Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 14

Orang tua Arman meninggalkan rumah dengan penuh harapan akan kelahiran cucu mereka Mereka tidak tahu saat Arman berhubungan dengan Mitha, yang dia rasakan justru hanyalah jijik. Dia sama sekali tak menyangka demi Mitha, kedua orang tuanya tega memberi obat pada putra kandung mereka sendiri. Ayah dan ibunya adalah orang yang membesarkannya, jadi dia tidak bisa berbuat apa-apa pada mereka. Dia hanya bisa melampiaskan kemarahannya dengan menyiksa Mitha di tempat tidur. "Ah! Kak Arman pelan-pelan! Sakit ... berhenti!" Seiring hubungan intim yang berlangsung selama beberapa jam, teriakan Mitha semakin memilukan. Mitha sama sekali tidak merasakan sedikit pun kenyamanan. Dia merasa seolah seluruh tubuhnya akan terbelah dua, dengan rasa perih di bagian bawah. "Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pantatnya. Arman yang dipengaruhi oleh amarah dan efek obat, benar-benar kehilangan kendali. Tindakannya kasar, dilandasi kemarahan, bukan kasih sayang. "Kamu berusaha mati-matian hanya ingin kuhamili, 'kan? Sekarang kenapa masih berpura-pura?" "Dulu aku menyayangimu seperti adik, dan mengira kamu benar-benar mencintai Seno. Kamu pasti merasa bangga, ya? Mengira keluargaku mudah diperdaya hanya dengan beberapa kata manis?" Efek obat hampir habis, dan gerakan Arman akhirnya melambat. Dengan penuh kebencian, dia mencekik leher Mitha. Kemarahan terhadapnya dan penyesalan terhadap Rani mencapai puncaknya. Wajah Mitha memerah karena cengkeraman Arman yang kuat, dan matanya bergetar. Sebelum dia pingsan, akhirnya Arman melepaskannya. "Membunuhmu sekarang justru terlalu mudah bagimu." "Aku akan membuatmu tahu apa akibatnya membuatku marah!" Sekarang, nasib Rani masih belum diketahui. Semua penderitaan yang pernah dialaminya sebelum menghilang harus dirasakan satu per satu oleh Mitha. Mitha memang ingin punya anak, dan itu bisa Arman kabulkan. Hanya saja, setelah anak itu lahir, Rani yang akan memutuskan ke mana bayi itu akan dibawa. Begitu genggaman di lehernya dilepaskan, Mitha terengah-engah, menarik napas dalam, dengan mata yang kini dipenuhi ketakutan terhadap Arman. Sejak pertama kali bertemu dengannya, pria itu selalu tampil dengan wajah yang lembut dan sopan. Terutama setelah kematian Seno, Arman menjadi semakin lembut padanya. Apa pun yang dia inginkan, Arman akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Mitha mengira Arman memiliki perasaan padanya. Tapi mengapa ... dia lebih percaya pada kata-kata penculik daripada dirinya sendiri? Tapi untungnya, hari ini dia sedang dalam masa ovulasi. Selama dia bisa hamil, hal-hal yang pernah dia lakukan pasti akan dimaafkan oleh Arman demi anak. Mitha menahan ketakutan dan rasa sakit, lalu berusaha mendekati Arman seperti dulu untuk membujuknya. Tapi tak disangka, di detik berikutnya, dia ditendang oleh Arman hingga terjatuh dari tempat tidur. "Kak Arman, kamu ... " Belum sempat Mitha bereaksi, Arman kembali menampar wajahnya dengan keras. "Aku memberimu kesempatan terakhir. Katakan, ke mana kamu membawa Rani?" "Aku nggak pernah memukul wanita, kamulah yang pertama! Kalau kamu masih nggak mau bicara, aku akan terus memukulmu sampai kamu berbicara!" Tamparan Arman tadi sudah membuat Mitha pusing dan telinganya berdenging. Dia yakin wajahnya pasti sudah bengkak besar. Kalau dipukul lagi, mungkin wajahnya akan langsung rusak permanen. Mitha benar-benar tidak tahu di mana Rani berada. Siapa sebenarnya yang menculik anak itu dan membawa Rani pergi? Siapa yang ingin menyakitinya seperti ini? Mitha masih memohon, berusaha menggunakan nama Seno untuk mendapat simpati dari Arman. "Kak Arman, kalau Kakak memperlakukan aku seperti ini, Seno pasti akan sedih!" "Asal kamu mau melepaskanku sekarang, aku janji nggak akan bilang ke Ayah dan Ibu kalau kamu sudah memukulku! Dan aku juga nggak akan mengganggumu lagi." "Kak Arman, kamu pasti nggak mau Seno menjadi nggak tenang di alam sana, 'kan?" Arman menatapnya dengan senyum dingin. "Aku bahkan sudah tidur dengan tunangannya. Dari dulu dia memang sudah nggak tenang." Mitha tertegun. Dia tak menyangka kata-katanya justru jadi senjata makan tuan. Akhirnya, dia nekat berkata, "Kamu sudah meniduriku. Aku juga istrimu secara hukum. Kenapa kamu bisa memperlakukan aku seperti ini?" "Aku juga akan melahirkan anak untuk keluargamu! Kak Arman, lepaskan aku. Aku bisa pura-pura seolah semuanya nggak pernah terjadi." Arman hanya menatapnya sambil tertawa dingin. Jadi ini wajah asli Mitha. Dadanya terasa sesak. Betapa bodohnya dirinya dulu. Dia telah banyak membuat Rani menderita. Dia berjanji, begitu Rani dan anak mereka ditemukan, dia pasti akan memberikan kompensasi yang layak untuk mereka. "Beri tahu di mana Rani dan anakku. Setelah itu, aku akan membuat kematianmu lebih mudah." Setiap kali Arman berbicara, dia menampar Mitha sekali. Mitha menangis kesakitan, dan wajahnya bengkak parah. Namun, Arman tetap tidak berhenti. Arman sudah memerintahkan anak buahnya untuk menginterogasi penculik yang baru dikirim itu. Orang itu telah disiksa sampai hampir mati, tapi tetap bersikeras mengatakan bahwa semua itu adalah perintah dari Mitha. Bahkan si penculik itu menunjukkan rekaman panggilan telepon. Sampai pada titik ini, Arman sudah tidak akan pernah lagi memercayai satu kata pun dari Mitha. Kalau Mitha bisa merencanakan seluruh kasus penculikan itu, mana mungkin dia tidak tahu di mana Rani berada? Kalau dia tetap tidak mau bicara, maka Arman akan memaksanya sampai dia mau buka mulut.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.