Bab 4
Begitu mendengar akan lapor polisi dan pemeriksaan rekaman CCTV, sikap Esther langsung melunak, dia memandang Fernando dengan makna bersalah. "Kakak ... "
Adik perempuannya gagal, tentu saja Fernando sebagai kakak tidak akan tinggal diam. Dia melangkah maju dan melihat Karin. "Kerugian ini akan kubayar, nggak perlu sampai lapor polisi. Kalau sampai ribut besar, hal ini juga nggak baik untukmu."
Meski kata-katanya terdengar seperti negosiasi, nada bicaranya tidak bisa dibantah.
Karin menangkap peringatan tersirat dalam ucapannya, lalu mengangguk dalam diam.
Keluarga Suntaro memiliki status di Kota Nolin, dia tidak berani dan tidak bisa bertindak gegabah.
Setelah itu, Esther memberikan kompensasi dan staf membersihkan area kejadian.
Karin dan Xander tidak berlama-lama di sana, mereka pergi berdampingan.
Setelah keributan ini, mereka tidak lagi berminat untuk terus berbelanja, jadi mereka mendorong keranjang belanjaan ke kasir.
Antrean di kasir sangat panjang, ketika giliran mereka, Fernando dan yang lainnya kebetulan juga datang mengantre.
Esther mendengar harga dari mesin pemindai, lalu berkata dengan nada sarkastik, "Ada orang yang hidupnya cukup menyedihkan setelah berpisah dari kakakku, bahkan nggak mampu membeli seprai yang layak. Memangnya seprai seharga 200 ribu itu bisa dipakai?"
Karin bukanlah orang yang tidak bisa marah, tapi di hadapan Keluarga Suntaro, dia tidak punya hak untuk marah. Akhirnya, dia memilih menundukkan kepala dan pura-pura tidak mendengar.
Xander memandangi Karin yang diam, matanya yang hitam terlihat gelap. Tiba-tiba dia berbicara dengan penuh makna, "Ada orang yang sudah bercerai dengan kakaknya, tapi mantan adik iparnya itu berisik sekali, mengoceh terus seperti ayam."
Esther merasa marah dan malu. "Maksudmu siapa yang ayam? Coba katakan lagi!"
Xander mengangkat alisnya, dia dengan terkejut melihat ke arah Esther. "Aku nggak menyebut nama siapa-siapa, kenapa kamu langsung merasa tersindir? Jangan-jangan kamu juga seperti itu, ya?"
"Kamu!"
Esther hendak memakinya sambil berkacak pinggang, tapi ditatap oleh Fernando. "Diam! Masih belum cukup memalukan tadi?"
Esther mengentakkan kaki dengan marah. "Kakak, Karin membawa pria hidung belang menginjak-injak harga dirimu, aku nggak bisa menerima ini!"
Fernando merapatkan bibir tipisnya, memandang dingin pada sepasang bayangan manusia di kejauhan.
Bagaimana mungkin dia bisa menerima penghinaan ini?
Namun, ketika teringat asistennya sudah menjadwalkan pertemuan dengan bos Asuransi Sehat Bersama besok lusa, sudut bibirnya kembali terangkat.
Tidak apa-apa, tidak lama lagi Karin akan menangis memohon belas kasihan padanya.
Sejak keluar dari supermarket, Karin terus diam. Xander menunduk memandangnya. "Sedih?"
Karin tersenyum getir tanpa menyembunyikannya. "Hmm."
Melepaskan seseorang yang sangat dicintai, mengikhlaskan perasaan cinta yang mendalam, seperti mengikis tulang untuk menyembuhkan luka, bagaimana mungkin dia tidak sakit dan sedih.
Setelah berhenti sejenak, dia memandang Xander dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih telah membelaku tadi, tapi ... "
Dia takut Fernando akan melampiaskan kemarahannya pada pria ini.
Xander seolah memahami kekhawatirannya dan dengan santai berkata, "Tenang, aku ini saudaranya bos, aku juga penjual terbaik di departemen kami. Mantan suamimu nggak akan bisa menyentuhku."
Suaranya yang berat dan tegas secara ajaib meredakan kekhawatiran Karin.
Sesampainya di rumah, Xander dengan penuh perhatian mempersilakannya mandi lebih dulu. Setelah mandi, Karin masuk ke kamar tidur, merasa ragu sejenak, tapi akhirnya mengunci pintu kamarnya.
Keesokan harinya, Karin akan pergi ke perusahaan. Sebelum pergi, dia melihat Xander keluar dari kamar tidur dengan piama. Dia agak heran. "Kantor asuransimu nggak perlu masuk kantor?"
Xander berhenti sejenak, lalu dengan santai menjawab, "Hmm."
Karin tidak terlalu memikirkannya, dia dengan iri berkata, "Enaknya, bebas sekali. Aku pergi dulu."
Karyawan baru harus mengikuti pelatihan saat pertama kali bergabung. Hal ini sudah sangat familier bagi Karin, waktu pun berlalu dengan cepat sampai siang hari. Saat dia hendak membeli makan siang, tiba-tiba ponselnya berdering.
Dia mengangkat panggilan itu. "Halo?"
Terdengar suara melengking dan penuh kemarahan ibunya Fernando.
"Karin! Anakku sudah bercerai denganmu, kamu masih suruh ibumu yang melarat ini datang ke rumah kami! Apakah kamu nggak suka melihat anakku hidup tenang?"
Karin merasa terkejut. "Apa katamu? Ibuku mencarimu?"
Siska memakinya, "Jangan pura-pura nggak tahu! Kalau bukan kamu yang menyuruhnya, bagaimana mungkin dia datang ke sini? Kalian berdua ibu dan anak sama-sama berengsek! Keluarga parasit! Sudah bercerai masih mau mengambil keuntungan anakku!"
Karin menghela napas. "Aku akan segera ke sana."
Pelatihan sore dimulai pukul setengah tiga, sekarang baru pukul setengah dua belas, masih ada tiga jam, seharusnya cukup.
Dia buru-buru turun tangga, memanggil taksi, sekarang situasinya darurat, tidak peduli lagi soal uang.
"Pak, ke Kompleks Indah. Tolong lebih cepat, ya."
"Baiklah!"
Sopir menginjak gas, mobil pun melesat.
Karin merasa gelisah dan cemas, bagaimana mungkin Novia tiba-tiba pergi ke kediaman Keluarga Suntaro?
Apakah uang di rumah tidak cukup lagi?
Namun, bulan lalu dia baru saja mengirim 20 juta ...
Ataukah Kurnia membuat masalah lagi?
Apakah Ayah tahu kalau Novia pergi ke kediaman Keluarga Suntaro?
Pikirannya menjadi kacau balau, berharap mobil ini bisa melaju lebih cepat, sambil terus berdoa agar Novia tidak memperburuk keadaan.
Untungnya hari ini hari kerja, jalanan tidak macet, setengah jam kemudian, taksi berhenti di luar kawasan Kompleks Indah.
Karin membayar dan turun dari taksi.
Dia sudah tinggal di sini selama dua tahun, satpam mengenalinya, orang itu membukakan pintu gerbang dengan senyuman dan menyapanya, "Nyonya Suntaro, cepat masuk, ibumu datang hari ini."
Karin berbisik "terima kasih", lalu bergegas masuk.
Dari jauh terlihat di luar kediaman Keluarga Suntaro, Novia seperti wanita gila, kedua tangannya mencengkeram pintu besi, berteriak histeris.
"Dulu saat menikah, keluarga kalian yang meminang putri kami! Sekarang karena nggak bisa punya anak, kalian mengusir putriku? Sungguh nggak adil!"
"Bercerai nggak masalah! Nggak memberi uang sepeser pun? Nggak mungkin! Mau main-main dengan putriku selama dua tahun secara gratis, atas dasar apa? Aku beri tahu kalian, hari ini kalian harus kasih uang atau rujuk kembali, kalau nggak aku nggak akan membiarkannya begitu saja!"
Langkah Karin terhenti, dia tahu Novia bukan tipe yang mudah dihadapi, tapi belum pernah dia mendengarnya berbicara seperti ini.
Mungkinkah wanita ini berpikir setelah dirinya bercerai, dia sudah tidak punya pendukung, jadi pihak lawan menunjukkan sifat aslinya?
Dua staf dari properti saling memandang dengan bingung, mereka sudah lama mencoba membujuk, sudah kehabisan akal, masih saja gagal, tapi mereka juga tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Saat melihat Karin datang, keduanya langsung lega, secara refleks ingin memanggilnya 'Nyonya Suntaro', tapi teringat wanita gila tadi bilang sudah bercerai, jadi mereka merasa agak canggung.
Karin lebih dulu meminta maaf pada mereka. "Maaf sudah merepotkan, aku akan segera membawanya pergi."
Staf properti juga tidak ingin terlibat dalam urusan seperti ini, setelah memberikan beberapa nasihat mereka pun pergi.
Novia menoleh melihat Karin, semangatnya langsung melambung. "Karin, kamu datang di waktu yang tepat, bukakan pintu! Dasar berengsek, berani-beraninya mereka mengunciku di luar, aku harus masuk dan bereskan hal ini dengan mereka!"
Karin tidak ingin bermasalah dengannya, dengan suara lembut dia berkata, "Bibi Novia, perceraian ini adalah keputusanku. Sekarang kita nggak ada hubungan lagi sama Keluarga Suntaro. Nggak ada yang perlu diperdebatkan. Pulanglah, jangan membuat keributan."