Bab 5
Aku mengelus perutku. "Aku lapar, kita pergi makan dulu!"
Kemudian aku mempercepat langkah, segera menuju gerbang kampus.
Weni dengan cemas mengejarku dari belakang. "Queny, aku nggak percaya kamu nggak akan bilang walau aku mengganggumu seharian!"
Di depan pintu sekolah, Weni bertanya dengan bawel, "Jangan-jangan kamu menyadari rahasianya? Misalkan, dia pergi menginap di hotel?"
"Atau dia ingin tidur denganmu, lalu kamu marah dan ingin putus?"
"Apa sebenarnya yang terjadi?"
Aku minum susu kedelai yang manis, setelah berpikir lama, akhirnya aku menemukan alasan. Dengan wajah serius, aku berkata, "Karena dia membelikanku pakaian yang aku nggak suka, jadi aku marah."
Weni dengan bingung mengedipkan matanya, dia tertegun sejenak, menunduk dan menggigit sepotong cakwe. "Hanya itu? Aku sudah tanya dari tadi jawabannya malah ini?"
Aku mengangguk dengan serius.
Weni mencibir. "Sudahlah, aku ini sudah lajang selama bertahun-tahun, belum pernah pacaran, jadi aku nggak mengerti masalah pasangan."
"Tapi bukannya kompetisi musik akan segera dimulai? Cepat sana hibur dia, jangan sampai memengaruhi pertandingan. Dia sangat berbakat, kalau nggak ikut, pasti akan menyesal seumur hidup."
Menyuruhku menghiburnya?
Untuk apa memanjakan pria yang punya sifat buruk itu?
Namun, kalau aku tidak tahu kebenarannya mungkin aku akan cuek saja, karena sekarang sudah tahu, aku jadi harus lebih peduli sedikit.
Setelah kembali ke asrama, aku mengirim pesan untuk bertanya padanya, [Kudengar dari Kurnia, kamu membakar lirik dan lagumu semalam, ada apa?]
Sekitar sepuluh menit kemudian, dia membalas. [Bukan urusanmu!]
Baiklah, aku tidak akan ikut campur.
Di kehidupan sebelumnya, aku seperti seorang pengemis yang memohon padanya untuk ikut dalam kompetisi, hingga akhirnya, dia memegang piala juara dengan kedua tangan dan meminta Fany untuk memaafkannya.
Pada hari kompetisi, lokasi dipenuhi oleh banyak orang.
Aku tiba pagi-pagi sekali, mengeluarkan formulir pendaftaran, petugas mengatur para peserta ke belakang panggung, lalu bersiap-siap.
Pesertanya ada pria dan wanita.
Sebagian besar peserta yang datang untuk mengikuti kompetisi adalah mahasiswa, semuanya membawa mimpi mereka.
Pertandingan terdiri dari babak putaran, babak penyisihan, babak semifinal, babak semifinal akhir dan final.
Pada hari penyisihan ini, sangat sedikit orang yang datang untuk menonton pertandingan.
Semua orang cukup menantikan semifinal akhir dan final.
Orang tuaku dan orang tua Gio juga tidak datang, mereka tidak bisa cuti dan harus lembur.
Namun, mereka bilang bahwa mereka pasti akan datang untuk menonton pada hari final.
Untuk memastikan keadilan, penanggung jawab menyita semua ponsel kami, jadi aku menelepon orang tuaku dulu agar mereka tidak khawatir.
Di kehidupan sebelumnya, aku tereliminasi di babak penyisihan, jadi kali ini aku tetap merasa sangat gugup.
Namun yang mengejutkan, aku berhasil melewatinya dengan lancar.
Mungkin karena kali ini aku sudah mempersiapkannya dengan baik.
Di kehidupan sebelumnya, aku hanya menemani Gio, bahkan jika harus dikeluarkan juga tidak masalah, aku sama sekali tidak mempersiapkan lirik dan lagu dengan serius.
Dengan peserta yang satu demi satu tereliminasi, aku akhirnya sampai ke final.
Saat berdiri di atas panggung, aku menyanyikan lagu yang membuat hatiku hancur, setiap kata yang dinyanyikan mengingatkanku pada gambaran kehidupan yang sangat menderita di kehidupan sebelumnya. Entah kenapa, sudut mataku jadi terasa sedikit perih, hatiku seolah-olah ditekan oleh sebuah batu.
Setelah menyanyi, aku mendengar teriakan dari penonton dan suara tepuk tangan yang bergejolak.
