Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Saat Nadine membuka mata lagi, dia melihat sebuah kartu diletakkan di atas nakas. Di bawahnya, terselip selembar catatan. "Operasi ibumu harus ditunda. Belakangan ini kondisi emosi Celine nggak stabil, aku nggak bisa meninggalkannya terlalu lama. Operasinya terlalu lama, dia nggak akan sanggup." Selembar kertas itu saja sudah cukup bagi Nadine untuk mengerti maksudnya. Demi Celine, Gian bisa menunda apa pun, bahkan nyawa ibunya. Dada Nadine terasa seperti diremas. Lalu, tiba-tiba, dia tertawa. Tawanya terdengar pahit, menyakitkan, penuh ironi. Sambil menekan dada yang terasa remuk, Nadine mengambil ponselnya dan menelepon ayah Gian. "Ayah ... aku setuju untuk bercerai. Tapi aku punya satu permintaan. Tolong bantu aku memalsukan kematian. Aku ingin pergi membawa Ibu dan kakakku, dan nggak pernah kembali lagi." Pada hari dia keluar dari rumah sakit, Nadine membawa dokumen perceraian yang sudah disiapkan oleh pengacara. Sesampainya di rumah, Gian sedang bersiap-siap hendak pergi menjemput Celine pulang dari sif malam di rumah sakit. "Kamu sudah pulang?" Melihat wajah Nadine yang pucat, Gian menghentikan langkah sejenak, matanya menyiratkan sedikit kepedihan. "Kenapa wajahmu pucat sekali?" Ibu Nadine kini koma. Kakaknya dipenjara. Wajar saja wajahnya terlihat seperti itu. Nadine tidak menjawab. Dengan wajah datar, dia menyerahkan dokumen perceraian di tangannya. "Silakan tanda tangani ini." Gian tampak terkejut sejenak. "Apa ini?" Saat dia hendak membuka dokumen itu, ponselnya di tangannya bergetar. Melihat pesan masuk, dia sedikit cemas. Tanpa membaca isi dokumen perceraian itu, dia asal menandatanganinya. "Celine sudah menungguku. Mulai sekarang, semua kontrak kerja langsung taruh di ruang kerjaku." Setelah mengucapkan itu, dia segera pergi. Melihat dokumen perceraian yang ditandatangani dengan begitu mudah, Nadine tersenyum tipis penuh sindiran. Dia tidak berkata apa-apa dan segera pergi menuju kantor catatan sipil. Setelah mengajukan perceraian dan kembali ke rumah, dia melihat Gian sedang memijat tangan Celine yang baru saja pulang kerja. "Akhir-akhir ini Celine terus diikuti oleh keluarga pasien yang ribut di rumah sakit. Aku merasa nggak tenang, jadi dia akan tetap tinggal di rumah kita dulu. Setelah semuanya beres, aku akan antar dia pulang," ucap Gian dengan tenang, seolah hanya memberi informasi. Pernikahan sudah berakhir, dan ini juga bukan rumah Nadine. Dia tidak punya tenaga untuk menentang atau berdebat. "Terserah," jawabnya singkat. Gian tidak menyangka Nadine akan menerima begitu saja. Melihat ketenangan di wajahnya, alis Gian mengerut, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, belum sempat dia berbicara, Celine tiba-tiba bersuara. "Nadine, aku baru saja selesai sif malam dan belum sempat makan malam. Bisa tolong buatkan untukku?" Celine tersenyum tipis, tapi matanya penuh tantangan. "Gian bilang masakanmu enak. Aku belum pernah mencobanya." "Panggil saja pelayan." Nadine berbalik dan ingin pergi. Namun Celine menghela napas kesal, dan Gian segera menghentikan Nadine. "Nadine." Tanpa penjelasan lebih lanjut, maknanya sudah jelas. Nadine tak punya hak menolak. Meski dia istri Gian, Nadine harus bertindak seperti pembantu kapan pun sahabat tercinta suaminya lapar. Tak ingin berdebat di saat