Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5 Bertemu dengan Kenzo Farren

Kenapa dia bisa ada di sini? "Ardelia?" Bibir tipis pria itu bergerak dan mengucapkan namanya dengan pelan. Ardelia terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Paman Kenzo?" Kenzo Farren adalah musuh bebuyutan Keluarga Myles. Kedua keluarga itu sudah bersaing memperebutkan posisi pertama di lingkaran Kota Belmora selama bertahun-tahun, namun tak kunjung ada yang menang. Kenzo adalah penerus generasi ini di Keluarga Farren. Walaupun baru berusia 28 tahun, tapi cara kerjanya cerdik dan tegas. Bahkan ayahnya yang biasanya tenang, beberapa kali sampai mengumpat karena ulah pria ini. Walau Ardelia dan Kenzo jarang bertemu, tapi dia bisa segera mengenalinya. Bukan hanya karena auranya yang dingin dan berwibawa, tapi juga karena wajah tampannya yang seperti diukir dengan cermat oleh Tuhan, sehingga sulit dilupakan. "Memangnya aku setua itu?" Wajah Kenzo tampak sedikit muram. Ardelia merasa agak tidak berdaya, "Pak Kenzo." "Kenapa kamu ada di Kota Jayata?" tanya Kenzo. Ardelia agak kaget, bukankah Kenzo terkenal dingin? Tidak disangka, dia bisa menyapanya. "Aku datang menemui orang tua kandungku," jawab Ardelia dengan tenang. Kenyataan kalau Ardelia adalah anak angkat Keluarga Myles tidak pernah sengaja disembunyikan. Meskipun tidak semua orang mengetahuinya, tapi juga bukan rahasia Wajah Kenzo tiba-tiba menjadi masam. "Jadi Julian mengusirmu?" Kenapa dia tiba-tiba marah? Ardelia tidak senang dengan ucapannya, "Ayah nggak akan mengusirku. Aku sendiri yang memutuskan untuk datang." Kenzo menatapnya sebentar, lalu pelayan bertanya, "Pak Kenzo, apakah Anda mau ke ruang VIP?" "Ya." Ardelia langsung berkata, "Bukankah kamu barusan bilang nggak ada ruang VIP lagi?" Pelayan berkata, "Nona, restoran ini milik Pak Kenzo. Jadi ada ruang VIP khusus untuknya." Ardelia, "..." Dia hendak pergi, tapi Kenzo tiba-tiba berkata, "Kalau sudah datang, mari makan bersama." Ardelia ragu sebentar. Kalau ayahnya tahu dia makan bersama Kenzo, ayahnya pasti akan marah besar, 'kan? "Apakah keluargamu terlalu ketat mengaturmu? Sepertinya Julian memang sangat pelit," kata Kenzo dengan datar. "Ayahku bukan orang seperti itu!" Ardelia langsung membalas dan memelototinya. Setelah berpikir sebentar, dia akhirnya setuju. Lagi pula, itu urusan bisnis, secara pribadi dia tidak perlu bermusuhan dengan Kenzo. Kalau ada makanan enak, kenapa ditolak? Ruang VIP sangat nyaman, dengan jendela besar yang menghadap seluruh Kota Jayata. Di balik sekat yang cantik, ada yang memainkan kecapi, membuat suasana menenangkan. Namun Ardelia merasa sedikit canggung di hadapan Kenzo. Aroma cologne pria itu samar-samar tercium. Ardelia meneguk air dengan diam dan setelah hidangan datang, perhatiannya langsung tertuju ke sana. Begitu mencicipi satu suapan, matanya langsung berbinar. "Enak sekali." Kenzo menatapnya dan senyum tipis terselip di matanya, "Kalau suka, makan yang banyak." Nafsu makan Ardelia langsung muncul dan Kenzo berkata lagi, "Kamu beda dari yang lain. Para sosialita biasanya makan sangat sedikit." "Aku bukan sosialita. Setelah kenyang baru bisa kerja," ujar Ardelia. "Benar juga." Tanpa sengaja Ardelia menatap matanya dan Kenzo sedang