Bab 14
Apa?
Kezia membelalakkan matanya terkejut.
Mereka bisa-bisanya percaya dengan kata-kata Raina itu?
"Bukan begitu, kalian kalau nggak percaya, boleh cek CCTV!" Kezia kembali menjelaskan.
Mendengar itu, Theo tertawa menyindir, "Semua orang tahu kamu sudah mematikan CCTV-nya. Sekarang kamu bilang begini juga untuk memfitnah Raina, 'kan?"
Heh ....
Kezia menertawai dirinya sendiri.
Sudahlah, dia tidak ingin membela diri lagi.
Apa pun yang dia katakan, orang-orang ini tidak akan percaya Raina mau mencelakainya.
Kezia menunduk, membuat dirinya terlihat kecil dan kasihan.
Joseph agak terpaku, dia tiba-tiba teringat waktu ibunya meninggal, Kezia juga meringkuk seperti ini.
Namun sekarang ....
Mata Joseph kembali dingin.
"Kezia Hartono."
Dia memanggil Kezia dengan suara ringan, tapi kata-katanya setelah ini bagaikan es batu yang dituang ke kepala Kezia.
"Mulai sekarang, kamu sudah nggak ada hubungannya dengan Keluarga Hartono."
Sudah tidak ada hubungan?
Tubuh Kezia bergetar, di matanya muncul kebingungan.
Dia melihat Joseph, orang ini sangat asing.
Kemudian, dia melihat ayahnya dan Theo, lalu kembali menunduk.
"Baik."
Meski hatinya terasa sakit, rasa sakitnya tidak sesakit dulu lagi, bahkan dia merasakan kebebasan.
Mungkin dia dan Keluarga Hartono memang tidak berjodoh.
Melihat Kezia menjawab secepat itu, Theo semakin merasa kesal.
Dia mencibir,
"Kamu lagi-lagi mau ngapain? Asal kamu tahu saja, mulai sekarang kamu nggak boleh bilang kamu itu anggota Keluarga Hartono lagi. Sebaiknya pergi jauh-jauh dari kami, jangan menunjukkan dirimu di depan kami lagi."
Noah juga mengangguk. "Mulai sekarang, jangan sampai kami melihatmu lagi."
"Baik."
Kezia mendongak lalu tersenyum.
"Pak Noah tenang saja, aku nggak akan muncul di depan kalian lagi."
Setelah itu, dia mengelus perutnya.
Mungkin tidak sampai dua bulan, dia akan menghilang dari dunia ini, seperti yang mereka inginkan.
Joseph mengernyit sambil menatap Kezia lekat-lekat.
Sikap Kezia sangat aneh, seperti boneka yang tidak bernyawa.
Melihat Joseph terus menatap Kezia, Theo menarik lengannya dan berjalan keluar.
"Kak, kita pergi jenguk Raina dulu. Dia terkejut sekali, sekarang nggak ada yang menemaninya, dia pasti takut."
Begitu mendengar nama Raina, di mata Joseph yang dingin muncul kehangatan.
"Ayo kita pergi lihat Raina."
Setelah itu, dia pun berjalan keluar dengan terburu-buru.
Dalam sekejap, kamar yang sempit ini kembali hening.
Kezia mengelus perutnya dengan ekspresi sedih.
"Maaf, Ibu nggak berhasil membawamu ke dunia ini."
Melihat ini, Reynald yang berdiri di pintu menunjukkan tatapan kaget, tapi dalam sekejap kembali dingin.
Dia melangkah masuk ke kamar lalu melempar surat perjanjian perceraian ke Kezia.
"Tanda tangan."
Kezia menatap Reynald, lalu mengambil pulpen dan tanda tangan.
Setelah tanda tangan, dia melempar kembali surat perjanjian itu.
"Kamu sudah boleh pergi."
Reynald refleks mengangkat alisnya, lalu mengamati Kezia dengan saksama.
Saat bertatapan dengan matanya yang kosong, Reynald tiba-tiba mencibir,
"Anak itu benar-benar punyaku?"
