Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 11

Julie merasa telinga kanannya mengeluarkan darah. Dia terpaku di tempat dan tidak bergerak. Poppy menatap putrinya yang lemah dan tidak berguna itu. Dia merasa malu sebagai ibunya. Dia mengambil dokumen di meja kopi, lalu menyerahkannya pada Julie. "Baca baik-baik." "Ibu sudah siapkan jalan keluar buatmu." Julie mengambil dokumen itu. Di sampulnya, tertulis kata Perjanjian Pra-Nikah. Dia membukanya. "... Nona Julie bersedia menikah dengan Pak Lindra. Setia menemaninya hingga akhir hayat ...." "... Pak Lindra wajib menjamin kehidupan keluarganya Julie, yakni Keluarga Purnama, serta menyediakan 600 miliar rupiah untuk keluarga itu ...." Lindra Nikolai, pengusaha senior di Kota Torun. Sekarang, dia berusia tujuh puluh delapan tahun. Kepala Julie serasa tegang seperti ditarik tali. Poppy melanjutkan, "Lindra bilang, dia tak keberatan kamu menikah lagi. Asal kamu mau menikah dengannya, dia akan membantu Keluarga Purnama bangkit kembali." Poppy menatap dengan penuh harap, lalu menepuk bahunya. "Sayang, kamu tak akan mengecewakan Ibu dan Samuel, 'kan?" Wajah Julie makin pucat. Dia menggenggam perjanjian itu dengan erat. "Aku belum resmi cerai dengan Victor." Poppy tidak peduli. "Lindra bilang, bisa adakan pesta dulu, baru daftar pernikahan belakangan." "Toh Victor juga tak mencintaimu. Ibu menghormati pilihanmu, aku setuju kamu cerai dengannya." Poppy tahu pernikahan Julie dan Victor sudah tidak bisa diselamatkan. Dia menuruti Samuel. Dia berniat memanfaatkan putrinya selagi masih muda. Setelah Julie mendengarnya, dia merasa tenggorokannya seakan tersumbat kapas. "Boleh aku tanya sesuatu? Aku ini anak kandung Ibu, 'kan?" Wajah Poppy menegang. Kesabaran palsunya menghilang, lalu dia memaki Julie. "Kalau bukan karena melahirkanmu, tubuhku tak akan melar! Aku tak akan jatuh dari panggung dunia sebagai penari terkenal! Kamu benar-benar bikin aku kecewa!" Sejak kecil, Julie tak pernah mengerti kenapa ibu orang lain bisa mengasihi anaknya tanpa pamrih. Sementara ibunya sendiri tidak sudi memberi secuil kasih pun. Sampai sekarang pun, dia masih tak paham. Namun, sekarang dia sadar akan satu hal. Jangan pernah lagi berharap kasih sayang dari orang lain. Julie meletakkan perjanjian itu. "Aku tak setuju." Poppy tidak menyangka dia akan menolak mentah-mentah. Dia langsung marah. "Dasar tak tahu diri! Hidupmu itu aku yang kasih!" "Aku suruh apa pun, kamu harus patuh!" Begitu mendengarnya, Julie menatap ke arahnya. "Kalau begitu, kalau aku kembalikan nyawaku pada Ibu, berarti aku tak berutang lagi, 'kan?" Poppy tertegun lagi. "Apa kamu bilang?" Bibir pucat Julie bergetar. "Kalau aku kembalikan nyawaku, berarti mulai saat itu Ibu bukan lagi ibuku. Aku tak berutang budi, benar?" Poppy tidak percaya. Dia malah mencibir. "Oke." "Asal kamu berani mati, aku tak akan paksa lagi!" "Tapi, apa kamu berani?" Tekad Julie seolah sudah bulat. "Beri aku waktu sebulan." Poppy merasa putrinya sudah gila. Dia mendorong perjanjian itu kembali ke Julie. "Kalau tak berani mati, tanda tangani saja." Selesai bicara, Poppy pergi dengan sepatu hak tinggi. Samuel menunggu di pintu. Dia sempat mendengar percakapan itu. Dia bertanya, "Ibu, apa dia benar-benar bunuh diri?" Poppy dingin. "Kalau dia berani mati, aku malah kagum! Lagi pula, sejak kecil dia diasuh pengasuh, tak dekat denganku. Aku tak pernah menganggapnya anak." Mereka baru berjalan tak jauh. Ucapan