Aku juga melihat Ayah dan Ibu, serta Bibi Silvia dan Paman Deni, wajah mereka dipenuhi dengan senyuman bangga.
Saat itu, aku juga tidak bisa menahan tawaku, suasana hatiku jadi jauh lebih baik.
Sudah sampai di final, aku juga tidak peduli dengan peringkat, karena bagaimanapun juga aku bisa mendapatkan uang puluhan juta sebagai hadiah. Saat aku sedang merencanakan bagaimana menggunakan hadiah itu, pembawa acara di atas panggung mengumumkan bahwa laguku meraih juara.
Ketika mendengar berita ini, aku terkejut sambil menutup mulutku, dengan ekspresi wajah tidak percaya.
Pembawa acara memberikanku penghargaan dan mengatakan bahwa aku bisa menandatangani kontrak dengan perusahaan musik, meminta aku untuk mempertimbangkannya.
Aku memegang piala yang berat, merasa sangat cemas. Aku tahu bahwa diriku tidak memiliki bakat dalam musik, jadi aku langsung menolak dan memberikan kesempatan itu pada juara kedua dan ketiga.
Pembawa acara awalnya terkejut, sepertinya dia tidak menyangka aku akan menolak. Kemudian dia membujukku lagi selama beberapa waktu, menyebutkan beberapa keuntungan yang menggiurkan. Melihatku tetap tidak mau terima, dia hanya bisa berhenti membujuk.
Setelah kompetisi selesai, aku dengan gembira pergi untuk berbagi kabar baik ini bersama orang tuaku.
Begitu mereka melihatku, mereka langsung memelukku erat-erat.
Ibuku terlihat sangat bangga. "Queny, kamu sungguh luar biasa! Suaramu sangat merdu! Ibu sangat menyukainya."
Bibi Silvia juga tersenyum lebar. "Kak Wanda, dulu kamu bilang Queny nggak berbakat, nggak berniat memberinya belajar musik. Untung aku membujukmu, kalau nggak sekarang kamu pasti menyesal."
Ibuku mengangguk dengan puas.
Bibi Silvia tersenyum dan berkata padaku, "Queny, kamu ternyata punya bakat terpendam, bibi bahkan nggak tahu suaramu sangat merdu saat bernyanyi!"
aku merasa malu dan menggaruk kepalaku. "Nggak juga, kali ini ... aku hanya beruntung saja."
"Jangan merendah diri! Kamu tahu nggak ada berapa banyak orang di bawah panggung yang bertanya putri siapa itu, suaranya merdu sekali. Saat itu, aku benar-benar ingin berlari ke atas panggung dan dengan bangga mengatakan kepada mereka bahwa kamu itu calon menantuku, hanya saja aku terlalu pemalu!"
Kedua keluarga itu tertawa terbahak-bahak.
Sambil tertawa, tiba-tiba ibuku menyadari sesuatu, dia tertegun sejenak, dengan bingung menggaruk kepalanya dan bertanya, "Omong-omong, kenapa aku nggak melihat Gio di babak final hari ini? Dia nggak masuk babak final?"
Bagi semua orang bakat musik Gio sangat mengagumkan.
Dia layak masuk babak final.
Setelah mendengar ini Bibi Silvia dan Paman Deni tidak tersenyum lagi, tiba-tiba mereka teringat pada putra mereka.
Bibi Silvia melihat ke kiri dan ke kanan. "Di mana Gio? Queny."
Untuk hal ini, aku tentu saja dengan jujur menjelaskan, "Dia nggak ikut kompetisi."
"Nggak ikut?!"
Semua orang terkejut dan menarik napas dalam-dalam. "Apa yang terjadi?"
Aku menggelengkan kepala, lalu menunjukkan pesan kami pada mereka.
Alis Bibi Silvia berkerut. "Anak ini ... "
Paman Deni mengeluarkan ponselnya. "Aku akan menelepon dan bertanya padanya."
Pada saat itu, seorang pria paruh baya dengan rambut bergelombang dan mengenakan kacamata berlari dengan tergesa-gesa. Dia dengan ramah memperkenalkan dirinya sebagai ketua kompetisi ini, juga mengajukan tawaran untuk membeli hak cipta lagu yang baru saja aku nyanyikan dengan harga tinggi.
Mendengar berita ini, aku menutup mulutku dengan tidak percaya, benar-benar tidak menyangka bahwa apa yang terjadi pada Gio di kehidupan sebelumnya sekarang malah terjadi pada diriku.
