Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Sebenarnya Rani tidak rela, tapi saat ini dia tidak punya pilihan lain. Keluarganya membutuhkan waktu tujuh hari untuk mendapatkan izin perjalanan dari Kota Belvina ke Seranda. Baru setelah itu, dia bisa memutuskan apakah akan pergi atau membalas dendam. Tapi Rani tidak menyangka, tujuh hari yang seharusnya digunakan untuk pemulihan pasca melahirkan ini justru akan begitu menyiksa. Pertama, payudaranya membengkak. Tanpa bayi yang menyusu, Rani mengalami penyumbatan ASI dan mulai demam. Dia meminjam ponsel perawat untuk menelepon Arman. Setelah menelepon lebih dari sepuluh kali, Arman akhirnya mengangkatnya. Di ujung telepon, terdengar omelan kesal. [Rani, untuk apa kamu menelepon berkali-kali?] [Sudah kubilang, Mitha baru saja punya bayi. Dia harus ditemani.] [Lagi pula, itu anak yang lahir dari rahimmu sendiri! Kenapa kamu tega sekali, masih saja cemburu di saat seperti ini!] Sebelum Rani sempat bicara, telepon sudah ditutup dengan kasar. Perawat memandangnya dengan penuh simpati. Rani hanya mengangguk pelan, menahan nyeri di dada sambil berkata dengan suara pahit, "Hentikan saja ASI-nya." Seiring obat masuk ke tubuhnya, rasa sakit di tubuh Rani mulai berkurang, tapi di telinganya masih terdengar tangisan bayi yang memilukan. Bayinya tidak sempat minum setetes ASI pun darinya. Rani merasa dirinya bukan ibu yang baik karena tidak bisa melindungi bayinya sendiri. "Tenanglah, Nak. Begitu tubuh Mama pulih, Mama pasti akan datang menjemputmu kembali." Dia berjanji dalam hati dengan penuh kemarahan. Tiba-tiba, tangannya terasa sakit. Mitha berdiri di depannya sambil menggendong bayi, matanya melotot penuh kemarahan. "Rani, beraninya kamu menghentikan ASI dengan suntikan?" Anakku! Mata Rani berbinar. Tanpa peduli pada darah di tangannya, dan meski berisiko membuat lukanya terbuka lagi, dia bangkit berdiri. "Mitha, kembalikan anakku!" Saat ini, Arman tidak ada. Mitha hanya datang sendiri membawa anak itu. Meski kesal mendengar tangisan bayi yang tak henti-henti, hanya ini satu-satunya cara untuk mengikat Arman. Selama anak ini ada di tangannya, Arman akan rela tetap berada di sisinya. Melihat Rani yang pucat pasi, Mitha sangat puas. "Apa maksudnya mengembalikan padamu? Bayi ini sudah menjadi anakku." "Kak Arman sendiri yang menyerahkannya langsung padaku." "Aku cukup menangis sedikit saja, dan Kak Arman sudah mau menyerahkan anak itu padaku. Menurutmu, kalau aku minta dia menceraikanmu dan menikahiku, apa dia akan setuju?" Rani tidak menjawab Mitha. Perhatiannya hanya tertuju pada anak itu. Dia pernah melihat anak itu saat baru lahir. Kulitnya merah merona, dan sangat menggemaskan. Belum genap sehari, wajah anak itu sudah pucat kekuningan, bibirnya pecah-pecah, dan setelah menangis lemah beberapa kali, dia pingsan. "Mitha!" Rani buru-buru ingin merebut anak itu, tetapi Mitha lebih dulu menghindar. Mitha melangkah mundur dan melemparkan bayi itu, lalu pura-pura terjatuh dengan lemah dan menjerit keras. Tubuh Rani bereaksi lebih cepat daripada pikirannya. Saat anak itu terlempar, dia secara refleks berusaha menangkapnya, tanpa sama sekali merasakan perih dari lukanya yang kembali terbuka. Dengan pompa pereda nyeri masih menempel di tubuhnya, gerakan ini membuat jarumnya langsung terlepas. Darah mengalir deras, tapi Rani sama sekali tidak merasakannya. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah rasa syukur. Dia bersyukur karena berhasil menangkap bayinya tepat waktu. Dia bersyukur karena Mitha tak cukup kuat untuk melempar jauh, sehingga anaknya masih dalam jangkauan. Dia bersyukur karena Arman akhirnya datang, dan kehadirannya memberi secercah harapan bagi sang buah hati. Namun di detik berikutnya, suara Arman menghantam hatinya seperti es yang membekukan segalanya. "Rani! Sampai kapan kamu mau terus membuat keributan?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.