Kata-kata ini berhasil menarik perhatian Kezia.
Dia menatap Reynald sekian lama, baru menemukan kembali suaranya. "Apa katamu?"
Melihat Kezia marah, Reynald tertawa mengejek.
"Kamu suka main-main sama pria lain, terus temanmu dari kecil itu juga pernah berhubungan denganmu? Memangnya kamu tahu anak siapa itu?"
Mata Kezia perlahan-lahan memerah.
Reynald bisa-bisanya berpikiran seperti itu tentangnya?
Ekspresi Reynald juga jelek. Beberapa hari ini Kezia tidak hanya tidak pulang, dia bisa-bisanya mengambil foto menjijikkan seperti itu dengan orang lain.
Apa wanita ini kira dia, Reynald Geraldi, sudah mati?
Keheningan Kezia membuat Reynald marah.
"Nggak bicara? Atau nggak bisa bicara?"
"Reynald Geraldi."
Kezia memanggilnya dengan suara kecil, lalu menatapnya dengan tenang.
"Keluar."
Selain itu, Kezia tidak menemukan kata-kata yang bisa dia ucapkan lagi.
Dia menutup matanya, tidak ingin melihat wajah yang dulunya sangat dia cintai ini.
Kenapa reaksi Kezia malah seperti ini!
Reynald melangkah maju lalu mencekik leher Kezia, kemudian dia membungkuk dan memberi tekanan pada Kezia.
"Kamu mau mati?"
Merasa kesusahan bernapas, seluruh tubuh Kezia terasa sakit.
Setetes air mata menetes dari sudut matanya dan jatuh ke tangan Reynald, membuatnya merasa sangat tidak nyaman seperti terbakar.
Dia melepaskan cekikannya lalu menatap Kezia dengan jijik.
"Mulai sekarang, jangan muncul di depanku lagi."
Uhuk ....
Setelah batuk-batuk lumayan lama, Kezia tersenyum dengan susah payah.
Dia menoleh melihat Reynald lalu berkata dengan suara serak, "Tenang saja, aku nggak akan muncul lagi, seperti yang kamu mau."
Mendengar suara ini, Reynald merasa jantungnya seakan-akan berhenti berdetak.
Dia mau menjalin hubungan dengan Alva?
Begitu memikirkan kemungkinan ini, keinginan membunuh di mata Reynald seketika menjadi semakin jelas.
Wanita menjijikkan seperti Kezia seharusnya langsung mati.
Namun, waktu melihat air mata di matanya, Reynald langsung bimbang.
Dia sepertinya tidak mengerti sebenci apa dia pada Kezia, juga tidak tahu kenapa dia mau Kezia mati.
Akhirnya, Reynald malah kabur.
Setelah mendengar langkah kaki menjauh, Kezia memuntahkan darah.
Dia memegang lambungnya yang berdenyut sakit sambil meringkuk di kasur.
Ketika dia bangun lagi, Alva duduk di sampingnya dengan kening berkerut.
Melihat Kezia membuka matanya, muncul kegembiraan di mata Alva, tapi ekspresinya langsung berubah serius.
Melihat ini, Kezia tertawa.
"Aku bukannya masih hidup? Kenapa ekspresimu begitu?"
Alva memasang wajah serius dan berkata, "Kamu pikir kamu masih jauh dari kematian? Kamu lompat dari lantai dua, keguguran, terus makan obat yang nggak seharusnya dimakan. Kezia, kalaupun kamu itu kucing, sembilan nyawamu juga sudah habis."
Melihat Alva tidak seperti sedang bercanda, mata Kezia berkilau lalu dia tertawa.
"Aku sudah mau mati?"
Alva mengangguk lalu berkata, "Kematian sudah dekat."
Kezia pun menutup matanya lalu tersenyum pasrah.
"Mati juga nggak apa-apa, nggak ada yang aku sesali."
