Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Ketika bermain permainan Jujur atau Tantangan. Cinta sejati tunanganku menatapnya sambil bertanya, "Kalau nggak ada Zahra, bisakah kita kembali bersama?" Pria itu menjawab dengan satu kata, "Bisa." Semua orang yang hadir terkejut, lalu secara bersamaan menatap ke arahku. Mereka semua mengira aku akan sangat marah sampai membalikkan meja. Namun, tanpa disangka, aku sama sekali tidak peduli, bahkan berinisiatif menjadi perantara, "Begini saja, karena kami belum resmi menikah, aku akan bersikap murah hati dan merestui kalian berdua." Seminggu yang lalu, Sofia Mukti pulang ke tanah air. Tunanganku, Jason Darsan, secara pribadi mengadakan pesta penyambutan untuknya. Namun, hari itu ayahku didiagnosis menderita penyakit jantung koroner, hingga harus menjalani operasi bypass. Aku kehilangan kendali, langsung membentak Jason di telepon karena tidak bisa membedakan prioritas. Namun, pria itu malah balik menyalahkanku karena membesar-besarkan masalah. Kemarahan dan penghinaan dalam suaranya sama sekali tidak ditutupi. Setelah menutup telepon, pria itu memblokirku. Pada saat itu, aku merasa seperti tidak mengenalnya lagi. Ini pertama kalinya aku dan Jason terlibat dalam perang dingin. Biasanya setiap kali bertengkar, aku akan langsung meminta maaf lebih dulu, takut membuatnya marah. Namun, setelah mengetahui Jason memblokirku kali ini, anehnya aku justru merasa tenang. Hingga tiga hari kemudian ibuku menelepon, mengatakan bahwa Jason sudah mengadu padanya. Aku tahu bahwa ini adalah cara Jason memberiku jalan keluar. Dia selalu bersikap seperti ini. Jason tidak akan pernah meminta maaf duluan. Namun, dia selalu menggunakan berbagai cara untuk membuatku memecah kebuntuan terlebih dahulu. Memesankan barbekyu, mengajak makan hotpot, atau kalau tidak berhasil juga, Jason akan mengadu lebih dulu ke orang tuaku. Saat aku melunak dan merendahkan diri, pria itu akan berkata dengan bangga, "Lihat, apa kamu pikir aku nggak mampu menghadapimu?" Di malam harinya, Jason akan bersikap seperti serigala kecil yang seenaknya mencium dan menggigitku. Pada akhirnya, selalu aku yang akan menyerah lebih dulu. Sejak awal aku mengejarnya, polanya memang seperti ini. Jika aku memberinya hal yang baik, aku tidak bisa mengharapkan Jason membalasku dengan hal yang sama. Aku terbiasa menyakiti diri sendiri ketika bersama Jason. Aku selalu menyesuaikan diri dengan rendah hati, berhati-hati saat menebak pikirannya, seolah aku tidak bisa bernapas tanpa dirinya. Namun, kemarin Jason dengan tegas berkata, "Bibi mengatakan kamu yang salah, jadi jangan bersikap berlebihan." Kalimat ini tiba-tiba membuatku merasakan ketidakseimbangan. Perasaan ini belum pernah muncul sebelumnya. Jason tidak mengerti betapa takut dan tidak berdayanya aku di depan ruang operasi pada hari itu. Meskipun aku memang sangat mencintainya, aku juga anak yang dilahirkan dan dibesarkan orang tuaku. Aku sangat berharap Jason bisa berada di sampingku pada saat itu, agar aku bisa bersandar padanya. Namun, yang aku dapatkan hanyalah teguran dan ketidakpeduliannya. Kemudian .... Jason mengirimkan pesan padaku: [Sayang, apa kamu ingat besok hari apa?] Itu adalah ulang tahun pertunangan kami yang ketiga. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Setiap kali, aku akan selalu mempersiapkan semuanya dengan penuh susah payah. Namun, Jason selalu merasa aku tidak cukup bekerja keras. Karena aku hanya mencari hotel terbaik, memberi sepatu kets, memberi pakaian yang dibuat secara khusus, serta memberi peralatan untuk bermain gim. Cara memberi hadiah yang biasa-biasa saja ini tidak akan pernah bisa mengalahkan ucapan selamat tepat waktu dari Sofia di media sosial. Ketika melihat aku tidak membalas, Jason mengira aku lupa. Dia mengirim pesan lagi dengan nada mencela: [Sudahlah, kamu tunggu aku di rumah dengan baik saja. Aku akan menebusnya untukmu.] Aku hanya membalasnya dengan satu kata: [Baiklah.] Setelah meletakkan ponsel, aku melanjutkan membaca surat dari pengacara. Jika ini dulu, aku pasti akan sangat senang sampai melompat-lompat. Namun, kali ini hatiku justru tenang tanpa gelombang. Setelah pulang kerja, Jason mengingatkanku untuk tidak lupa membeli anggur merah dan lilin. [Tunggu aku dengan baik, ya.] Itu adalah pesan yang dia kirim pada pukul enam. Hanya saja, aku sudah menunggunya dengan bodoh sampai pukul dua belas malam, tetapi dia masih tidak kembali. Aku takut terjadi