Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Adelindra sangat gembira, takut salah dengar dan menanyakan lagi, "Benarkah, Nayara?" Nayara melirik bingkai foto yang pecah di lantai, wajahnya tegas, "Elvano sudah mati, jadi aku harus hidup dengan baik." Benar, di hatinya, Elvano sudah mati. Mendengar ini, Adelindra sangat senang. Perlu diketahui, sebelum hari ini, sikap Nayara adalah Elvano sudah mati, hidupnya pun sudah tidak bermakna lagi. Adelindra sangat senang sampai suaranya gemetar, "Benar, orang yang masih hidup harus menjalani hidup dengan baik!" Menjelang tengah malam, suara mesra itu semakin berani. Seperti pisau tumpul, terus mengiris hati Nayara, setiap goresannya tanpa ampun. Dia baru tidur larut malam, saat fajar mulai menyingsing, suara ambulans telah menggema di seluruh rumah Keluarga Atmadja. Nayara membuka pintu kamar dan melihat Elvano dengan cemas menggendong Serena dan berlari ke lantai bawah. Bahkan tidak menoleh sekalipun ke arahnya. Selama bertahun-tahun mengenalnya, Nayara belum pernah melihat Elvano setegang ini, biasanya dia selalu tenang dan teratur. Para pembantu di lantai bawah sedang membicarakannya. "Nyonya Muda bangun pagi-pagi, katanya mual dan mau muntah, membuat Tuan Muda panik dan langsung memanggil ambulans untuk pemeriksaan." Pembantu di samping tersenyum diam-diam dan berkata, "Suara tadi malam terdengar dari kamar pembantu di bawah. Sudah lebih dari sebulan, nggak hamil itu baru nggak wajar bukan?" Nayara berdiri di tangga spiral, jarinya meninggalkan bekas di kayu mewah tangga itu. Telepon dari rumah sakit segera masuk. Secara khusus, menyuruh Nayara ke sana. Nayara merasa jijik dan tidak ingin pergi, tapi ibu mertua menekannya dengan halus dan menekankan kewajiban moral, "Nayara, meski Elvano telah pergi, itu nggak mengubah fakta kamu adalah bagian dari Keluarga Atmadja. Keluarga Atmadja memang sedikit keturunannya dan goyah, anak ini adalah harta berharga, kehadirannya tidak mudah didapat." Setelah itu, ibu mertua menghela napas, "Dokter Brananta terkenal sebagai ahli kandungan, tapi dia terkenal sulit, berapa pun uangnya, dia nggak bersedia datang. Keluarga Santosa berada di dunia medis, pasti masih ada hubungan bukan?" Melihat Nayara masih tidak tergoyahkan, ibu mertua melanjutkan, "Nayara, Keluarga Atmadja nggak pernah memperlakukanmu dengan buruk, begitu pula pada Keluarga Santosa, dulu ...." Melihat ibu mertua hendak membicarakan bantuan pada Keluarga Santosa dulu, Nayara mengangkat tangan, "Aku pergi." Dulu Keluarga Atmadja memang membantu Keluarga Santosa secara ekonomi, tapi Keluarga Santosa bukan orang yang menerima begitu saja, utang yang harus dibayar sudah dibayar. Namun jika ibu mertua ingin mengungkitnya, Nayara tidak ingin mengabaikan prinsipnya. Saat Nayara sampai di rumah sakit, Elvano sedang panik mencoba memanfaatkan koneksinya. Tapi ini adalah rumah sakit swasta terbaik di Jayautara dan Dokter Brananta adalah dokter top di bidang kandungan, ada uang pun belum tentu bisa mendatangkannya. Melihat Nayara datang, Elvano buru-buru menghampirinya, memegang erat tangannya hingga pergelangan tangannya sakit. "Nayara! Akhirnya kamu datang! Kondisi kandungan kakak iparmu nggak stabil, dokter bilang mempertahankan kehamilannya agak sulit. Bukankah keluargamu punya hubungan dengan Dokter Brananta?" Nayara menunduk untuk melihat pergelangan tangannya yang memerah dan tersenyum pahit. Dia paling takut sakit dan Elvano tahu. Dia sangat sensitif terhadap rasa sakit, terkadang hanya tepukan ringan saja sudah terasa sakit baginya. Dulu saat memegang tangannya pun, Elvano selalu sangat hati-hati. Sekarang, demi anak dalam kandungan Serena, dia menjadi kacau seperti ini, memegang tangannya hingga sakit pun tidak dia sadari. Nayara mengangkat bibirnya sedikit, matanya menatap dingin dan tajam, "Kakak, dulu kamu nggak pernah memanggil namaku, selalu memanggilku Adik Ipar." Ironisnya, sebenarnya penyamaran Elvano menjadi Elric banyak celahnya, tapi sebelumnya hatinya yang dibutakan cinta membuatnya percaya bahwa pria yang dicintainya tidak mungkin melakukan hal segila itu, jadi sebelum semalam, dia sama sekali tidak curiga. Ekspresi Elvano sangat canggung, dia berhenti sejenak, seolah merasa Nayara tidak akan menyadarinya, lalu matanya kembali santai. "Serena berbaring di ranjang rumah sakit, aku panik, jadi wajar saja kalau salah panggil." Nayara tersenyum dingin, "Oh? Panik? Kalau panik, seharusnya kamu pelan-pelan! Bukankah Kakak Ipar semalam terus memintamu pelan-pelan?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.