"Aku masih ada satu cara, guru pembimbingku sedang melakukan sebuah penelitian rahasia. Kalau kamu bersedia jadi percobaan, mungkin ada sedikit harapan."
"Penelitian?"
Kezia membuka matanya, lalu melihat Alva yang ragu-ragu mau bicara.
Setelah berpikir sejenak, Kezia bertanya lagi, "Penelitian tentang kanker lambung?"
Alva mengangguk.
Di mata Kezia kembali terlihat harapan. "Kalau begitu, aku mau coba."
Alva tidak menyangka Kezia akan menjawab secepat itu, dia pun mengingatkan Kezia lagi, "Tapi kemungkinannya hanya sepuluh persen, kemungkinan besar tetap bakal mati."
Mendengar keraguan di nada Alva, Kezia pun tertawa.
"Alva, menurutmu orang sepertiku, hidup atau mati ada bedanya?"
"Aku mau!" ujar Kezia lagi.
Alva menggigit bibirnya, tidak bersuara.
Keesokan harinya.
Anggota Keluarga Hartono dan Reynald menerima sebuah pesan secara bersamaan.
Satu jam kemudian, di rumah sakit.
Reynald berlari ke rumah sakit dengan ekspresi dingin.
Melihat Theo dan yang lainnya juga ada di sini, dia mengernyit, muncul firasat buruk di hatinya.
Theo berjalan menghampiri Reynald dan berkata, "Reynald, kamu nggak seharusnya datang. Entah apa lagi yang mau dilakukan si pembawa bencana ini."
Noah juga setuju. "Benar, kami datang karena Kezia bilang dia meninggalkan wasiat untuk kami. Kami sudah nggak ada hubungannya dengan Kezia, nggak akan menemaninya berpura-pura lagi."
"Wasiat?"
Wajah Reynald yang tadinya sudah memasang ekspresi jelek jadi memucat.
Dia juga menerima wasiat yang sama.
Mereka semua memikirkan sesuatu lalu refleks melihat ke arah ruang operasi.
Theo pun mencibir, "Apa lagi yang dia rencanakan? Apa dia pikir dengan dia mati kita bakal sedih? Terus menyesal?"
Reynald mengernyit, hatinya terasa sangat kacau.
Dia tidak percaya Kezia berani mati.
"Sekarang juga, aku bakal mengekspos kebohongannya ini! Kalau dia beneran mau mati, kukabulkan keinginannya!"
Sambil berbicara, Theo mengulurkan tangannya mau membuka pintu ruang operasi.
Reynald mengernyit, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Aku sudah pernah melihat laporan kesehatan Kezia, nggak ada masalah," ujar Joseph.
Reynald pun berkata, "Kalau dia akting, orang di dalam pasti akan kerja sama dengannya. Aku sudah mencari dokter, nanti dia akan membawa kita masuk lewat jalur staf. Waktu melihat orangnya, kita bakal bisa mengungkap kebohongannya."
Begitu selesai bicara, asistennya sudah membawa seorang dokter kemari.
"Ayo!"
Theo sangat bersemangat, dia jadi orang pertama yang membuka pintu dan masuk.
Ekspresi Alva yang sedang mengoperasi Kezia seketika berubah saat melihat orang-orang ini.
"Untuk apa kalian masuk ke sini?"
Melihat Kezia benar-benar berbaring di meja operasi dan bagian perutnya berdarah-darah, semua orang langsung tertegun.
Mereka benar-benar sedang melakukan operasi?
Perawat di samping langsung berkata panik, "Gawat, Dokter Alva, jantung pasien berhenti!"
Alva tidak sempat mengurus orang-orang yang menerobos masuk itu, dia langsung meminta petugas lainnya untuk masuk melakukan tindakan darurat.
Namun, tidak peduli berapa kali mereka melakukan resusitasi jantung dan defribilasi, tetap tidak bisa mengubah garis lurus di EKG.
"Tit ...."
Suara yang menusuk telinga itu terdengar, mengumumkan hasil akhir.
Kezia sudah mati.