Bab 4
Suara marah Arman terdengar dari luar pintu kamar pasien.
Dia berlari menghampiri Mitha dan langsung memeluknya erat, matanya penuh kekhawatiran dan kepanikan. "Mitha, kamu nggak apa-apa?"
"Aku sudah berjanji pada Seno untuk melindungimu. Kamu nggak boleh terluka!"
Mitha menggelengkan kepala, penuh dengan kekecewaan.
"Kak Rani, aku hanya ingin memberikan ASI pada bayi ini."
"Dia terus menangis dan nggak mau minum susu dari botol. Aku nggak tahu harus bagaimana."
"Aku nggak menyangka Kak Rani tega menghentikan ASI-nya begitu saja."
"Dia mendorongku, merebut anakku, dan bilang, bilang ... "
Mitha menundukkan kepala dan menangis dalam pelukan Arman.
Arman menatap Rani dengan tatapan dingin. "Dia bilang apa? Katakan saja. Aku yang melindungimu."
Mitha berbicara dengan terbata-bata, "Dia bilang dia lebih memilih membunuh bayi itu daripada membiarkanku merawatnya."
"Kak Arman, ini semua salahku ... aku yang nggak mampu mengandung anak Seno."
"Aku juga nggak berguna, sampai anakku direbut oleh Kak Rani."
"Tapi aku nggak pernah menyangka dia bisa setega itu."
"Harimau pun nggak memakan anaknya sendiri! Kak Rani, ini kan anak yang kamu kandung selama sembilan bulan, kenapa kamu tega melemparnya!"
Arman menatap Rani di lantai dengan tak percaya.
Ya, itu memang sifat Rani.
Jika dia tidak bisa mendapatkannya, dia akan menghancurkannya.
Benar-benar hebat.
Arman menggendong Mitha ke sisi lain dan meletakkannya dengan lembut, lalu melangkah cepat ke depan Rani. Dia mengabaikan tangisan bayi itu dan dengan kasar merebutnya.
Tangan Rani terkulai lemas di sisi tubuhnya. Demi mengambil bayinya, Arman tega menarik tangan Rani sampai terkilir.
Belum selesai sampai di situ.
Sambil berdiri, Arman menatapnya dan berkata dengan suara dingin, "Minta maaf."
"Minta maaf pada Mitha dan anak itu!"
"Kenapa aku yang harus meminta maaf?" Suara Rani terdengar gemetar dari tenggorokannya.
Mendengar suara itu, Arman terhenti sejenak.
Dia menatap Rani dengan sungguh-sungguh dan tak mampu berkata-kata.
Tubuh Rani penuh darah, darahnya menyebar dari bekas luka operasi sesar. Pemandangan ini sangat mengerikan.
Arman akhirnya merasa iba.
Dia menghela napas, berjongkok, dan menatap Rani. "Mitha dan bayinya seharusnya baik-baik saja di kamar sebelah, tapi begitu sampai di sini, mereka malah terluka. Sulit bagiku untuk nggak curiga padamu."
"Tapi karena kamu baru saja melahirkan dan hormonmu menurun dengan cepat, aku nggak akan mempermasalahkannya."
"Setelah kamu minta maaf, aku akan meminta perawat untuk merawat lukamu."
Rani tersenyum miris sambil meneteskan air mata. "Arman, kamu suamiku, tapi kamu tega menyuruhku minta maaf tanpa memeriksa kebenarannya?"
"Bagaimana kalau aku nggak mau minta maaf?"
Wajah Arman berubah muram. Dia segera berdiri dan meminta orang untuk menjaga pintu kamar pasien. "Nggak mau minta maaf?"
"Kalau begitu, tunggu saja sampai kamu sadar. Baru setelah itu akan ada yang mengurus lukamu."
Setelah itu, Arman menunggu Rani meminta maaf seperti biasanya.
Ini bukan pertama kalinya terjadi. Setiap kali mereka bertengkar, dan Rani terlihat sangat tersakiti, Ranilah yang pada akhirnya selalu meminta maaf.
Kali ini kesalahannya lebih serius. Tapi karena Rani baru saja melahirkan, Arman tetap memutuskan memberinya kesempatan.
Di sisi lain, Mitha yang sudah ditempatkan dengan aman, tersenyum puas dan mengedipkan mata ke Rani di dalam kamar.
Rani menutup matanya dan berbaring di lantai.
Dia tidak mau meminta maaf, tapi dia benar-benar tidak punya tenaga untuk melawan mereka.
Tubuhnya terlalu sakit.
Luka yang pecah, pembuluh darah yang robek oleh jarum suntik, dan hati yang sudah hancur menjadi debu.
"Kak Arman, hari ini kamu akan menemani aku dan bayi ini, 'kan?"
"Aku nggak tenang kalau orang lain yang mengurusnya, apalagi hanya seorang pengasuh. Bisa nggak kamu tinggal bersamaku?"
"Benarkah? Tapi apa Kak Rani nggak marah? Soalnya nanti kita akan tidur sekamar dan bahkan seranjang ... "
Suara Mitha dan Arman semakin menjauh.
Rani merasa putus asa. Jika terus begini, dia mungkin tidak akan bertahan sampai kakaknya menjemputnya dan sudah meninggal sebelum itu.