Bab 5
Kalimat sederhana itu bagaikan pisau tajam yang menusuk dada Alisya. Hatinya bagai diiris-iris sampai berdarah-darah.
Hatinya yang sudah penuh luka rasanya seperti terkoyak, membuatnya tersiksa.
Kepalanya berdengung, tatapannya jadi kosong. Kini yang tersisa hanyalah hati yang sudah mati rasa.
Entah sejak kapan, kerumunan orang-orang di aula sudah pergi. Hanya ada cahaya lampu yang menyinari Alisya, membuat luka di tubuhnya makin terlihat jelas.
Dia berdiri sambil menahan sakit. Lalu mengambil jaket yang ditinggalkan oleh seorang pelayan baik hati di sampingnya. Dia memakainya dan berjalan pergi dengan langkah terhuyung-huyung.
Di luar sedang hujan deras. Alisya menerjang hujan tanpa sadar.
Butiran air hujan yang dingin pun menghantam wajahnya, lalu mengalir seperti air mata.
Tapi air matanya sudah habis.
Dia tidak tahu harus ke mana, dan hanya berjalan menyusuri jalan tanpa tujuan.
Tidak lama setelah itu, sebuah mobil berhenti di sampingnya.
Kaca mobil diturunkan, dan muncul wajah tampan Marvin yang tampak dingin.
"Naik."
Alisya terus menyeret kakinya agar tetap berjalan di tengah hujan. Dia seolah tidak mendengar apa-apa.
Marvin mengerutkan kening, dia makin mengeraskan suaranya, "Naik."
Alisya menghentikan langkahnya, lalu menatap pria itu dengan wajah yang sudah pucat pasi.
"Pak Marvin nggak perlu mencemaskanku. Aku cuma sekretaris."
Nada bicaranya yang dingin membuat hati Marvin bergetar hebat.
Marvin membuka pintu dan menerobos hujan untuk menghampirinya. Dia menggenggam erat tangan Alisya.
"Sikapku di kejadian malam ini memang kurang bijak. Tapi aku pernah sekali kehilangan Keisha, dan nggak mau sampai kehilangannya lagi untuk kedua kalinya. Aku akan cari cara untuk menebus penghinaan yang sudah kamu alami. Kamu jangan marah padaku karena masalah ini."
Alisya tidak bisa mengalah lagi.
Dia mengerahkan sisa tenaganya untuk melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Dia lalu mundur beberapa langkah, kemudian berkata dengan datar.
"Pak Marvin bercanda, ya. Mana mungkin orang biasa sepertiku berani marah ke Bapak dan Nona Keisha. Dulu aku memang terlalu naif sampai nggak sadar diri. Mulai sekarang, aku akan selalu ingat kalau aku cuma sekretaris. Aku nggak akan lagi mengganggu hidup Pak Marvin. Apa Bapak sudah puas? Apa aku sudah boleh pergi sekarang?"
Marvin malah jadi marah mendengar ucapannya.
Ekspresi wajahnya makin dingin dan emosinya jadi lepas kendali.
"Kamu tahu betul bukan itu maksudku! Aku nggak pernah meremehkanmu sebelumnya. Aku tadi bilang begitu di pesta cuma demi menenangkan Keisha. Di hatiku, kamu dan Gina ... "
Alisya tidak mendengar apa yang pria itu katakan setelahnya.
Pandangan matanya makin buram, kelopak matanya juga terasa makin berat.
Tenaganya sudah terkuras habis. Tubuhnya oleng dan Alisya akhirnya pingsan ...
Entah sudah berapa lama berlalu, saat membuka mata lagi, Alisya mendapati dirinya sudah di rumah sakit.
Baju basahnya sudah diganti. Luka-luka di tubuhnya juga sudah dibersihkan dan diperban. Di nakas samping ranjang ada obat-obatan serta segelas air hangat.
Ada perawat yang sedang mengatur cairan infus. Dia tersenyum ramah saat melihat Alisya sudah siuman.
"Sudah bangun? Pacarmu kemarin menemanimu semalaman. Dia baru saja pergi."
Alisya membuka mulutnya yang kering, suaranya sangat serak.
"Dia bukan pacarku. Dari dulu juga bukan pacarku."
Dari awal, hubungannya dengan Marvin hanyalah kecelakaan.
Selain sebagai sekretaris, Marvin tidak pernah mengakui kalau mereka punya hubungan lain.
Dulu Alisya sering membohongi diri sendiri, bahkan berkhayal soal masa depan.
Tapi kini, dia ingin tersadar.
Lalu pergi dari sini selamanya, dan tidak pernah kembali lagi.