sesuatu padanya, jadi aku bahkan meneleponnya berkali-kali. Jason tidak menjawab. Akhirnya, aku tidak bisa menahan diri untuk membuka WhatsApp, ingin bertanya pada sahabatnya. Namun, aku malah menemukan unggahan Sofia di media sosial yang bertuliskan: [Seorang pria yang bisa diandalkan seumur hidup.] Unggahan ini diatur agar hanya bisa dilihat olehku. Ada foto sebuah jam tangan yang dilampirkan di sana. Ini adalah jam tangan yang sudah lama aku inginkan. Ketika melihat foto itu, aku merasakan ada sesuatu di dasar hatiku yang hancur berkeping-keping, lalu perlahan terbangun kembali sedikit demi sedikit hingga sembuh. Akhirnya, semuanya menjadi tenang dan biasa saja. Pada saat itu, aku tiba-tiba merasa lega. Di hati Jason, Sofia selalu lebih penting daripada diriku. Namun, anehnya .... Aku ternyata tidak terlalu peduli. 2 Di tengah malam. Dalam mimpi aku mendengar seseorang membuka pintu, lalu perlahan berjalan ke arah tempat tidur. Aroma yang tidak asing menyeruak, lalu Jason memelukku. Namun, saat bibirnya hampir menyentuh bibirku, aku tanpa sadar memalingkan wajahku. Gerakan tanpa sadar ini membuat kami berdua terdiam sejenak, lalu membuat rasa kantukku menghilang sepenuhnya. Mungkin untuk menghindari kecanggungan, Jason pergi seperti melarikan diri ke kamar mandi. Namun, pria itu meninggalkan ponselnya. Tanda pesan masuk berkedip. Sofia: [Apa kamu sudah sampai di rumah?] Jason: [Sebentar lagi.] Sofia: [Aku nggak bisa melepaskanmu.] Jason tidak membalas. Aku menggulir pesan ke atas, melihat bahwa mereka berdua mengobrol setiap hari. Aku tidak tertarik melihat detailnya. Hanya getaran yang terus menerus itu yang membuatku merasa sangat terganggu. Setelah mengambilnya, aku melempar benda itu terbang dengan tepat ke atas sofa. Dulu aku sangat cemburu dengan obrolan setiap hari mereka berdua. Namun, begitu aku mengeluh sedikit saja, Jason akan langsung bersikap menjauh, seakan tidak ingin didekati. Pria itu merasa aku kekanak-kanakan dan membosankan. Dia berpikir aku, yang adalah calon istrinya, tidak memercayai dirinya. Namun, sebagai tunanganku, apa Jason tidak mengerti apa itu batasan? Perlahan aku tidak lagi memiliki dorongan untuk mengatakan sepatah kata pun. Beberapa menit kemudian, Jason melangkah keluar setelah mandi dan berganti pakaian. Ketika melihat ponselnya ada di atas sofa, pria itu terdiam sejenak. "Kamu menyentuh ponselku," kata Jason. Aku menguap. "Jam berapa sekarang?" Jason mengambil rokok dari meja samping tempat tidur. "Nggak ada apa-apa di antara kami." Aku mengangguk, lalu kembali tertidur. Setelah itu, aku tidak bisa lagi mendengar penjelasannya yang terputus-putus. Akhirnya setelah sebuah desahan, dunia menjadi sunyi. Aku tidak akan pernah lagi bersikap histeris. Aku juga tidak akan lagi menekankan prinsip dan batasan dalam hubungan. Karena semua itu tidak berguna. Jason akan tetap diam-diam menghapus, bahkan melanggar hal-hal yang aku pedulikan ini. Keruntuhanku hanyalah sebuah lelucon di matanya. Aku sudah terlalu lelah menunggu, terlalu lelah memberi. Aku memberi lebih banyak daripada menerima, hingga aku hampir hancur. Jadi, aku memilih untuk berbalik. Pagi harinya setelah terbangun, aku baru menyadari entah sejak kapan Jason pergi ke kamar tidur kedua. Ketika melihatku berjalan keluar. Jason menunjuk gaun hitam kecil di sampingnya. "Zahra, ini untukmu." Aku mengambilnya, lalu melihatnya sekilas. Aku tertawa getir sambil berkata, "Aku nggak akan membahas warna dan modelnya, bahkan ukurannya pun nggak pas." "Kamu nggak perlu memberikan barang yang seharusnya untuk Sofia padaku." Aku memakai sepatu, hendak membuka gagang pintu. Jason menghalangiku. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Dia baru putus dengan kekasihnya sampai mabuk berat di bar. Aku mengantarnya ke hotel, lalu dia muntah di sekujur tubuh ...." Aku langsung memotongnya, "Benarkah? Jadi karena bajunya kotor, kamu membelikannya gaun?" "Untuk menghiburnya, kamu juga memberikan jam tangan itu padanya." "Terakhir, setelah dia sadar dan memiliki tenaga untuk mengunggah di media sosial dan membuatku jengkel, baru kamu pulang?" "Zahra! Apa kamu harus mengatakan semua ini sekasar itu?" Sekilas tampak luka di matanya. "Lalu, kamu ingin aku mengatakan apa?" Aku menatap Jason sambil berbicara dengan nada mengejek. Dia terdiam. Ekspresi polosnya itu menunjukkan seolah-olah aku yang salah lagi.
Bab Sebelumnya
1/11Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.