Bab 6 Menyusun Perjanjian Cerai
Riana bertanya dengan kebingungan, "Kenapa nggak mau beri tahu dia? Kalau kamu khawatir dia akan menyakitimu, Ibu bisa membelamu."
Susan menggelengkan kepalanya dengan lelah. "Bu, aku ingin cerai."
Hanya dia satu-satunya yang terjebak dalam pernikahan ini.
Susan tidak ingin melanjutkan lagi.
Riana langsung terdiam. "Kamu sudah pikirkan baik-baik?"
Dia mengerti bahwa Susan bisa mengucapkan kata-kata ini pasti karena sudah memikirkannya secara matang.
Tidak ada seorang pun yang bisa bertahan dalam pernikahan tanpa cinta.
"Ya, aku sudah pikirkan baik-baik." Susan mengusap perutnya. "Aku harap Ibu bisa bantu aku merahasiakan masalah anak."
Riana menghela napas. Meski agak berat hati, dia tetap memilih untuk menghormati keputusan Susan. "Jangan khawatir. Meski kalian bercerai, aku akan tetap memperlakukanmu seperti putriku sendiri."
Susan berkata dengan penuh syukur, "Terima kasih, Bu."
Riana mengelus kepala Susan dan berkata, "Jangan khawatirkan masalah keluargamu. Ibu akan mengurus semuanya. Kamu hanya perlu melahirkan anak dengan tenang saja."
Susan mengangguk.
Kehadiran anak itu adalah suatu kecelakaan. Fakta Hardy menggunakan alat pengaman setiap kali bercinta dengannya telah membuktikan bahwa pria itu tidak ingin punya anak dengannya.
Jadi, Susan tidak berencana untuk memberi tahu masalah anak pada pria itu.
Sore harinya, Susan mengambil cuti dan pergi menemui seorang pengacara untuk menyusun perjanjian cerai.
Dia menelepon Hardy.
Panggilan berdering lama, tetapi tidak ada yang mengangkat, sampai akhirnya terputus.
Susan menelepon lagi dengan sabar.
Kali ini, panggilannya tersambung.
Suara Hardy yang tidak sabar terdengar. [Ada apa?]
"Aku ingin bahas sesuatu denganmu ... "
Sebelum Susan sempat menyelesaikan kata-katanya, dia mendengar suara Milana menyela. [Hardy, bagaimana kalau kita main ke sini? Eh, kamu lagi telepon sama siapa?]
[Orang nggak penting.] Hardy menutup telepon.
Mendengar nada sibuk 'tut, tut, tut', perasaan Susan dipenuhi kepahitan yang sulit dideskripsikan.
Dia adalah orang yang tidak penting.
Saat Susan kembali menelepon Hardy, panggilannya tidak tersambung lagi.
Susan sedang mengedit pesan teks. Di saat mau mengirimnya, dia mendongak dan melihat seorang pria di luar jendela tengah membantu istrinya yang hamil sambil membawa perlengkapan bayi yang baru lahir.
Sebaliknya, anaknya akan kehilangan ayah sejak lahir.
Susan termenung memandang dua orang yang berjalan menjauh itu. Matanya tertuju pada perutnya sendiri.
Anaknya tidak akan mengalami hari seperti ini.
Pesan tetap tertahan di layar. Susan tidak bisa mengirimkannya.
Sudah sampai tahap ini, dia masih tidak bisa melupakan Hardy.
Hardy tidak pernah membalas pesannya. Perlahan, Susan juga berhenti mengiriminya pesan lagi. Terakhir kali dia mengirim pesan sudah dua bulan yang lalu.
Susan memejamkan matanya sebentar, lalu memilih untuk mengirim pesan itu.
Ponselnya bergetar. Susan mengira Hardy telah membalasnya, tetapi saat dia membuka matanya, dia melihat pesan verifikasi.
[Anda belum menjadi temannya]
Susan tertegun. Hardy telah menghapus nomornya.