itu jelas terdengar di telinga Julie. Dia menekan telinganya yang sakit. Kadang, dia merasa lebih baik jadi tuli saja. Dia meringkuk sendirian di sudut dinding. Julie merasa hidupnya benar-benar gagal. Dia merasa seolah tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. ... Dia tercekik sampai batas. Dia ingin mencari tempat untuk melampiaskannya. Malam itu, Julie pergi ke klub. Dia duduk di pojok sambil minum. Dia menatap orang-orang bersenang-senang dengan tatapan kosong. Seorang pria tampan bermata indah memperhatikan dirinya yang sendirian, lalu mendekat. "Kamu Julie?" Julie menatapnya. Dia tidak mengenalinya, lalu bertanya tanpa sadar, "Kamu tahu gimana caranya bahagia?" Pria itu bingung. "Apa maksudmu?" Julie terus menenggak minuman. "Dokter bilang aku sakit, harus bahagia. Tapi ... aku tak bisa bahagia ...." Jonas yang mendengar itu, merasa hatinya terenyuh. Dia tidak ingat? Selain itu, sakit apa yang mengharuskannya bahagia? "Nona, kalau mau bahagia, bukan di tempat begini." "Aku antar kamu pulang," katanya dengan suara merdu. Julie tersenyum samar. "Kamu orang baik." Jonas menatap senyum getirnya. Hatinya merasa rumit. Dia tidak tahu apa saja yang dialami wanita ini selama beberapa tahun. Kenapa dia tampak begitu sedih.? Di sisi lain, Victor juga ada di sini. Sejak mengurus perceraian dengan Julie, tiap malam dia larut dalam hura-hura. Dia sudah lama tidak kembali ke Vila Glendale. Larut malam, saat rombongannya hendak pulang. Clara melihat sosok familier di pojok. Dia kaget. "Itu Julie, 'kan?" Victor menoleh, lalu melihat seorang pria sedang berbincang dengan Julie sambil tertawa. Wajahnya langsung menjadi masam. Mabuk di klub, bahkan dengan pria lain. Victor merasa dirinya terlalu menganggap Julie polos. Ternyata, dia sama saja. Dulu, siapa yang bilang hanya akan mencintainya seumur hidup? "Victor, mau kita hampiri?" tanya Clara. "Nggak perlu." Victor hanya menjawab dengan nada dingin, lalu melangkah pergi dengan cepat. Julie menolak diantar Jonas. "Aku bisa pulang sendiri. Aku tak merepotkanmu." Jonas tetap khawatir. Dia diam-diam mengikutinya dari belakang. Victor duduk di mobil, lalu melonggarkan kancing kemejanya. Dia masih gelisah. Di tengah jalan, dia menyuruh sopir berbalik arah. Kebetulan bertemu Julie yang dalam perjalanan pulang. Victor menghentikan mobil, segera turun dan berjalan ke arah Julie. "Julie." Suara yang familier membuat Julie sedikit sadar dari mabuknya. Dia mendongak, melihat Victor mendekat. Dia merasa seperti mimpi. "Victor ...." ucapnya, lalu segera mengubah, "Pak Victor." Jarak mereka begitu dekat, hingga Victor sadar Julie memakai riasan tipis hari ini. Sejak menikah, dia tidak pernah berdandan. Victor lupa, dulu dia yang bilang tidak suka wanita berdandan. "Kamu tahu kamu terlihat seperti apa sekarang?" ucap Victor dengan nada dingin. Julie menatapnya dengan tatapan kosong. Lalu, dia berkata, "Dandanmu kayak hantu!" "Penampilan kayak kamu, mana ada lelaki yang suka?" Julie langsung tersadar. Suaranya serak. "Aku tahu tak ada yang suka aku." "Aku juga tak berharap ada yang suka ...." Victor merasakan sesak di dadanya. "Kalau tak ada urusan lain, aku pulang dulu." Julie melangkah lagi. Victor hampir bertanya siapa pria tadi. Namun, kata-katanya ditelan kembali. Lagi pula, sebentar lagi mereka akan bercerai. Tidak ada gunanya bertanya. ... Julie berjalan pulang sendirian.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.