Bab 5
Aku tidak pulang ke rumah, langsung pergi ke kantor berita.
Kuota formasi pegawai tetap di sini sangat terbatas. Sebelumnya, Paman Bryan ingin langsung mengaturkannya untukku, tetapi aku menolak.
Aku masuk ke perusahaan ini murni dengan kemampuanku sendiri, sementara gajinya di Kota Somaris tergolong tinggi, terutama karena tunjangannya sangat baik.
Para rekan kerja tampak terkejut saat melihatku. "Eh, Yuni, bukankah kamu sedang cuti?"
"Nggak ada kegiatan, kupikir lebih baik masuk kerja saja." Aku mengangkat bahu dan tersenyum. "Awalnya aku juga ingin membantu Josie, tapi kemudian malah malas."
Aku terus sibuk sampai jam pulang kerja, tetapi tiba-tiba, aku menerima telepon dari sang pemimpin redaksi, Pak Zuardi, yang menelepon dari kantornya,
"Yunida? Kamu masuk hari ini, ya? Kalau begitu segera bersiap, kita berangkat sekarang, ada wawancara mendadak yang harus diikuti."
"Baik." Aku tidak menunda-nunda, segera merapikan peralatan yang dibutuhkan dan memanggil kamerawan menuju area parkir.
"Apa yang begitu mendesak? Pak Zuardi, jarang sekali Anda turun liputan langsung, 'kan?"
Sambil memasang sabuk pengaman, aku menoleh dan bertanya kepada Pak Zuardi.
Pak Zuardi mengangguk, "Awalnya memang nggak berniat pergi. Perusahaan kita fokus pada isu aktual, nggak terlalu memperhatikan bidang seni. Tapi ... barusan aku menerima kabar orang dalam dari seorang teman, katanya konser piano yang sedang diadakan di Aula Seni Kota itu memiliki seorang pianis lulusan luar negeri, sebenarnya dia adalah putra Bryan si pengusaha ternama."
Gerakanku memasang sabuk pengaman sempat terhenti sejenak, lalu segera kembali normal, ekspresiku tetap datar. "Hmm, aku tahu Bryan."
Pak Zuardi mengangguk. "Ya, sebelumnya hanya tahu Bryan punya seorang putri, sepertinya bernama Lizania? Tapi soal putra Bryan, aku memang benar-benar nggak tahu."
Dalam hati aku berpikir, putra Bryan? Kalau soal itu, justru aku tahu cukup banyak, semalam saja aku masih tidur dengannya.
Sayangnya, kalimat itu hanya bisa dinikmati di dalam hati.
Kalau diucapkan, mungkin akan membuat Pak Zuardi sangat terkejut.
Saat kami tiba di lokasi, waktunya memang agak terlambat, tetapi setelah menunjukkan kartu pers kepada petugas keamanan, kami tetap berhasil memasuki aula dengan lancar.
Ketika aku masuk dari pintu samping, pembawa acara kebetulan menyebut nama Aurelius.
Aurelius melangkah dari balik panggung ke atas panggung, dari sudut pandangku, seolah-olah dia sedang berjalan ke arahku.
Dirinya membungkuk di tengah panggung, lalu jari-jarinya dengan ringan diletakkan di atas tuts piano hitam-putih yang kontras.
Desas-desus berbisik terdengar satu per satu dari penonton.
Ini benar-benar Aurelius yang sama sekali berbeda dari bocah berambut rapi yang kemarin mengenakan hoodie di bandara.
Lima tahun, aku tidak bertemu dengannya selama lima tahun penuh, sampai hampir lupa bahwa Aurelius kini sudah menjadi seorang pria berusia dua puluh dua tahun.
Saat perpisahan dulu, Aurelius baru berusia tujuh belas tahun.
Dan kemarin malam di bandara, aku bahkan hampir tidak mengenalinya.
Aura di sekujur tubuhnya sudah sepenuhnya berbeda dari masa-masa sekolah.
Ketika tepuk tangan bergemuruh, barulah aku sadar bahwa pertunjukannya telah berakhir.
Di tengah dorong-dorongan para wartawan, aku ikut berdesakan bersama mereka menuju belakang panggung.
Aurelius melepaskan jas hitamnya dan menyampirkannya di lengan, berdiri di tengah kerumunan sambil minum air, sangat mencolok.
Namun berkat fakta bahwa dia baru saja pulang ke tanah air dan belum terkenal, para wartawan lain beralih mewawancarai pianis senior yang sudah terkenal, dan aku kebetulan mendapat kesempatan.
"Aurelius ...." Aku memanggilnya, lalu seketika tersadar panggilan itu tidak tepat dan segera membetulkannya, "Pak Aurelius, halo."
Untung Pak Zuardi berada agak jauh dan tidak memperhatikan.
Saat aku memanggil namanya, Aurelius sudah menoleh ke arahku.
Proses wawancara berjalan sangat lancar. Sepanjang waktu aku bertanya sambil menunduk dan mencatat, dan Aurelius pun seolah sepakat denganku, tidak membiarkan orang lain menyadari bahwa kami saling mengenal.
Keluar dari aula, angin malam terasa sunyi.
Aku menolak tawaran tumpangan Pak Zuardi, karena kereta bawah tanah terakhir masih bisa kukejar.
Saat menunggu di persimpangan jalan, sebuah mobil Audi hitam berhenti di depanku, lalu jendela mobil perlahan diturunkan, memperlihatkan wajah Aurelius.
"Kak, naiklah. Biar kuantar pulang."
Aku melihat ke sekeliling, tidak ada orang.
Aku pun tidak sungkan, langsung membuka pintu dan duduk di dalam mobil.
Pada saat yang sama, ponselku berdering.
Begitu melihat layarnya, aku sampai tertawa sinis, itu adalah panggilan Andre.
Aurelius sedikit memiringkan kepala. "Kenapa nggak diangkat?"
Aku tersenyum. "Diangkat, tentu saja. Telepon mantan pacar, pertanda keberuntungan, kenapa nggak?"
Aurelius tidak berkomentar.
Baru saja aku menekan tombol jawab, suara Andre dengan nada yang agak cemas segera terdengar dari ponsel.
"Yuni, kamu sudah selesai bekerja? Cuaca di sana bagaimana? Aku lihat hari ini sepertinya hujan, ingat pakai baju lebih tebal, ya."
Andre dulu juga pernah menyapaku dengan penuh perhatian seperti ini. Namun sekarang, mendengar kata-katanya saja sudah membuatku sangat muak, bahkan satu detik pun aku tidak sanggup mendengarnya lagi.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menampilkan senyum lebar. "Andre."
"Hmm? Aku di sini." Suara Andre terdengar, masih selembut dulu.
"Kita putus."
"Kenapa?" Nada suara Andre segera menjadi tegang. "Apa aku melakukan kesalahan? Yuni, biasanya kamu paling penurut. Kalau ada emosi, kamu bisa melampiaskannya padaku, jangan asal bilang hal seperti ini, boleh?"
Perutku terasa mual. Dengan satu gerakan, aku langsung memblokir nomornya.