu, Viandina menggigit bibir erat-erat tanpa mengeluarkan suara. Rasa sakit di tubuhnya, bagaimana bisa menandingi sepersepuluh dari sakit di hatinya?
Setelah lukanya dibalut, Viandina dengan tubuh lemah kembali ke lorong. Tepat saat itu, dia mendengar dokter berkata kepada Mervis bahwa Yurilia kehilangan banyak darah, dan dirinya memiliki golongan darah langka RH negatif, sementara stok di bank darah tidak mencukupi.
Mervis segera menggulung lengan bajunya. "Ambil darahku! Aku juga RH negatif!"
Adegan berikutnya seperti gerakan lambat yang terukir di benak Viandina.
Viandina menyaksikan para perawat mengambil satu kantong demi satu kantong darah merah segar, sementara wajah Mervis makin pucat, tetapi dirinya tetap dengan keras kepala duduk di sana.
"Pak Mervis, nggak bisa lagi! Anda sudah melewati batas aman donor darah! Kalau terus diambil, nyawa Anda bisa terancam!" Perawat memperingatkan dengan cemas.
Namun Mervis menepiskan perawat itu. Suaranya gemetar karena lemah tetapi penuh kegilaan yang tak bisa dibantah, "Ambil! Nggak apa kalau aku mati! Tapi kalian harus menyelamatkan Kak Rilia! Kalian harus menyelamatkannya!"
Viandina berdiri tidak jauh dari situ, memandangi Mervis yang seperti kehilangan akal, dan di telinganya terngiang lagi ucapan pria itu di ruang rawat tadi,
"Demi dia, aku rela kehilangan nyawaku."
Ternyata, itu sungguh benar.
Sedangkan Viandina? Saat dirinya kecelakaan dan nyawanya di ujung tanduk, ketika tanda tangan keluarga dibutuhkan, pria itu hanya memberinya satu kalimat, "Itu hukuman yang pantas."
Cinta dan tidak cinta, begitu jelas batasnya.
Dirinya tertawa, tertawa hingga air mata mengalir, tertawa sampai tulangnya serasa sakit.
Beberapa hari berikutnya, karena semua dokter dan sumber daya difokuskan untuk menyelamatkan Yurilia, Viandina harus merawat dirinya sendiri. Dengan tubuh lemah setelah kecelakaan, Viandina harus mengganti perban, makan, dan mandi sendiri.
Pernah suatu kali, dirinya mendengar dua perawat bergosip di luar pintu.
"Eh, kamu tahu nggak, Nona Yurilia yang di ruang VIP nomor satu itu sebenarnya apa hubungannya dengan Pak Mervis? Dia memperlakukannya luar biasa baik! Hari itu hampir pingsan karena donor darah, dan beberapa hari ini tak pernah meninggalkannya. Semua yang Nona Yurilia minta pasti dia turuti."
"Sepertinya bukan pacarnya deh? Bukankah pacar resminya Pak Mervis tinggal di kamar nomor 3? Tapi ... yah, Pak Mervis beberapa hari ini sama sekali nggak datang menjenguk Nona Viandina. Kemarin aku lihat Nona Viandina susah sekali mengganti perban sendirian, lukanya hampir terbuka lagi. Aku coba bicara dengan Pak Mervis, minta satu dokter untuk bantu sedikit, tapi malah dimarahi. Katanya semua dokter harus berfokus pada Nona Yurilia .... Aduh, ini gimana ceritanya, ya?"
Viandina bersandar di pintu, mendengarkan semua gosip itu, hatinya sudah mati rasa.
Di hari Yurilia keluar rumah sakit, dirinya melihat Mervis sendiri menjemput Yurilia pulang ke vila mereka.
Yurilia bersandar di pelukannya, wajahnya masih agak pucat. Dirinya menatap Viandina sambil tersenyum lembut. "Dina, maaf ya, aku akan merepotkan kalian untuk sementara. Kalau lukaku sudah sembuh, aku akan segera pergi."
Mervis segera memotong ucapannya, nadanya membawa sikap melindungi yang tak bisa dibantah, "Ini juga rumahmu, kamu boleh tinggal selama yang kamu mau, tak ada yang bisa mengusirmu."
Viandina menatap mereka, menatap rumah yang dulu dianggapnya milik dirinya dan Mervis, yang kini dengan mudah ditempati oleh wanita yang benar-benar ada di hati pria itu. Dirinya tersenyum getir.
Beberapa hari berikutnya, dia benar-benar menyaksikan dan merasakan dengan jelas bagaimana Mervis mencintai Yurilia.
Hanya satu kalimat dari Yurilia: "Aku ingin makan pangsit kepiting kecil di sisi timur kota," dia rela bangun pagi dan mengemudi melintasi setengah kota untuk membelikannya.
Pria itu dengan sabar menemani Yurilia menonton film-film artistik yang dulu selalu diemehkannya, bahkan ketika tertidur di tengah jalan pun tak berani mengeluh.
Dan ketika Yurilia tertidur siang, pria itu dengan hati-hati menyelimutinya, duduk di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut hingga bisa membuat orang tenggelam di dalamnya ....