Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Rani memandangi pria di depannya dengan perasaan tidak percaya. Dia adalah istrinya. Bagaimana mungkin Arman bisa mengatakan hal seperti itu padanya? Apakah dia masih manusia? Ataukah, bagi Arman, dirinya hanyalah alat reproduksi Keluarga Pratama, dan setelah anak lahir, dirinya menjadi tidak penting lagi? Rani dipakaikan baju secara paksa dan diseret keluar dari ruang perawatan. "Kak Rani, bayi ini belum minum susu sejak lahir. Dia sudah susah payah mendapat infus nutrisi, kenapa kamu memperlakukannya seperti ini?" "Kembalikan dia padaku. Dia adalah anakku, aku akan merawatnya dengan baik." "Seno sudah meninggal. Anak ini mungkin satu-satunya anak dalam hidupku. Jika sesuatu terjadi padanya, aku juga nggak mau hidup lagi!" Mitha menangis tersedu-sedu. Dia memegang tangan Rani ingin berlutut. "Kak Rani, aku mohon, kembalikan anak itu padaku." "Apa pun yang kamu inginkan bisa kuberikan, kecuali anak ini. Sebelum meninggal, Seno selalu ingin punya anak dengan Mitha. Rani, sejak kapan kamu menjadi begitu pelit? Keinginan sederhana ini saja nggak bisa kamu penuhi untuk mereka!" Arman awalnya masih menyesal karena tidak seharusnya marah dan menggunakan video terapi payudara itu untuk mengancam Rani. Meskipun dia belum menonton video itu, dia tahu bahwa penyumbatan ASI setelah melahirkan sangat menyakitkan bagi wanita. Mitha mengatakan dia punya teman yang ahli dalam terapi payudara dan bisa membantu Rani. Tanpa pikir panjang, Arman pun langsung meminta Mitha membawa temannya untuk membantu Rani. Tapi sekarang, Rani bukannya berterima kasih kepada Mitha, malah menyuruh orang menculik anaknya. Ini benar-benar membuatnya sangat kecewa. Apalagi setelah Mitha menyebut nama "Seno", rasa iba terakhir yang masih tersisa di hati Arman untuk Rani benar-benar hilang. Dari tubuh Arman terpancar aura dingin. Dengan hati-hati, dia memeluk Mitha dan menenangkannya, "Sudah, jangan menangis lagi. Seno akan sedih kalau melihatmu seperti ini." "Aku pasti akan membuatnya menemukan anak itu kembali, tenanglah." "Kamu sudah lelah merawat anak itu. Sekarang pulang dan tidurlah dulu. Saat bangun nanti, anak itu pasti sudah kembali." "Mitha, kamu percaya padaku, 'kan?" Mitha mengangguk lemah, wajah pucatnya dipenuhi air mata, terlihat sangat memilukan. Namun, di sudut yang tak terlihat oleh Arman, seulas senyum puas melintas di matanya. Ini baru permulaan. Selama ini, tak ada satu pun yang berhasil mengambil apa pun yang diinginkan Mitha. Arman adalah miliknya, begitu juga posisi sebagai menantu tunggal Keluarga Pratama. Namun Mitha tahu, bagaimanapun juga, Rani adalah istri sah yang diakui oleh Arman. Jika dia ingin benar-benar menghapus Rani dari hati Arman, maka satu-satunya cara adalah ... Rani harus mati. Mitha berpikir sejenak, lalu muncul ide brilian di kepalanya. Dia pura-pura sedih dan pergi dari tempat itu. Sementara itu, Rani dipapah oleh pengawal yang dikirim Arman, didorong dari kamar ke kamar untuk mencari bayinya. "Nyonya, lebih baik Anda langsung memberi tahu di mana Anda menyembunyikan anak itu daripada menderita seperti ini." "Benar sekali. Anda nggak tahu betapa marahnya Tuan Arman. Jadi, jangan libatkan kami, dan cepat temukan anak itu agar kami bisa istirahat." Para pengawal dengan marah mencengkeram Rani dengan kuat hingga membuatnya kesakitan. Mereka ingin memaksanya untuk segera mengungkapkan keberadaan anak itu dengan cara ini. Tapi bagaimana mungkin Rani tahu di mana anak itu berada. Semua ini adalah sandiwara yang direkayasa Mitha sendiri. Para pengawal itu kemungkinan besar tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi mereka tidak berani melawan perintah Arman. Mungkin hanya Arman satu-satunya yang masih belum melihat siapa Mitha sebenarnya. Ketika bayi itu tidak ditemukan di rumah sakit, Arman benar-benar marah. "Kalau nggak ketemu di rumah sakit, cari di luar rumah sakit!" "Kalau dia nggak mau bicara, pukul dia sampai dia mau bicara!" "Rani, aku sudah sangat baik padamu. Kenapa kamu selalu menguji batas kesabaranku?" Rani berkata dengan suara serak, "Kalau kamu mau mencari bayi itu, seharusnya kamu melihat rekaman CCTV atau bertanya pada Mitha." "Kalau nggak bisa, lapor ke polisi." "Kamu malah menyuruh seorang ibu yang baru melahirkan mencari anak. Apa kamu sedang membalas dendam padaku?" Arman menatapnya tanpa kasih sayang di matanya, melainkan hanya keingintahuan dan kemarahan. "Kalau bukan kamu sendiri yang cari anak itu, kamu nggak akan pernah belajar." "Seret dia keluar, cari setiap sudut! Sebelum anak itu ditemukan, jangan biarkan dia kembali!" Rani sudah tidak bisa berjalan lagi. Sejak melahirkan, dia belum makan sesuap nasi atau minum seteguk air. Tubuhnya benar-benar sudah mencapai batas. Para pengawal mengikuti perintah Arman dan langsung membawanya keluar dari rumah sakit. Saat berjalan, Rani menyadari ada yang tidak beres. Ini bukan jalan umum. Ke mana mereka akan membawanya? Mulut Rani disumpal dengan kain lap, dan tubuhnya diikat dengan tali rami. Para pengawal memukulnya hingga pingsan, lalu melemparkannya ke dalam mobil dengan kasar. Saat dia membuka matanya lagi, di sampingnya terbaring Mitha yang juga diikat erat. Dari kejauhan terdengar suara Arman yang panik. "Berani sekali kalian menculik mereka! Kalian tahu siapa aku? Apa kalian sudah bosan hidup di Seranda?" Suara para penculik terdengar penuh ejekan. "Ada yang bayar kami untuk mengambil nyawa seseorang. Kami orang jalanan, mana bisa kami menolak pekerjaan?" Arman terdiam beberapa detik, lalu berkata tegas, "Lepaskan mereka. Berapa pun uang yang kalian mau, aku akan bayar!" Penculik itu melirik Rani dengan senyum menyeramkan. "Bisa saja. Tapi orang yang menyuruhku cuma bayar untuk satu nyawa. Aku tangkap dua orang, jadi aku akan serahkan satu kembali padamu." Dia terkekeh pelan sebelum menambahkan, "Arman, di antara dua perempuan ini, mana yang mau kamu pilih?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.