Bab 1 Hardy, Kita Cerai Saja
"Aku nggak rela berpisah denganmu."
Suara manis terdengar. Susan Kidarsa melihat gadis itu berjinjit dan mencium wajah Hardy Juwanta.
Hardy memegang payung dan mengantar gadis itu masuk ke mobil. "Hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah sampai rumah."
Susan berdiri di kejauhan. Pandangannya bertemu dengan Hardy yang kebetulan sedang mendongak.
Susan tidak membawa payung. Dia kehujanan di sepanjang jalan begitu turun dari bus. Sampai melihat pemandangan di depannya, hatinya terasa sakit.
Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia melewati Hardy dan langsung naik ke atas.
Dia tahu Hardy punya simpanan di luar, tetapi saat melihat hal itu secara langsung, tetap saja terasa berbeda.
Sejak awal menikah dengan Hardy, Susan sudah tahu pria itu punya wanita yang dicintainya. Namun, tepat sebelum Hardy mengungkapkan perasaannya, mereka berdua tiba-tiba sudah tidur di ranjang yang sama.
Kejadiannya cukup mendadak. Sekelompok orang masuk dari luar. Sebelum dia dan Hardy sempat bereaksi, keduanya sudah dipaksa orang tua mereka untuk mendaftarkan pernikahan.
Tidak ada pesta pernikahan, bahkan cincin nikah pun tidak ada.
Hanya ada surat nikah yang membuktikan hubungan mereka. Selain itu, tidak ada lagi.
Cuaca di bulan Maret sangat dingin, apalagi seluruh tubuhnya basah kuyup. Saat angin bertiup, Susan langsung bersin-bersin.
"Kenapa nggak meneleponku?" Tatapan mata Hardy tampak dalam.
Susan tersenyum acuh tak acuh. "Lagian, nggak terlalu jauh."
Mana mungkin dia mengusik kesenangan Hardy?
Susan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia keluar dengan mengenakan jubah mandi. Rambutnya yang agak bergelombang masih meneteskan air. Dia memegang pengering rambut dengan satu tangan, lalu berjalan ke meja rias.
Samar-samar tercium bau tembakau dari belakangnya.
Tubuh Susan menjadi kaku.
Pria itu meraih pengering rambut dari tangan Susan dan tangan lainnya mendarat di pinggang belakang Susan.
Susan pasti mengerti maksudnya.
Susan menurunkan pandangannya, lalu berbalik, dan mendorong Hardy menjauh. "Aku nggak punya minat hari ini."
"Susan, aku mau." Hardy menggenggam lengan Susan dan menggendongnya ke kamar mandi.
Dalam kabut yang menguap, jubah mandi di tubuh Susan sudah lama menghilang.
Saat dada yang membara itu menekannya, Susan refleks ingin melarikan diri, tetapi dagunya dicengkeram erat. Hardy memaksanya untuk menengadah dan berciuman dengannya.
Selama ciuman itu berlangsung, terdengar suara napas berat bercampur dengan suara air. Tubuh Susan gemetar.
Tangan besar dan panas itu perlahan menutupi dada Susan. Jari-jari pria itu saling menarik dan meremas. Puting susu diremas hingga mengeras.
Hardy menundukkan kepalanya dan mengulumnya. Pria itu menggigit puting itu dengan ujung giginya dan mengerahkan sedikit tenaga.
Susan mendesah pelan. Tanpa sadar, tubuhnya merosot ke bawah. Kakinya terasa lemas.
Hardy terlalu mengenal tubuhnya. Pria itu bisa dengan mudah membangkitkan gairahnya.
Hardy memasukkan jarinya di antara paha wanita itu. Cairan tubuh yang basah dan licin menempel di ruas jarinya, memudahkannya untuk akses lebih dalam dan bermain-main.
Mendengar suara erangan Susan yang tidak terkendali, pria itu terkekeh di telinganya. "Sensitif sekali. Baru saja aku sentuh, kamu sudah basah."
Bagi Susan, perkataan itu terdengar sangat ironis.
Dia sudah telanjang bulat, tetapi Hardy masih berpakaian rapi, seolah-olah pria itu bisa melarikan diri dari hubungan penuh gairah itu kapan saja.
Persis seperti hubungan mereka berdua, hanya Susan satu-satunya yang mendalami perannya.
