Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Aku memandang ke seluruh ruangan. Ada berbagai macam orang, dan hampir setiap pria ditemani satu atau dua perempuan. Tapi pandanganku langsung tertarik pada seorang pria yang duduk di tengah. Dia mengenakan setelan jas berwarna terang, berkacamata berbingkai emas, dan seluruh auranya memancarkan kemewahan serta sikap dingin yang sulit didekati. Di kedua sisi tempat duduknya tidak ada siapa pun, membuatnya tampak berbeda dari semua orang di sekelilingnya. Saat aku menatap ke arahnya, pria itu pun tepat menatap balik ke arahku. Baru saat itu aku sadar bukan hanya auranya yang tenang dan dalam, bahkan wajahnya pun luar biasa menawan. Mata yang dalam, hidung mancung, bibir tipis, keseluruhan wajahnya tampan memikat. Aku sempat terpaku menatap dia. Tepat saat itu, pandangan kami saling bertemu. Jantungku langsung berdegap kencang, seolah aku tertangkap basah sedang mengintip. Refleks, aku buru-buru mengalihkan pandangan. Di saat yang sama, musik di ruangan tiba-tiba berhenti. Suara orang-orang langsung riuh, "Wah! Memang benar, Profesor Devan punya mata yang tajam. Dari foto sama sekali nggak kelihatan, begitu muncul langsung seperti bidadari turun ke bumi!" Profesor? Mereka sedang membicarakan pria itu? Tapi ... profesor macam apa yang sampai dianggap tokoh besar dan berpengaruh Tak lama kemudian, bosku berjalan ke arahku dan membawaku menuju pria tersebut. Saat tahu bahwa ternyata benar dia yang memesan aku, aku sempat terkejut. Namun di dalam hati, ada sedikit rasa lega. Setidaknya yang menungguku bukan pria botak berminyak seperti yang kubayangkan sebelumnya. "Profesor Devan, ini gadis yang kamu pilih. Namanya Tessa. Dia baru bekerja di sini sekitar sebulan. Coba lihat ... cocok nggak?" kata bosku sambil tersenyum. Pria itu menatapku santai, tetapi sorot matanya tajam, seperti bisa menembus segala yang ingin kusimpan. Dalam beberapa detik saja, rasanya aku seperti berdiri telanjang di depannya, membuatku sangat tidak nyaman. "Hmm. Bagus. Biarkan dia di sini," ucapnya pelan. Suaranya lembut dan enak didengar. Benar-benar tidak seperti pria yang biasanya datang ke tempat seperti ini. Begitu melihat bahwa pria itu benar-benar memilihku, bosku langsung mendekat dan berbisik memberi peringatan padaku, "Aku juga nggak ngerti kenapa dia bersikeras mau kamu. Yuna sudah bilang tugasmu malam ini, 'kan? Kalau sedikit saja dia merasa nggak puas, kamu siap-siap angkat kaki dari sini!" Selesai mengancam begitu, aku langsung didorong untuk duduk di samping pria itu. Bosku masih sempat mengobrol beberapa kalimat menjilat, lalu menyuruhku menemaninya minum tiga gelas sebelum akhirnya pergi. Begitu bosku keluar, musik yang sebelumnya dihentikan kembali menggema memenuhi ruangan. Profesor Devan adalah pusat perhatian malam ini. Semua orang datang untuk bersulang dengannya, dan aku pun ikut menemani, minum entah berapa gelas. Setelah berkali-kali saling bersulang dan minum, pipinya dengan cepat memerah. Kelihatannya dia sudah mulai mabuk. Selama aku duduk di sini hampir setengah jam, dia sama sekali tidak menyentuhku, bahkan kami berdua belum bertukar satu kata pun. Mengingat tugas yang diberikan bosku, aku pun mendekat dan bertanya dengan lembut, "Profesor Devan, kamu minum terlalu cepat. Nanti gampang mabuk. Mau aku bantu ke toilet untuk menghindar sebentar dari minuman?" Awalnya aku memang sudah duduk cukup dekat dengannya. Saat dia menoleh, wajah kami hampir saling bersentuhan. Aku refleks hendak menjauh, tetapi tanpa kuduga, dia mengangkat tangan dan menahan bagian belakang kepalaku sehingga aku tak bisa bergerak. Tatapan mata dalam dan tajam itu menancap langsung padaku. Pada saat itu, aku bahkan tak berani mengembuskan napas terlalu keras. Wajahnya semakin mendekat sedikit demi sedikit, dan ketika bibir kami hampir bersentuhan, jantungku serasa melonjak sampai ke tenggorokan. Aku akui, dia tampan dan berkarisma. Namun tetap saja, aku hanyalah seorang pendamping minum. Selama sebulan bekerja di klub malam ini, batas yang bisa kuterima hanyalah hal-hal seperti memapah tamu yang mabuk, membiarkan mereka memeluk bahu, menggenggam tangan, atau kadang merasakan tangan besar mereka mengusap-usap pahaku. Ciuman seperti ini ... belum pernah terjadi sebelumnya. Seluruh darah di tubuhku seperti mendidih, kepalaku hampir tak bisa berpikir. Aku ingin mendorong dia menjauh, tapi aku sama sekali tidak berani melakukannya.

Ā© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.