Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Clayton merasa kasihan pada kepatuhan Friska. Kemudian dia teringat Wenny yang sering membangkang, bertengkar, dan membuatnya marah. Dia mengusap pelipis. "Friska, mereka nggak salah panggil. Kamu istriku yang sah, tapi kamu sudah dirugikan ...." Sebelum dia selesai bicara, Friska menyentuh bibirnya dengan tangan halusnya. "Clayton, aku nggak merasa dirugikan, yang penting kamu ingat denganku dan bayi kita. Kamu sudah memberikan semua yang aku mau. Aku nggak mau membuatmu serbasalah!" Clayton tidak bisa menahan diri lagi, memeluk dan menciumnya. Adegan itu sudah dilihat Wenny lewat kamera CCTV. Namun saat dia datang, anak buah di luar wajahnya tiba-tiba berubah. Dia mengambil ponsel, membelakangi Wenny dan berbicara pelan beberapa kata. Saat dia masuk, suasana di dalam terasa damai. Clayton yang memakai jas rapi berjalan menghampirinya. Dia hendak bicara, tapi Wenny melambaikan tangan ke luar. Tidak jauh di sana, Erwin menarik seorang pria masuk. Pria itu dilempar keras ke kaki Friska. Wajahnya babak belur, Friska menjerit dan mundur ketakutan. Wajah Clayton langsung masam dan berdiri di depan Friska. "Wenny, apa yang kamu lakukan!" Dia menyeringai menatap Clayton. "Bukankah kamu yang menyuruhku datang? Ini hadiah ulang tahunnya. Kenapa? Nona Friska nggak suka?" Friska tetap bersembunyi di belakang Clayton, jelas dia sudah mengenali pria di bawah. Kemudian, Wenny mengeluarkan pistol dari saku. Begitu melihat pistol itu, Friska langsung berteriak panik. "Ah! Kak Wenny, kamu mau melakukan apa lagi padaku? Waktu itu kamu hampir membuatku keguguran. Apa itu masih nggak cukup? Aku salah apa sama kamu?" Orang-orang langsung mengelilingi Wenny untuk menghentikannya. "Kak ... Kak Wenny! Bicara baik-baik. Di hari bahagia begini nggak cocok ada darah." "Iya, Kak Wenny, kalau ada salah paham, tunggu pesta selesai baru dibicarakan. Kondisinya bisa lepas kendali. Cepat simpan pistolnya, jangan sampai melukai diri sendiri!" Clayton tegang dan hendak bicara, tapi Wenny memasukkan peluru dan mengarahkan pistol ke Friska. Wajah Clayton terlihat marah dan tidak berpikir banyak lagi. Dia mengulurkan tangan kanan, mengambil pistol dari sakunya, dan langsung mengarahkan ke kaki Wenny. "Dor!" Suara kencang terdengar. Orang di sekitar langsung melindungi Friska dengan cekatan. "Kak Wenny!" Wenny merasakan sakit di kaki, tubuhnya lemas. Kaki yang cedera terjatuh ke depan. Wajahnya pucat, perlahan menengadah melihat orang di depannya. Mata pria itu terlihat kejam. Luka bekas gesekan peluru kini mulai mengeluarkan darah dan pistolnya jatuh di samping. Rizal segera mengambil pistol itu, tapi begitu diangkat, dia menatap Clayton dengan kaget. "Kak Clayton, nggak ada peluru." Clayton tertegun dan segera menatap Wenny. Wajah Wenny pucat, tapi sudut bibirnya tersenyum sinis padanya. Ekspresi itu membuat hati Clayton seperti diremas. Tapi sebelum dia sempat bereaksi, terdengar teriakan dari tengah kerumunan. "Nona Friska? Nona Friska!" Wajah Clayton seketika menegang, dia menerobos kerumunan, menggendong Friska yang pingsan. Erwin tidak tahan melihatnya lagi. Dia maju menghentikan Clayton. "Kak Clayton, kenapa kamu menembak Kak Wenny!" Mata Clayton dipenuhi bayangan gelap, bibirnya menegang. "Minggir!" Dia menabrak Erwin dengan keras. Saat mencapai pintu gerbang, dia berhenti lagi. "Wenny seenaknya menyakiti orang sendiri. Rizal, bawa dia ke penjara wanita dan tahan tiga hari, biar dia sadar!" Wenny seperti mendengar suara keras yang menghantam dadanya. Jantungnya seperti ditimpa batu besar, sakitnya membuat pandangan menjadi hitam. Pistol yang digunakan Clayton untuk menembaknya adalah hadiah darinya. Di atasnya bahkan terukir inisial namanya. Clayton pernah bilang padanya, pistol itu dan dirinya hanya akan melindungi Wenny seorang. Tapi sekarang, Clayton berdiri di sisi yang berlawanan dan memakai pistol itu melukai kakinya. Rizal terdiam beberapa detik dan menuruti perintah saat melihat ketegasan Clayton. Beberapa orang menahan Wenny, Erwin mencoba menghentikan, tapi ditekan beberapa orang hingga berlutut di tanah. Rizal mengusap hidung dengan canggung. "Kak Wenny, maaf." "Kenapa masih diam saja? Cepat bawa dia pergi!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.