seperti ini, Nadine tersenyum sinis dan pergi menuju dapur dengan langkah berat. Sup mendidih di dalam panci. Dengan wajah datar, Nadine menuangkannya ke piring dan meletakkannya di meja. "Ini saja? Dari penampilannya saja sudah terlihat nggak enak," kata Celine sambil berdiri di depan meja, mengernyit dan menutup hidungnya. Kesabaran Nadine sudah habis. "Kalau nggak suka, nggak usah makan." Begitu kata-katanya terucap, Nadine menangkap kilatan niat licik di mata Celine. Detik berikutnya, Celine tiba-tiba meraih pergelangan tangan Nadine dan menekannya ke dalam sup panas yang mendidih. "Ah!" Rasa terbakar yang menyengat langsung menjalar dari telapak tangan hingga ke seluruh tubuh Nadine. Refleks, dia ingin menarik tangannya. Namun Celine menekan semakin kuat, tidak memberinya kesempatan untuk lolos. Dalam pergulatan itu, mangkuk keramik bergoyang hebat lalu jatuh ke lantai dan pecah berantakan. Sup yang panas pun menyembur ke segala arah. Nadine buru-buru menarik tangannya, tapi kulitnya sudah memerah parah dan mulai melepuh. "Ada apa ini?" suara Gian terdengar dari belakang, langkahnya terburu-buru. Begitu dia masuk, Celine sudah lebih dulu memamerkan punggung tangannya yang terkena cipratan sedikit sup panas, dengan mata berkaca-kaca. "Gian ... sepertinya Nadine nggak mau memasak untukku. Dia marah dan sengaja menuangkan sup itu padaku. Tanganku sakit sekali ... " Wajah Gian seketika menggelap. Dia langsung mencengkeram pergelangan tangan Nadine. "Nadine! Apa maksudmu? Cepat minta maaf pada Celine!" Wajah Nadine sudah pucat menahan rasa sakit. Dia menggertakkan gigi, melepaskan diri dari genggaman Gian, lalu mengangkat tangannya yang merah dan melepuh karena tersiram sup panas. "Kamu menyuruhku minta maaf? Gian, lihat baik-baik! Siapa yang sengaja menumpahkan sup, dan siapa yang sebenarnya melakukan ini!" Gian terdiam sejenak. Dia perlahan menoleh dan memandang Celine dengan penuh keraguan. Wajah Celine mendadak pucat. Tiba-tiba dia memegangi perutnya dan merintih kesakitan. "Ah ... perutku sakit sekali ... Gian, di masakan itu ada daging sapi ... aku alergi sapi!" "Aku cuma bertanya sedikit, tapi Nadine marah dan sengaja menumpahkan sup ke arahku. Kalau kamu nggak percaya, kita bisa cek rekaman CCTV. Aku nggak pernah berbohong ... " "Ah ... perutku ... sakit sekali ... " Keraguan di mata Gian seketika berubah menjadi amarah. Tatapannya yang dingin langsung mengarah pada Nadine. Gian sendiri pernah memberi tahu Nadine kalau Celine alergi daging sapi. Nadine mengerutkan kening. "Aku nggak melakukannya! Kamu cek saja CCTV dan semuanya akan jelas siapa yang berbohong!" Namun amarah Gian sudah sepenuhnya tersulut. Dia mengangkat Celine dalam gendongannya dan memotong ucapan Nadine dengan suara keras. "Nadine, cukup!" Gian memanggil pelayan. "Bawa Nadine ke ruang bawah tanah. Tanpa izin dariku, siapa pun dilarang melepaskannya!" Ruang bawah tanah adalah tempat Gian memelihara hewan kesayangan untuk Celine. Ruangannya lembap, gelap, dan penuh dengan ratusan ular. Tubuh Nadine langsung gemetar dan secara refleks menolak. "Aku ... aku nggak mau masuk ke sana ... " "Lepaskan aku!" Nadine berusaha sekuat tenaga melawan, namun Gian tidak menoleh sedikit pun. Pada akhirnya, dia tetap dilemparkan ke dalam ruang bawah tanah itu.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.