Bab 1
Nara Yalvaro pernah menjadi sosok paling bersinar di Kota Avarin. Dia menjalani hidup sebebas angin, sepanas api, dengan keberanian tanpa batas.
Namun, dia justru menikah dengan Arkan Jintara, penguasa keluarga konglomerat yang dikenal paling ketat, disiplin, dan penuh kendali di kalangan elite. Pria itu bagaikan mesin presisi yang bekerja tanpa cela.
Dia tidak hanya menuntut kesempurnaan dari dirinya sendiri, tetapi juga dari pasangan di sisinya.
Nara mencintai keramaian, gemar berpesta di klub malam dan dikelilingi para model pria. Namun, Arkan menyuruh seluruh tempat hiburan di Kota Avarin memasukkan namanya ke dalam daftar hitam.
Nara mencintai kebebasan, menikmati terik matahari Afrika dan cahaya aurora Islandia, piawai balap mobil dan terjun payung. Namun, Arkan menyita paspornya dan membatasi setiap langkah perjalanannya.
Nara mencintai fotografi dan melukis, tetapi bagi Arkan semua itu hanyalah kesenangan yang melemahkan ambisi. Kamera dan kuas yang paling Nara sayangi pun disegel, tak pernah lagi boleh disentuh.
Nara nyaris kehilangan kewarasannya. Dia hanya bisa memaksa diri mempelajari setiap aturan yang Arkan tetapkan, dan belajar menjadi seorang istri yang pantas menyandang nama Nyonya Arkan.
Namun, sekeras apa pun dia mengekang diri, tetap saja ada orang yang sengaja mengejeknya pada sebuah jamuan, dan menyindir sifatnya yang liar dan sulit dijinakkan. Amarah Nara meledak. Tanpa pikir panjang, dia menerjang dan terlibat perkelahian dengan beberapa wanita di sana.
Arkan datang setelah mendengar keributan itu. Di tengah bisik-bisik dan tatapan penuh rasa ingin tahu, dia tidak membela Nara. Sebaliknya, dengan nada tenang dan berjarak, dia justru berkata kepada para provokator.
"Maaf, ini kesalahanku karena gagal membimbingnya. Dia ... memang nggak begitu mengerti tata krama."
Pada saat itu, Nara seakan disambar petir. Seluruh darah di tubuhnya terasa membeku dalam sekejap.
Sepanjang hidupnya, dia seakan hanya mengejar satu jawaban bahwa Arkan tak pernah benar-benar mencintainya.
Tak lama setelahnya, sebuah kecelakaan mobil merenggut hidupnya yang singkat dan tertekan.
Namun ketika dia membuka mata kembali, Nara menyadari dirinya telah kembali hidup.
Dia terbangun di waktu yang sama sekali berbeda, tepat di malam sebelum pernikahannya dengan Arkan.
Nara menatap wajahnya di cermin yang masih tampak cerah dan hidup. Dia merasakan jantung di dadanya kembali berdetak, jantung yang mendambakan kebebasan. Nara menarik napas dalam-dalam.
Kali ini, dia tidak menginginkan Arkan lagi, juga tidak menginginkan cinta menyesakkan yang dibawanya.
Dia hanya ingin kembali menjadi dirinya sendiri. Bebas, bersinar, dan hidup tanpa belenggu.
Hal pertama yang dia lakukan adalah berlari turun ke lantai bawah, menemui ayahnya, Hendra Yalvaro, yang sedang sarapan di ruang makan.
"Aku ingin membatalkan pertunanganku dengan Arkan!"
Tangan Hendra yang memegang sendok terhenti. Dia mendongak tajam, wajahnya langsung diliputi amarah. "Kamu ini kenapa lagi? Selama ini, kamu selalu bersikap sesuka hati, tapi Ayah masih bisa menutup mata. Tapi pernikahan dengan Keluarga Jintara adalah kesempatan yang banyak orang impikan seumur hidup! Arkan itu luar biasa. Latar belakang keluarga, kemampuan, penampilan, semuanya nyaris sempurna. Apa kamu benar-benar nggak tahu itu?"
Melihat ekspresi ayahnya yang seolah ingin segera menyerahkannya ke Keluarga Jintara, Nara justru tersenyum dingin. "Kalau dia memang sehebat itu, suruh saja putri kesayangan Ayah yang menikah dengannya. Aku rela menyerahkan pertunangan ini padanya."
Mendengar itu, kemarahan di wajah Hendra mendadak membeku, lalu berubah menjadi kegembiraan yang nyaris tak bisa disembunyikan. "Apa katamu barusan? Kamu benar-benar mau menyerahkannya pada adikmu?"
