Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Nia dibawa ke sebuah arena terjun lenting yang ada di puncak gunung. Arena tersebut tingginya mencapai seratus meter, dan ada tebing curam tepat di bawahnya. Nia berdiri di sana dengan kaki gemetar dan wajah memucat. Toni dan Satya masih terlihat marah. Mereka mengambil tali pengaman dari tangan pegawai, lalu memasangkannya sendiri ke tubuh Nia. Mereka kemudian memaksanya ke ujung papan loncat. Nia menatap jurang di bawah kakinya, tubuhnya sontak menegang. Dia bisa mendengar jantungnya yang berdebar kencang. Dengan suara gemetar dia berkata, "Toni, kamu tahu aku takut ketinggian ... " "Aku tahu." Toni menatapnya tanpa ekspresi. "Karena kamu mau mendorong Winda ke lantai bawah, aku akan membuatmu merasakan betapa mengerikannya lompat dari gedung tinggi!" "Nia, kamu pantas mendapatkan hukuman ini. Nyonya Muda Keluarga Gunardi nggak boleh kejam. Ini adalah pelajaran untukmu. Asal kamu mau memperbaiki diri dengan baik, pernikahan kita bisa tetap dilangsungkan." Satya menggigit bibir, kedua matanya tampak suram saat mengatakan, "Jangan takut, kamu nggak akan mati." Usai dua orang itu puas bicara, mereka pun mendorong Nia ke bawah ... Gaya gravitasi menarik tubuh Nia, membuat jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sesaat, dadanya terasa nyeri hebat. Dalam kondisi ketakutan, Nia malah sama sekali tidak sanggup berteriak. Dia hanya bisa menangis saat jatuh dari ketinggian bersama terpaan angin kencang. Hanya ada kehampaan serta keputusasaan di matanya sekarang. Nia tergantung terbalik di tebing selama setengah jam. Napasnya sudah sesak dan nyaris pingsan. Saat itulah, dia baru ditarik kembali ke atas. Dia terkulai di lantai arena, lalu berusaha menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sensasi kesemutan akibat tubuhnya yang kekurangan oksigen. Namun, detik berikutnya, seorang pegawai wahana tersebut berkata, "Nona, Tuan Toni sebelumnya bilang kalau kamu harus lompat sepuluh kali sebelum pergi dari sini." Nia belum sempat bereaksi, tapi sudah didorong dan lompat ke bawah lagi. Lompatan pertama, kedua, ketiga ... Dia juga akan dibiarkan menggantung selama setengah jam untuk setiap lompatan. Istirahat singkat sama sekali tidak cukup untuk mengisi ulang tubuhnya yang kekurangan oksigen. Saat Nia sudah nyaris pingsan, hukuman itu akhirnya selesai. Matahari sudah terbenam, lampu di atas wahana membuat Nia masih sanggup mempertahankan sisa-sisa kesadarannya. Di wahana itu juga hanya tinggal satu orang pegawai saja. Pegawai tersebut melepaskan tali pengaman dari tubuh Nia. Saat pegawai itu mau berbalik pergi, Nia menarik celananya. "Bawa aku ... ke rumah sakit ... " Suara Nia begitu lemah, seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Pegawai tersebut menggelengkan kepala dan berkata, "Maaf, Nona Nia. Tuan Toni tadi melarang kami membantumu. Kawasan wisata ini milik Keluarga Gunardi, dan aku nggak mau kehilangan pekerjaanku." Pegawai itu kemudian pergi. Cahaya terang lampu di sana begitu menyilaukan, membuat mata Nia perih dan air matanya mengalir. Dia beristirahat sejenak di sana, kemudian berusaha bangkit dengan susah payah. Dia lalu menuruni gunung dengan berjalan kaki. Dia terus berjalan hingga mencapai lereng. Saat itu, dia akhirnya bertemu dengan seorang wisatawan baik hati yang mau mengantarnya kembali ke kota. Nia tidak pulang ke rumah, tapi pergi ke rumah sakit. Sambil memegang senter, dia mencari-cari kalungnya di halaman tepat di bawah ruang perawatan Winda. Duri semak belukar menggores kulitnya, nyamuk-nyamuk juga terus menggigitnya sampai tubuhnya bentol-bentol. Tapi Nia sama sekali tidak memedulikannya, dan terus mencari dengan saksama. Seiring berjalannya waktu, dia makin lama makin gelisah. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Tiba-tiba, terdengar suara teguran keras dari belakangnya. "Siapa kamu? Sedang apa di sini?" Suara barusan merupakan suara satpam rumah sakit. Berkat bantuan satpam tersebut, Nia bisa bertemu dengan petugas kebersihan yang membersihkan halaman. "Tadi aku memang menemukan kalung, tapi karena kukira kalung itu sengaja dibuang, makanya aku lemparkan ke tong sampah." Nia pun bertanya, "Di mana tempat sampahnya?" Petugas kebersihan itu menggeleng. "Semua tong sampahnya sudah dibawa ke tempat pembuangan terakhir. Mustahil bisa menemukan kalung itu lagi meski mencarinya sekarang." Air mata Nia langsung tumpah. "Di mana tempat pembuangan akhirnya? Kalung itu sangat berarti untukku, aku harus menemukannya!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.