Bab 2
Aku terpaksa duduk bersama Stanley.
Acara lelang segera dimulai. Stanley terus menggenggam tanganku dengan erat, sesekali menunduk dan berbisik di telingaku, benar-benar seperti pasangan yang mesra.
Bahkan, Stanley menawar dengan harga tinggi. Pria itu membelikanku satu set perhiasan safir dengan harga 200 miliar lebih.
Dalam sekejap, suasana di acara lelang menjadi heboh.
"Astaga, Pak Stanley sudah gila, ya? Kok bisa-bisanya dia menghamburkan uang untuk wanita seperti itu?"
"Dia itu wanita licik. Kalian belum lihat fotonya? Dengan tubuh dan gayanya seperti itu, mana ada pria yang bisa tahan? Kalian harus banyak belajar dari dia."
Berbagai kata-kata hinaan yang tidak enak didengar terus masuk ke telingaku. Meskipun aku menutup telinga rapat-rapat, tetap tidak ada gunanya.
Ekspresi Stanley tetap tenang, seolah tidak mendengar apa-apa. Pria itu justru memanggil pelayan hanya untuk memberiku selimut.
"Tolong bawa selimut, tunanganku mudah kedinginan," ucap pria itu sambil mengelus tanganku.
Kalau dulu, aku akan mengira itu adalah tanda dia mencintaiku.
Namun setelah kupikirkan ulang, sikapnya yang mencolok ini justru membuatku kembali menjadi sasaran ejekan orang-orang.
Itulah yang sebenarnya pria itu inginkan.
Perutku kembali merasa mual. Aku mengepalkan tangan dengan erat, berusaha bertahan sampai acara lelang berakhir.
Akhirnya, tibalah barang lelang yang terakhir. Namun, saat melihat barang lelang terakhir itu, aku terkejut dan merasa terhina hingga seluruh tubuhku terasa membeku.
Yang ... yang dilelang adalah foto-foto saat aku dilecehkan!
Meskipun bagian penting foto itu sudah disensor, semua orang tahu bahwa wanita di dalam foto itu adalah aku.
Itu adalah foto ketika aku dilecehkan.
Kok ... kok bisa foto-foto itu ada di sini?
Aku refleks menoleh ke Stanley sampingku. Pria itu sama sekali tidak terkejut, bahkan matanya tidak berkedip sedikit pun.
Ya, dia adalah putra Keluarga Baskara yang terhormat, sedangkan aku adalah tunangannya.
Tanpa perintahnya, siapa yang berani menampilkan fotoku di tempat seperti ini?
Bukankah itu sama saja dengan mempermalukan dirinya sendiri.
Semua tamu pria yang hadir menatapku dengan tatapan cabul.
"Dia memang penari. Tanpa latihan dua puluh tahun, mana bisa melakukan pose seperti itu?"
"Sial! Kalau fotonya disensor, malah bikin pengin!"
"Pengin, ya? Kalau pengin, beli saja. Meskipun dia adalah tunangan Pak Stanley, fotonya bisa kamu bawa pulang dan pajang di samping tempat tidur."
"Betul! Aku tawar 10 miliar!"
"11 miliar!"
"12 miliar!"
Suara penawaran terus terdengar tanpa henti.
Kepalaku berdengung, pandanganku menggelap, lalu aku langsung pingsan.