Bab 2
Seperti biasa, Raka akan membungkuk untuk membantu memasangkan sabuk pengaman Talita. Melihat kedua mata wanita itu memerah, dia pun berusaha menghibur dengan berkata, "Soal video itu, itu cuma kecelakaan. Aku akan menyuruh orang untuk membereskannya. Kondisimu sedang buruk hari ini. Biar aku antar pulang dan istirahat."
Talita hanya diam. Air matanya kembali menetes saat mengingat ucapan Raka di kantornya tadi.
Raka jadi kaget. Dia mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Talita. Dia kemudian teringat sesuatu, dan membuka mobil sambil berkata, "Tunggu sebentar, aku mau beli sesuatu."
Setelah pintu mobil tertutup, Talita baru sadar kalau Raka salah mengambil ponsel.
Ponsel Raka sendiri berada di samping sandaran tangan. Talita mengambilnya, dan memasukkan tanggal lahir Kania untuk membuka kunci layar.
Kunci layar ponsel itu pun berhasil terbuka. Talita melihat nama Kania ada di daftar teratas kontak WhatsApp Raka.
Dalam riwayat percakapan terakhir mereka, Kania bertanya apakah Raka benar-benar akan memutuskan hubungan dengan Talita sebelum Kania pulang.
Raka pun menjawab: [Cuma main-main saja. Aku nggak pernah serius dengannya.]
Dada Talita terasa sesak. Dia menahan perih di hidungnya, sambil terus menggulir layar ponsel ke atas.
Selama dua tahun Kania berada di luar negeri, Raka terus meneleponnya setiap hari. Biasanya, mereka akan mengobrol di telepon sekitar jam delapan malam.
Di jam-jam itu, Raka sering bilang kalau sedang ada rapat direksi. Dia meminta Talita untuk tidak mengganggunya apa pun yang terjadi.
Selain itu, Raka juga akan mentransfer uang pada Kania setiap bulan. Nominalnya bahkan mencapai ratusan juta, tanpa embel-embel pesan apa pun.
Kania pandai merayu dan bermanja-manja. Dia sesekali mengirimkan foto untuk meminta pujian. Raka akan membalasnya dengan stiker lucu yang belum pernah Talita lihat. Bahkan pria itu juga mengingatkan Kania agar tidak memakai pakaian terlalu tipis supaya tidak masuk angin.
Melihat riwayat obrolan mereka membuat Talita akhirnya paham. Dia memang tidak pernah benar-benar mengenal Raka.
Sikap lembut dan perhatian pria itu, hanya secuil dari besarnya cinta yang Raka berikan untuk Kania.
Raka kembali ke mobil dengan membawa satu kotak pil kontrasepsi darurat.
Raka membelai lembut kepala Talita sambil berkata, "Tadi malam aku terlalu buru-buru sampai melupakan banyak hal. Ini, minumlah untuk jaga-jaga."
Talita menggenggam kotak obat itu dengan erat. Bibirnya hampir berdarah karena dia gigit sendiri terlalu keras.
Kalau saja dia tidak mendengar sendiri ucapan Raka tadi. Dia mungkin akan dengan bodohnya mengira kalau pria itu benar-benar tulus peduli padanya.
Kini, dia sudah sadar sepenuhnya.
Setelah mobil berhenti tepat di depan vila, Raka hendak menciumnya sebagai salam perpisahan seperti biasa. Tapi Talita memilih menghindar dan membuka sabuk pengaman dengan tergesa.
Raka menatapnya dalam-dalam, lalu menahannya dengan satu pelukan.
"Masih marah soal video itu?"
" ... "
"Bukan aku yang merekam video itu. Manajer hotelnya juga sudah dipecat." Raka mengangkat dagu Talita. "Talita, aku nggak berniat menyakitimu, dan nggak akan pernah mau menyakitimu. Hari jadi kita akan segera tiba. Aku akan memberikan kejutan yang bagus untuk menebusnya."
Kebohongan yang dibalut dengan niat baik, memang terasa lebih menyakitkan daripada fakta brutal.
Hidung Talita terasa pedih. Dia mendorong tubuh Raka dan berkata, "Aku pulang dulu."
Dia berlari kecil untuk masuk ke vila.
Siapa sangka, saat baru saja masuk vila, dia malah bertabrakan dengan ayahnya.
Raut wajah ayahnya tampak suram. Talita belum sempat mengatakan sesuatu, ayahnya malah lebih dulu menamparnya dengan keras.
"Talita, kamu ini bisanya cuma pacaran saja. Beraninya kamu merekam video nggak senonoh seperti itu! Mau ditaruh mana wajahku yang sudah kamu permalukan ini!"
"Pantas saja orang-orang di kampus selalu menindasmu. Rupanya karena kelakuanmu sendiri!"
Usai marah-marah seperti itu, ayah Talita pun melemparkan selembar tiket pesawat ke depan putrinya.
"Aku sudah pesankan tiket untukmu. Kamu akan berangkat seminggu lagi. Makin cepat pergi makin bagus. Jangan pernah kembali lagi!"
Talita mengambil tiket pesawat yang terjatuh ke tanah. Jarinya agak gemetar seperti memegang surat keramat. Surat yang menyatakan bahwa dia harus pergi dari dunia ini.
Ayahnya menganggapnya sebagai aib, dan ingin mengusirnya.
Kebetulan, Talita juga sudah tidak mau tinggal di sini lebih lama lagi.
"Aku akan pergi." Suara Talita terdengar tenang. "Aku akan menurutimu, dan nggak akan pernah kembali lagi."
Ayahnya sendiri sampai kaget, dan sempat mengira kalau salah dengar.
Awalnya, saat mengurus kepergian Kania ke luar negeri untuk melanjutkan studi, dia juga menyarankan agar Talita ikut. Tapi anak itu bersikeras menolak. Setelah ditanya berulang kali, akhirnya terungkap kalau Talita ternyata sudah punya pacar, dan mereka saling mencintai.
Dia kira, Talita akan menolak perintahnya lagi.
Tapi, siapa sangka kalau kali ini Talita malah akan langsung setuju.
Kemarahan ayah Talita akhirnya juga sedikit berkurang. Dia berkata dengan nada dingin.
"Kania akan pulang akhir pekan ini. Aku akan mengadakan jamuan makan untuk menyambutnya. Kamu juga harus hadir."
"Video itu sudah tersebar, kalau kamu sembunyi, malah akan terkesan membenarkan rumor yang beredar."
Talita mengangguk dan menjawab, "Aku tahu."
...
Talita meminta izin libur kuliah selama tiga hari.
Selama tiga hari itu, dia mengemas semua barang yang pernah Raka berikan padanya. Dia lalu menjual semuanya secara daring dengan harga asli.
Tiga hari kemudian, Kania kembali ke tanah air.
Tuan Bimo mengadakan jamuan di hotel terbesar di ibu kota untuk menyambutnya. Dia mengundang semua tokoh terkenal di dunia bisnis.
Termasuk juga Raka.
Talita tidak menyangka akan bertemu Raka dalam acara itu. Ketika dia berbalik mau pergi, pria itu malah meraih tangannya dan membawanya ke tempat sepi.
Raka memojokkannya di dinding. Kedua tangan pria itu mengekang erat di kedua sisi tubuh Talita. Helaan napas panas Raka juga menyebar ke telinganya.
"Kamu beberapa hari ini nggak masuk kuliah, nggak membalas pesanku, benar-benar nggak ada kabar."
"Talita, apa kamu tahu seberapa khawatirnya aku?"