Bab 9
"Beraninya kamu, Sandra!" Nara memberontak sambil berteriak, meski tubuhnya dengan mudah ditahan oleh dua pria itu. "Kamu nggak takut kalau setelah aku keluar nanti aku akan membunuhmu?!"
"Membunuhku?" Sandra tertawa, seolah mendengar lelucon paling konyol. "Sebelum kamu sempat menyentuhku, Arkan pasti sudah lebih dulu menghentikanmu. Kamu lupa? Selama ini, berapa kali dia selalu berdiri di pihakku?"
Kalimat itu seperti pisau tajam yang menusuk tepat ke luka terdalam di hati Nara.
Benar. Setiap kali, tanpa peduli siapa yang salah atau benar, Arkan selalu memilih mempercayai dan melindungi Sandra.
Rasa tak berdaya dan keputusasaan yang pekat kembali mencengkeram dirinya.
Dia dipaksa duduk di kursi logam yang dingin, tangan dan kakinya diikat kuat dengan sabuk kulit.
Tak lama kemudian, pelat elektroda ditempelkan ke kulitnya.
Wajah Sandra dipenuhi kepuasan kejam saat dia menekan alat kendali di tangannya.
"Ah!"
Arus listrik yang dahsyat langsung menyambar ke seluruh tubuh Nara. Rasa sakit yang menggila bercampur mati rasa membuat dia menjerit keras, tubuhnya bergetar hebat tanpa bisa dikendalikan.
Pandangannya menggelap, kesadarannya terlepas sedikit demi sedikit di tengah penderitaan ekstrem itu.
Entah berapa lama berlalu. Saat Nara kembali sadar, dia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang yang empuk, bukan lagi di ruang gelap yang mengerikan itu.
Arkan duduk di sisi tempat tidur. Melihat wajah Nara yang pucat dan rapuh, alisnya berkerut dalam. "Aku hanya menyuruh mereka mengurungmu tiga hari untuk introspeksi," ucapnya dengan nada rendah. "Kenapa kamu bisa sampai jadi seperti ini?"
Nara memejamkan mata. Dia tidak ingin menatapnya, juga tidak berniat berbicara.
Sejak lama, dia sudah berhenti berharap Arkan akan memercayainya.
"Nara." Suara Arkan terdengar lebih rendah dari biasanya, terselip kekhawatiran yang nyaris tak kentara, "Aku tunanganmu. Seharusnya kamu menceritakan apa pun kepadaku."
Tunangan?
Nara mencibir dalam hati.
Dia perlahan membuka mata, menatap Arkan lurus-lurus. Suaranya tenang, terlalu tenang, seolah tak lagi menyisakan emosi apa pun. "Baik. Akan aku ceritakan," katanya datar. "Semua luka di tubuhku ini karena Sandra kesayanganmu itu. Di hari ketiga, dia membawa orang masuk ke ruang tahanan, mengikatku di kursi setrum, lalu menyetrumku sampai jadi seperti sekarang."
Arkan terkejut. Wajahnya tampak tak percaya. "Kursi setrum? Nggak mungkin! Mana mungkin dia melakukan hal seperti itu ... "
"Lihat? Kamu tetap nggak percaya." Nara tersenyum miring, penuh ejekan.
Tidak apa-apa. Jika Arkan memilih menutup mata, maka urusan ini akan dia selesaikan sendiri.
Dan Nara selalu menepati kata-katanya.
Malam itu juga, Nara bergerak. Dia menyuruh orang menculik Sandra yang diketahui memiliki fobia ketinggian parah, melucuti pakaiannya, mengikatnya, lalu menggantungnya di tepi atap gedung Grup Jintara. Tubuh Sandra dibiarkan tergantung di udara, diterpa angin dingin malam, selama semalaman penuh.
Keesokan harinya, Arkan datang dengan amarah membara. Tatapannya seperti hendak membakar siapa pun yang dilewatinya. "Nara! Kamu sudah keterlaluan! Menggantung Sandra di atap semalaman! Kamu tahu nggak, dia panik dan meronta sampai jatuh?! Kalau bukan karena jaring pengaman di bawah, dia sudah mati!"
Nara duduk di dekat jendela. Mendengar itu, dia bahkan tidak mengangkat kelopak mata. Wajahnya datar, seolah Arkan sedang menceritakan kejadian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia.
Arkan menatap Nara yang tetap keras kepala dan tidak menunjukkan sedikit pun rasa menyesal. Amarahnya pun semakin memuncak. "Kalau bukan karena pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi, aku dan keluargamu nggak akan membiarkanmu begitu saja. Mulai sekarang, kamu harus tetap di rumah. Nggak boleh pergi ke mana pun, dan jangan sekali-kali membuat masalah lagi. Paham?"
Nara tidak menjawab. Dia duduk diam, seolah Arkan sama sekali tidak ada di hadapannya.
Sikap dinginnya membuat Arkan semakin kesal. Dengan wajah membeku, dia berbalik dan pergi sambil membanting pintu.
Malam sebelum hari pernikahan, Sandra akhirnya dibawa pulang ke rumah dengan kondisi pucat dan lemah.
Begitu melihat Nara, Hendra langsung meluapkan amarahnya, memakinya habis-habisan dan menuduhnya berhati kejam.
Nara menanggapinya dengan senyum sinis. "Kalau aku memang sekejam itu, anak kesayanganmu sudah mati berkali-kali sejak lama."
Hendra makin murka. "Anak durhaka! Sampai kapan kamu mau terus membuat keributan?!"
Tatapan Nara tajam dan dingin. "Kamu sendiri yang membawa perempuan lain masuk ke rumah ini, membiarkan anak luar nikah merebut tempat yang seharusnya bukan miliknya. Kalau aku tetap di sini, tentu saja aku dianggap pembuat onar. Kalau nggak, memangnya aku harus apa? Mengabdi pada kalian?"
"Kamu ... kamu ... " Hendra terengah-engah karena amarah, wajahnya memucat. "Cukup! Aku nggak mau berdebat lagi! Dengarkan baik-baik, besok adalah pernikahan Sandra dan Arkan! Kamu nggak boleh muncul! Jangan membuat keluarga ini malu!"
Nara terkekeh pelan. "Tenang saja. Pernikahan yang kaku, penuh kepura-puraan, dan membuat orang sesak napas seperti itu, bahkan kalau kalian memohon, aku pun nggak akan datang."