Sudahlah. Tunggu Hardy pulang saja dulu.
Namun beberapa hari telah berlalu, Hardy masih tak kunjung pulang. Susan hanya bisa melihat Hardy dari unggahan Instagram Milana.
Susan meletakkan ponselnya. Dia melihat proposal desain yang sudah setengah jadi di layar.
Kenny berjalan mendekat dengan wajah kesal. "Bu Susan, dia memang sengaja. Dia terus meminta kita mengulang dari awal!"
Mereka sudah berkali-kali menambah dan mengurangi isi proposal. Setiap kali ada sedikit kemajuan, Milana akan mencari-cari kesalahan dan meminta perubahan.
Proposal ini sama sekali tidak bisa berjalan lancar.
"Siapa suruh dia klien kita?" Susan menghela napas. Milana sungguh bertekad. Bahkan, di saat sedang berlibur dengan Hardy, dia masih menyempatkan diri untuk mempersulit Susan.
Ponsel berbunyi sekali. Ternyata pesan dari Milana di grup, yang mengatakan dia tiba-tiba merasa ide ini kurang pas. Dia ingin mereka membatalkan semuanya dan memulai dari awal.
Kenny sudah hampir meledak karena disiksa oleh proposal ini. Begitu membaca pesan itu, syaraf di otaknya seakan tiba-tiba putus.
Kenny mengumpat. "Meski mereka klien, juga nggak bisa berbuat sesuka hati, 'kan? Apa mereka nggak takut Milana akan menghancurkan proyek ini?"
Susan berpikir, ada Hardy yang mendukung Milana, sebuah proyek tidaklah berarti apa-apa.
Itu hanya alat yang digunakan Hardy untuk membuat cinta pertamanya senang.
Susan menghibur Kenny, tetapi di tengah jalan dia menerima telepon dari bosnya, yang memintanya datang rapat.
Selesai rapat, ekspresi wajah Susan terlihat bingung.
Dalam rapat, mereka menyalahkannya karena menyinggung Milana dan memintanya untuk menjilat Milana agar mendapatkan proyek Nusa Biru secepatnya.
Kalau terus ditunda, hanya akan berdampak buruk bagi perusahaan mereka.
Jika tidak bisa mendapatkan proyek Nusa Biru, perusahaan mereka akan bangkrut. Perlu diketahui bahwa semua dana sudah dihabiskan untuk penawaran awal. Para manajemen senior lebih cemas darinya.
Nusa Biru tidak mesti bekerja sama dengan mereka. Jadi, jika mereka tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik, masih banyak pesaing yang menginginkan proyek Nusa Biru.
Maksud bos sudah jelas. Susan harus menyelesaikan masalah Milana dan mendapatkan proyek Nusa Biru.
Kepala Susan mulai terasa pusing. Dia pulang ke rumah dengan pikiran yang melayang-layang.
Dia menuangkan segelas air. Baru saja menyesapnya sedikit, dia sudah mendengar suara pintu terbuka.
Itu Hardy.
Di lengan pria itu tergantung jas. Saat melihat Susan, pria itu hanya meliriknya.
Susan sudah lama mempersiapkan perjanjian cerai itu. Hardy telah kembali sekarang. Kebetulan dia bisa menunjukkannya pada pria itu.
Hardy kembali ke kamarnya sendiri.
Selain urusan ranjang, mereka biasanya tidur di kamar terpisah.
Susan mengetuk pintunya. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan."
Hardy tidak menoleh dan hanya berkata, "Ada apa?"
"Masalah perceraian." Susan menghampiri Hardy dan menyerahkan surat perjanjian perceraian padanya.
Hardy menatapnya selama dua detik, lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. "Katakanlah, apa permintaanmu?"
"Aku nggak punya permintaan. Kamu tinggal tanda tangan saja." Susan meletakkan pena di sampingnya.
Hardy mengambilnya dan melihat sebentar, lalu memandang Susan dengan heran. "Nggak mau apa pun?"