Bab 3
"Tanda tangan." Nila membalik dokumen ke halaman terakhir dan menutupi bagian awal saat memberikannya pada Johan. Suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Johan melirik sebentar dan mengira ini dokumen tentang perhiasan atau properti yang Nila inginkan. Karena ingin segera mengakhiri keributan ini, dia pun menandatangani dokumen itu tanpa membacanya.
Setelah selesai, dia menatap Nila. "Kondisi Selvi sedang kurang baik dan di rumahnya nggak ada orang yang merawatnya. Jadi dia harus tinggal di sini beberapa hari."
Nila hanya mengangguk dengan datar. "Silakan."
Dia mengambil dokumen itu dan pergi tanpa menoleh lagi.
Di kantor pengacara.
Pengacara memeriksa dokumen perceraian itu dengan teliti, lalu mengangguk. "Tanda tangan ini sah, Nona Nila. Setelah melewati masa tenang satu bulan lagi, pernikahanmu dengan Pak Johan resmi berakhir."
Nila menggenggam dokumen itu dengan erat hingga ujung jarinya memucat.
Akhirnya, semuanya akan berakhir.
Malam itu, saat Nila kembali ke rumah, terdengar suara tawa dan canda dari ruang tamu.
Selvi duduk di sofa, sementara Rovan dan Ryan bersandar di pelukannya, mendengarkan cerita dengan antusias.
"Akhirnya, sang pangeran membangunkan sang putri dengan ciuman, dan mereka hidup bahagia selamanya." Selvi mengelus kepala kedua anak itu dengan lembut.
Rovan menatapnya dengan wajah penuh kekaguman. "Tante Selvi, kamu jauh lebih lembut daripada Mama."
Ryan mengangguk setuju. "Benar ... aku harap kamulah yang menjadi mamaku ... "
Nila berdiri di pintu, dan hatinya seperti ditusuk tajam.
Dengan wajah datar, dia naik ke lantai atas dan menuju kamar tamu untuk mandi.
Air hangat membasahi tubuhnya, tapi tak bisa mengusir dinginnya perasaan di hatinya.
Dia menutup mata dan membatin, "Tenang saja ... sebentar lagi keinginan kalian akan terwujud."
Tak lama setelah Nila berbaring, sisi tempat tidurnya tiba-tiba turun.
Johan yang baru selesai mandi berbaring di sampingnya.
Nila membelakanginya, diam tak bergerak.
Tiba-tiba, Johan merapat, melingkarkan tangannya di pinggang Nila, dan mencium belakang lehernya.
Seketika Nila terkejut dan mendorongnya dengan keras.
Johan mengerutkan kening. "Aku sudah memberimu kompensasi yang kamu minta, dan adikmu juga nggak mengalami cedera serius. Sampai kapan kamu ingin membuat masalah?"
Saat Nila baru saja hendak membuka mulut ...
"Tok tok tok!"
Pintu diketuk, dan kepala kecil Rovan menyelip masuk. "Papa! Ramalan cuaca bilang malam ini akan ada petir. Bukankah Tante Selvi paling takut petir?"
Ryan juga ikut menyelip masuk. "Papa, cepat temani Tante Selvi! Dia takut!"
Johan melirik ke luar jendela. Saat melihat langit sudah gelap, dia tanpa ragu bangkit dari tempat tidur.
Sebelum pergi, dia melemparkan satu kalimat. "Malam ini, kamu tidur sendiri."
Pintu kamar tak tertutup rapat, dan suara tawa riang dari kamar sebelah terdengar samar.
"Johan, kamu sudah datang?" ucap Selvi lembut.
"Papa! Cerita Tante Selvi seru sekali!" seru Rovan dengan penuh semangat.
Ryan berkata dengan manja, "Papa, boleh nggak Tante Selvi tinggal di sini terus?"
Johan tersenyum tipis. "Boleh."
Nila berbaring di tempat tidur, mendengarkan tawa mereka, lalu perlahan menutup matanya.
Keesokan harinya, saat Nila turun ke bawah, terdengar suara tawa dari dapur.
Johan berdiri di depan kompor, memasak dengan mengenakan celemek, dan jari-jarinya memegang spatula. Selvi berada di sampingnya, sesekali menunduk untuk menghirup aroma masakan, matanya bersinar seperti bulan sabit.
Rovan dan Ryan berkerumun di sekitar kaki mereka, menengadah sambil mengobrol riang.
"Johan, aku nggak menyangka setelah bertahun-tahun kamu masih ingat makanan favoritku." ucap Selvi lembut, sedikit tersentuh.
Johan menoleh padanya dengan tatapan penuh kelembutan yang tak pernah diberikan pada Nila. "Aku nggak akan melupakannya sekali pun."
Johan menaruh telur mata sapi yang baru dimasak di piring, lalu mendorongnya ke depan Selvi. "Coba cicipi. Rasanya berubah nggak."
Selvi mencicipinya, lalu tersenyum lebar. "Lebih enak dari sebelumnya."
Rovan segera mengangkat tangan. "Tante Selvi, kalau Papa lagi sibuk, aku akan memasakkannya untukmu!"
Ryan juga melompat-lompat setuju. "Aku juga mau belajar! Aku janji masakanku akan lebih enak dari Papa!"
Selvi tertawa geli, lalu mengelus kepala kedua anak itu. Di sisi lain, Johan menatap mereka, dan wajahnya yang tegas pun ikut tersenyum.
Nila berdiri di tangga dan tersenyum sinis pada dirinya sendiri.
Johan lahir dari keluarga kaya dan hidupnya serba mewah. Kedua anak mereka pun terbiasa manja serta pilih-pilih sejak kecil. Selama bertahun-tahun, Nila selalu bekerja keras untuk mengurus keluarga ini.
Namun ternyata ...
Orang seperti Johan, yang jarang bersentuhan dengan pekerjaan rumah, juga bisa memasak demi orang yang dicintainya.
Anak-anak seperti Rovan dan Ryan, yang manja dan keras kepala, ternyata juga bisa begitu pengertian.
Di depan mereka, Nila tampak begitu tak berdaya, sementara mereka dengan senang hati mengalah demi Selvi.
Ternyata, orang yang jatuh cinta lebih dulu, memang selalu kalah.