tersenyum. Hatinya mendadak terasa panas, sehingga Ardelia segera mengalihkan pandangan. Telinganya bahkan terasa agak panas. Kenapa Kenzo sepertinya berbeda dari bayangannya? Selain itu, senyuman pria ini terlalu mematikan! Saat sedang makan, Ardelia menerima pesan. Elvira, [Ardelia sayang ... aku dengar kamu ada di Kota Jayata? Aku juga ada urusan pekerjaan di sini! Kamu di mana sekarang? Mau makan bersama? Aku sudah pesan ruang VIP di Restoran Remboelan!] Restoran Remboelan? Bukankah di sini? Ardelia, [Aku akan ke sana sebentar lagi.] Setelah tahu nomor ruangannya, Ardelia berkata pada Kenzo, "Aku ada teman di sini. Aku ke sana sebentar, nanti kembali lagi." "Baik." Ardelia keluar dari ruangannya dan begitu menemukan ruang VIP yang disebutkan, terdengar suara percakapan yang tak jauh dari situ. "Bu Elvira bukan orang yang mudah menaruh perhatian pada siapa pun. kalau bisa belajar darinya, kamu harus berusaha keras." Melisa menepuk tangan Vienna dengan lembut. "Tenang saja, Ibu, aku pasti berusaha keras. Aku juga mendengar Bu Elvira berteman baik dengan Adeline. Dia juga jadi juri di kompetisi nasional kali ini, mungkin bisa bertemu dia nanti!" ujar Vienna. Begitu menyebut nama Adeline, mata Vienna langsung berbinar kagum. Tidak ada pemain piano yang tidak tahu nama Adeline. Adeline jarang muncul di depan publik. Meski banyak yang berusaha mencari tahu, yang mereka lihat hanyalah bagian belakang punggung sosok yang masih sangat muda. Namun setiap kali video permainan pianonya tersebar, pasti langsung jadi bahan perbincangan hangat karena permainan pianonya terlalu menakjubkan! Tidak diduga, Adeline akan menjadi juri kali ini. Vienna sangat menantikannya. Melisa tersenyum dan berkata, "Kamu sangat hebat, mereka pasti akan menyukaimu!" Begitu selesai bicara, Melisa terkejut saat melihat orang di depannya. Vienna juga terkejut, tapi segera bereaksi, "Kakak, kamu mengikuti kami ke sini, ya?" Melisa merasa sedikit kesal. Awalnya dia mengira putri kandungnya hanya sombong dan angkuh, tapi ternyata begitu licik, sampai mengikuti mereka. Melisa menarik napas dalam-dalam, "Ardelia, adikmu hari ini ada urusan penting. Kamu tunggu aku di depan restoran saja." "Kalian datang mencari Elvira Anindya?" tanya Ardelia sambil mengernyit. Vienna mengerutkan alisnya, "Kakak, kenapa kamu langsung menyebut nama Bu Elvira? Itu sangat nggak sopan!" Melisa juga merasa kesal. Benar saja, anak desa, sama sekali tidak punya tata krama. Suaranya terdengar tidak sabar, "Ardelia, jangan mengganggu adikmu!" Saat ini pintu ruang VIP terbuka, Elvira sangat senang saat melihat Elvira. Tapi sebelum Elvira sempat bicara, Ardelia sudah lebih dulu berkata, "Karena kamu ada tamu, kita bicara nanti saja." Ardelia berbalik dan pergi. Wajah Elvira langsung tampak kecewa. Dia menatap ke arah Vienna. Vienna cepat-cepat berkata, "Bu Elvira, maaf ya, itu kakakku. Dia tahu hari ini kami mau berbicara denganmu, jadi sedikit iri dan mengikuti kami ke sini. Barusan dia juga kurang sopan karena langsung menyebut namamu. Aku dan ibuku sudah menegurnya. Tolong jangan ambil hati, ya!" "Iri?" Elvira seolah mendengar lelucon terbesar di dunia, "Kamu nggak tahu siapa dia? Dia adalah ...."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.