Aku tidak pernah membayangkan bisa mendapatkan uang ini, untuk sesaat aku merasa sedikit cemas, seolah-olah aku sedang bermimpi, tubuhku pun sedikit bergetar.
Jadi aku segera meminta ibuku untuk mencubitku.
Ibuku juga terkejut, dia meraih lenganku dan mencubitnya, rasa sakit membuatku berteriak.
Ternyata ini bukan mimpi.
Ketua kompetisi tadi berkata lagi, "Kalau sekarang ada waktu, mari kita masuk dan berbicara sebentar."
Bibi Silvia terus mengangguk, dia menarik lenganku. "Ayo, kita masuk."
Setelah menelepon, Paman Deni berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nomor Gio nggak bisa dihubungi, mungkin ada sesuatu yang terjadi."
Awalnya Bibi Silvia masih merasa senang saja, tiba-tiba ekspresinya berubah jadi cemas. "Apa sebenarnya yang dilakukan Gio?"
Ibuku segera berkata, "Kami yang akan menangani masalah Queny, kalian cepat pergi melihat keadaan Gio, kalau terjadi sesuatu, maka akan gawat!"
Bibi Silvia menghela napas. "Kalau begitu kami pergi dulu."
Ibuku mengangguk. "Kalau ada sesuatu, ingat untuk menelepon kami."
"Tenang saja, Kak Wanda, kalian harus membantu Queny mendapatkan harga yang terbaik!"
Setelah itu, Bibi Silvia dan Paman Deni pergi dengan tergesa-gesa.
Aku dan orang tuaku mengikuti ketua kompetisi masuk ke dalam ruangan untuk membahas kerjasama.
Ketua jawab kompetisi melihatku yang masih muda, berpikir aku bisa dibohongi, jadi harga yang ditawarkan sangat rendah, juga mengatakan beberapa hal yang tidak relevan.
Orang tuaku merasa harga 60 juta sudah cukup tinggi, mereka saling memandang, lalu ingin menyetujuinya.
Aku segera menghentikannya dan menawarkan harga 400 juta.
Orang tuaku terkejut dan memandangku dengan tatapan bingung, mungkin mereka mengira aku sudah gila.
Ketua kompetisi terus melakukan tawar-menawar.
Aku dengan tegas menggelengkan kepala.
Setelah tidak ada cara untuk menawar lagi, akhirnya disepakati dengan harga 400 juta.
Ketika keluar, mata ibuku terlihat merah merona, dia melihatku dengan bangga. "Anak kita, Queny, sudah dewasa."
Ayahku juga mendesah. "Iya, Queny sudah tumbuh besar."
Perasaan di dalam hatiku cukup campur aduk, memikirkan berbagai kejadian dari kehidupan sebelumnya, mataku juga terasa perih, aku masuk ke dalam pelukan mereka. "Ayah, Ibu ... "
Dalam perjalanan pulang, ibuku segera menelepon Bibi Silvia untuk menanyakan keadaan Gio.
Aku duduk di sebelah, jadi aku bisa mendengar Bibi Silvia di telepon dengan marah berkata, "Aduh, anak ini benar-benar membuatku kesal, dia sudah beberapa hari bermain-main di luar, ketika kutanya kenapa dia nggak ikut kompetisi, dia bilang dia nggak mau saja! Ayahnya sedang mengamuk."
Ibuku juga menghela napas. "Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Gio, asalkan dia baik-baik saja maka nggak masalah, kamu harus berbicara baik-baik dengannya, jangan memukul atau memarahinya."
"Eh, kami tahu batasan. Kak Wanda jangan khawatir."
"Baguslah, datanglah ke rumah malam ini untuk makan, kita ingin membuat perayaan untuk Queny."
Bibi Silvia dengan ceria menjawab, "Pasti, Kak Wanda, kamu harus membuat banyak makanan enak untuk merayakan hari kemenangan Queny."
Setelah menutup telepon, ibuku melihatku dengan mata yang bersinar dan tersenyum, "Queny, malam ini kamu mau makan apa?"
"Iga bakar, ikan kukus, udang pedas ... "
Sambil berbicara, air liurku pun mengalir, aku menelan ludah beberapa kali.
Setelah pergi ke pasar untuk membeli sayuran, aku dan orang tuaku mulai memasak di rumah. Tiga anggota keluarga sibuk di dapur, suasananya cukup harmonis.