"Iya," jawab Nara dingin. "Bukankah Ayah memang lebih menyukai wanita selingkuhan dan anaknya itu? Sandra dididik dengan baik, lembut, tahu aturan. Ayah juga sudah menghabiskan banyak uang untuk membentuknya jadi seorang sosialita. Pas sekali kalau dia yang menjadi nyonya di keluarga besar seperti Keluarga Jintara."
"Kamu keterlaluan!" Wajah ayahnya berubah pucat lalu memerah. "Jangan sembarangan menyebut orang lain selingkuhan. Dia itu adikmu!"
"Pernikahan dua keluarga ini sudah lama disepakati dan nggak bisa dibatalkan," lanjutnya setelah menarik napas. "Tapi kalau kamu bersikeras menyerahkannya ... ya sudah. Mau nggak mau harus dijalankan. Aku akan segera ke rumah Keluarga Jintara untuk membicarakan penggantian calon."
Begitu selesai bicara, Hendra hampir tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia langsung berdiri, meraih jaket, dan langsung pergi tanpa menyentuh sarapannya sedikit pun.
Melihat sosok ayahnya yang pergi dan berpura-pura tenang namun jelas dipenuhi kegirangan, Nara merasa ironis.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia naik ke lantai atas, mengambil dokumen dan tasnya, lalu ikut melangkah keluar rumah.
Dia lebih dulu mengurus visa ke luar negeri melalui jalur cepat, lalu menelepon sahabat karibnya, Kinan, dan langsung meluncur ke bar paling populer di pusat kota.
Dentuman musik yang memekakkan telinga, cahaya lampu yang berpendar samar, tubuh-tubuh yang meliuk di lantai dansa ... semua itu membuat Nara merasakan kebebasan dan kelegaan yang sudah lama tak dia rasakan.
Dia menarik Kinan untuk berpesta sepuasnya, menari, minum alkohol, bahkan dengan berani memesan beberapa model pria berwajah paling tampan untuk menemani mereka.
Kinan menatap Nara di hadapannya, yang seolah telah melepaskan semua belenggu dan tampak jauh lebih bersinar serta memukau dibandingkan sebelumnya, sampai dia terperangah tak percaya.
"Nara, bukankah keluargamu sebentar lagi akan menjalin pernikahan politik dengan Keluarga Jintara? Arkan itu terkenal sangat kaku dan kolot. Aturan keluarganya saja bisa bikin orang ketakutan! Kalau dia tahu kamu datang ke tempat seperti ini, bahkan sampai memesan model pria, bagaimana? Keluarga Jintara itu bukan pihak yang bisa kita singgung sembarangan! Kalau kamu mau cari mati, jangan seret aku!"
Nara mendongak dan meminum seteguk alkohol. Cairan itu meluncur melewati tenggorokannya, menghadirkan sensasi panas yang terasa begitu melegakan.
Dia tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada malas, "Tenang saja. Aku sudah menyerahkan pertunangan itu pada Sandra."
"Diserahkan?" Kinan membelalakkan mata karena terkejut. "Bu ... bukankah selama ini kamu sangat menyukai Arkan? Begitu banyak pria dari keluarga terpandang mengejarmu, tapi nggak ada satu pun yang kamu suka. Sampai saat kamu bertemu Arkan di gala amal malam itu dan jatuh cinta pada pandangan pertama, kamu bilang pada kami, hanya pria luar biasa sekelas dia yang pantas untukmu ... "
Bibir merah Nara terangkat sedikit, namun sorot matanya dingin dan jernih, tanpa setitik pun kehangatan. "Menyukai dan cocok itu dua hal yang berbeda. Aku dan dia nggak cocok. Dan aku juga nggak akan menyukainya lagi."
"Cinta memang berharga, tapi kebebasan jauh lebih mahal." Dia tersenyum samar. "Aku ini cantik, dan latar keluargaku juga nggak buruk. Mana mungkin aku nggak bisa menemukan seseorang yang benar-benar sejiwa denganku. Misalnya ... "
Nara melirik ke arah model pria di sampingnya yang tersenyum malu-malu. Dia mengulurkan jari-jarinya yang ramping, mengait dagu pria itu dengan lembut, dan berkata dengan nada main-main. "Para pemuda ini juga sudah cukup menarik."
Tepat setelah mengatakan itu, sebuah suara rendah dan dingin, yang begitu kontras dengan hiruk-pikuk di sekitarnya, terdengar dari belakang.
"Menurutmu ... siapa yang menarik?"