Hardy yang sudah dikuasai hasrat langsung mengangkat Susan ke wastafel. Pria itu membuka ikat pinggangnya dengan satu tangan, lalu menggenggam paha Susan agar melilit pinggangnya yang kekar.
Susan menundukkan kepalanya. Dia melihat alat kelamin Hardy yang tegak dan membesar menempel di antara pahanya. Wanita itu refleks berusaha mendorong. "Jangan ... "
Hardy menggenggam kedua tangan Susan dan menguncinya. Kemudian, pria itu dengan cepat menurunkan pinggangnya dan terdengar suara "jleb". Alat kelaminnya telah masuk sepenuhnya.
"Ah ... " Susan mendesah. Kukunya menancap ke bahu pria itu. "Pelan-pelan."
Sembari menciumi leher Susan, Hardy mengangkatnya dengan satu tangan dan membawanya keluar dari kamar mandi.
Berat seluruh tubuh Susan menekan alat kelamin pria itu. Setiap langkah terasa seakan ditembus olehnya. Kenikmatan yang luar biasa hampir membuat Susan tidak bisa bernapas.
Dia ditusuk hingga tidak bisa bicara. Dia hanya bisa merangkul leher pria itu dan merintih.
Meski Susan bilang tidak mau, tubuhnya sangat jujur dan menuntut untuk dipenuhi.
Hardy mendorongnya ke dinding. Pria itu memompa dengan kuat dari bawah. Dia tidak lupa memasukkan jari-jarinya ke dalam mulut Susan dan mengaduknya. Pria itu menatap wajah Susan yang penuh nafsu. "Bukannya kamu bilang nggak mau? Kenapa yang di bawah mengisap begitu kuat?"
"Lihat, ini semua cairan yang keluar dari tubuhmu." Hardy menggenggam tangan Susan dan menyentuh bagian penyatuan mereka.
Busa putih mengotori tangan Susan. Itu adalah hasil dari dorongan alat kelamin Hardy.
Wajah Susan memerah karena malu. "Jangan ... Jangan dibilang lagi ... "
Akar lidahnya terasa asam. Air liur yang tidak bisa ditelan mengalir dari sudut mulutnya.
"Aku tahu kamu sangat menyukainya." Hardy terengah-engah. Pinggangnya bergerak lebih kencang dan mendorong dirinya lebih dalam lagi.
Susan menggigit bahu pria itu dengan kuat untuk menahan jeritannya. "Berhenti ... Berhenti ... "
Pria itu bukan hanya tidak berhenti, tetapi malah makin menjadi-jadi. Dia memompa dengan keras puluhan kali dan akhirnya mengeluarkan air mani.
Meski memakai kondom, Susan bisa merasakan aliran panas yang sangat kuat itu.
Pikirannya mendadak kosong.
Tak lama kemudian, Hardy mengganti kondom baru. Dia mengangkat tubuh Susan yang masih lemas, lalu membuka kedua kaki wanita itu, dan kembali memasukkan alat kelaminnya ke dalam.
Selain berpegangan pada wastafel dan secara pasif menahan perlakuan brutal pria itu, Susan tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
Entah sudah berapa lama, akhirnya Hardy pun pergi.
Susan terbaring lemas di atas marmer yang dingin. Dia menatap kosong ke arah kondom berisi air mani di lantai. Pahanya masih merah dan gemetar.
Hardy tidak peduli padanya dan langsung pergi setelah terpuaskan.
Mereka berdua seperti orang asing. Bahkan, bercinta pun hanya sekadar melampiaskan nafsu.
Sebenarnya, saat bercinta dengan Hardy dua tahun yang lalu, Susan masih menyimpan niat dalam hatinya.
Sejak kecil, dia sudah menyukai Hardy.
Ditambah lagi, keduanya sudah bertunangan sejak kecil. Dia juga selalu berharap bisa menjadi istri Hardy.
Hanya saja, Hardy sama sekali tidak tertarik dengannya.
Pernikahan yang dicuri seperti ini pada akhirnya tidak akan bertahan lama.
Dia menatap Hardy yang sedang mandi, lalu berbisik, "Hardy, kita cerai saja."
Suara air tiba-tiba berhenti. Suasana di kamar mandi langsung menjadi aneh.