Bab 20
"Mella, aku sadar kita nggak mungkin lagi bersama. Aku cuma ingin ... bisa mengucapkan selamat tinggal dengan baik padamu."
Wajahnya tampak lelah, tapi pakaiannya tetap rapi dan bersih.
Dia mengenakan kemeja putih dan celana jeans.
Pakaian itu adalah pakaian yang dia kenakan saat pertama kali kami bertemu.
Waktu memang telah berubah, dia bukan lagi pemuda yang dulu pernah membuatku kagum.
Namun melihat sorot matanya yang penuh permohonan, aku menyadari, sepertinya kita belum benar-benar berpisah dengan jelas.
Dulu setiap kali aku mengajak putus, dia selalu merasa aku hanya sekadar marah dan tidak sungguh-sungguh.
"Baik."
Kali ini aku mengangguk.
Hubungan tujuh tahun ini memang sudah waktunya diakhiri dengan baik.
Kami duduk saling berhadapan di kafe.
Setelah hening cukup lama, dia akhirnya berkata pelan,
"Aku cuma ingin tahu satu hal. Kalau dulu Sitta nggak kembali ke sini ... apa kamu akan menikah denganku?"
Aku meneguk kopi Americano yang pahit, tapi meninggalkan rasa manis belakang

Klik untuk menyalin tautan
Unduh aplikasi Webfic untuk membuka konten yang lebih menarik
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda