Bab 5
Dada Riki pendarahan hebat karena mengalami guncangan emosi. Pendarahannya sulit dikendalikan.
Begitu mendengar kabar itu, Gina hendak bergegas pergi melihat anaknya. Tapi malah jatuh pingsan saking syoknya.
Ivan langsung menahan tubuhnya dan mengelus punggung Gina sambil menenangkan, "Riki pasti baik-baik saja. Kamu juga harus hati-hati. Jaga dirimu dan anak dalam perutmu."
Tangis Gina pecah. Tubuh lemahnya bersandar di dada Ivan tanpa daya.
Mereka berdua saling berpelukan seperti sepasang orang tua yang sedang mencemaskan anak mereka. Dua orang itu terlihat saling menguatkan.
Sementara Anna, dia berdiri sendirian di pojok ruangan dengan perasaan sakit hati.
Dulu Ivan baik pada Gina karena ingin balas dendam pada Anna. Tapi sepertinya perasaan pria itu sudah berubah sekarang ...
Saat sedang memikirkan hal itu, suara dokter tiba-tiba memecah keheningan, "Pasien kehilangan banyak darah dan butuh donor darah B secepatnya. Dari kalian, apa ada yang golongan darahnya B?"
Ada banyak orang yang punya golongan darah B di sini. Tapi hanya Anna yang tidak punya hubungan darah sama sekali dengan Riki.
Ivan juga tahu itu. Dia pun langsung menarik tangan Anna. "Donorkan darahmu."
Dia berkata seperti sedang memerintah. Ivan lupa kalau Anna juga pasien di rumah sakit ini. Wanita itu dirawat karena sakit perut serta mengalami luka bakar.
Tapi Anna juga hanya diam saja. Dia bangun berdiri dan berjalan mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya.
Jarum besar itu menusuk pembuluh darahnya. Rasanya sedikit sakit, seperti digigit semut.
Padahal Anna dulu paling takut dengan jarum suntik. Wajahnya pasti akan mengerut ketakutan setiap kali harus disuntik.
Dulu, Ivan akan selalu memeluknya erat. Pria itu akan menutup matanya dengan sebelah tangan sambil berusaha menenangkan, "Sayang, jangan takut."
Tapi kini Anna tidak ditemani siapa-siapa.
Dia dan Ivan memang hanya terpisah satu ruangan. Tapi pria itu sedang memeluk Gina sambil mencemaskan anak mereka.
Darah Anna terus tersedot, begitu pula dengan semangat hidupnya yang makin berkurang.
Pandangannya mulai gelap. Entah sudah sebanyak apa darahnya diambil. Dia sampai tidak sanggup lagi dan berakhir pingsan.
Saat sudah siuman, dia sama sekali tidak menyangka akan melihat Ivan sudah berada di sampingnya.
Pria itu terlihat lelah setelah terjaga sehari semalam. Waktu melihat Anna sudah siuman, ada sedikit kebahagiaan di sorot matanya.
Baru saja Ivan mau mengatakan sesuatu, ponsel pria itu malah lebih dulu berdering.
Suara lembut Gina terdengar dari seberang telepon, [Riki sudah sadar. Dia bilang kangen kamu. Apa kamu bisa datang menjenguknya?]
Anna bisa melihat ekspresi Ivan yang melunak. Pria itu mengiakan dan segera pergi tanpa menoleh padanya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.
Tidak lama kemudian, suara canda tawa terdengar dari kamar sebelah.
Riki terus-terusan memanggil Ivan dengan sebutan ayah.
Anna menahan napas. Suara Ivan menyahuti panggilan Riki terdengar dari kamar sebelah. Hati Anna seperti terhantam palu rasanya.
Dia perlahan meringkuk dalam selimut sambil menutup rapat kedua telinganya dengan tangan.
Seolah cara itu bisa membuatnya tidak lagi mendengar canda tawa dan kehangatan dari kamar sebelah.
Beberapa hari berikutnya, Ivan terus berada di kamar sebelah.
Di tengah malam, Anna seperti mendengar suara desahan yang familier.
Tapi suara itu hanya muncul sebentar, mungkin Anna cuma halusinasi.
Namun, rumor terus menyebar di rumah sakit. Orang-orang juga menatap Anna dengan iba.
Untung saja waktu cepat berlalu. Hari peringatan sebulan kematian kakaknya, Rian, akan segera tiba.
Satu keluarga berangkat sama-sama ke makam untuk berziarah.
Hadi dan Mita lebih dulu berangkat bersama Riki. Sementara Ivan, Gina dan Anna pergi bersama dengan satu mobil.
Gina langsung duduk di kursi penumpang depan tanpa pikir panjang. Dia baru pura-pura ingat saat sudah memakai sabuk pengaman. Gina menoleh ke Anna dengan tatapan bersalah. "Seharusnya Anna ya yang duduk di sini. Aku ... pindah saja."
Ivan langsung menahan tangan Gina. "Nggak usah. Kan kamu yang Ibu dari anakku, jadi sudah sepantasnya kamu duduk di sini."
Kalimat "ibu dari anakku" membuat Anna sakit hati.
Dia berusaha menahan tangisnya dan sadar diri duduk di kursi belakang.
Mobil berjalan memasuki area pemakaman. Riki terlihat sudah berlutut di depan makam Rian.
Mita di samping anak itu sudah berlinang air mata. Wanita itu memegang buket bunga. Dengan suara pelan dia berbisik ke arah batu nisan, "Rian, kami pasti akan menjaga Riki. Dia anakmu, kelak dia akan jadi pewaris usaha Keluarga Roslan. Dia akan ke sini untuk berziarah tiap tahun saat hari peringatan kematian Riki."
Bisa membuat Riki datang berziarah ke sini tiap tahun merupakan keinginan sederhana Mita.
Dia sampai rela membuat keadaan makin kacau seperti sekarang.
Tapi, apa Ivan benar-benar akan membiarkan keinginannya itu terwujud?