Bab 9
Setelah Arman mengurus Mitha, dia segera menelepon untuk menyuruh orang mencari Rani di seluruh Seranda.
Dalam waktu sesingkat ini, tidak mungkin kelompok penculik itu mampu melarikan diri dari genggamannya.
Mereka telah berani melukai Rani dan Mitha.
Arman bertekad akan membuat mereka menanggung akibat dari perbuatan itu.
Begitu menangkap dalang di balik semua ini, dia juga akan membuat orang itu merasakan penderitaan yang lebih buruk dari kematian.
Arman dengan cemas mengatur tim penyelamat, tetapi tangannya tiba-tiba dipegang oleh seseorang.
Saat ini, Mitha sudah berhenti gemetar.
Dia menatap Arman dengan penuh harap dan berkata dengan hati-hati, "Kak Arman, sebenarnya Kak Rani nggak akan kenapa-kenapa."
Pandangan tajam Arman membuat Mitha merasa terguncang.
Mengingat betapa seringnya pria itu memercayainya selama ini, Mitha pun memberanikan diri mengucapkan kata-kata yang sudah dia susun ratusan kali dalam pikirannya.
Saat aku pingsan tadi, aku samar-samar mendengar para penculik itu memanggil Kak Rani dengan panggilan Nona Rani. Dari nada bicara mereka ... sepertinya mereka cukup akrab dengannya.
Mungkin dia cemburu padaku, jadi dia memainkan sandiwara ini.
Kalau nggak, bagaimana mungkin aku dipukuli sampai seperti ini, sedangkan Kak Rani sama sekali nggak terluka?
Arman tidak langsung menjawabnya.
Namun setelah mendengar penjelasan Mitha, dia justru merasa sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan.
Rani tidak punya siapa-siapa di Seranda. Dari mana dia punya koneksi untuk merencanakan penculikan ini?
Sampai sekarang, anak buah yang dia kirim juga belum menemukan Rani.
Ini bukan hal yang bisa dilakukan orang biasa.
Tapi Mitha juga tidak salah.
Selain Rani yang mengatur semuanya sendiri, siapa lagi yang punya kemampuan untuk menculiknya dari sekian banyak pengawal?
"Lagi pula, Kak Arman, bayi itu belum ditemukan."
"Dibandingkan dengan Kak Rani, aku lebih khawatir dengan bayi itu."
Kata-kata Mitha ini membuat hati Arman seperti tersengat listrik.
Ya, anak itu sudah hilang begitu lama dan belum ditemukan.
Dia mengambil ponselnya dan memberikan perintah lagi, "Tambahkan personel untuk mencari bayi itu."
"Kurangi sebagian tim pencari Rani. Bagaimanapun, ini adalah wilayahku sendiri. Nggak ada yang berani menyentuh istriku."
Arman menutup telepon dan menggosok pelipisnya.
Sejak anaknya lahir hingga sekarang, terlalu banyak hal terjadi dalam waktu singkat hingga membuatnya merasa pusing.
"Kak Arman, kamu tidur saja dulu sebentar."
Mitha menekan pelipis Arman dan mulai memijatnya dengan lembut.
"Sudah tiga hari sejak Kak Rani mulai kontraksi, kamu belum tidur nyenyak."
"Sebesar apa pun masalahnya, kesehatanmu tetap yang paling penting."
"Di keluarga kita, bukankah kesehatan lebih penting dari segalanya?"
"Kak Arman, aku takut kamu ... "
Arman menggenggam tangan Mitha dan menghibur. "Jangan bicara lagi, aku mengerti."
"Aku akan tidur sebentar. Kalau ada kabar, bangunkan aku."
Arman masuk ke kamar tidur dan langsung tertidur.
Ini adalah kamar pengantin Seno dan Mitha.
Tapi sejak Seno meninggal, Mitha langsung memberikan kamar itu untuk Arman.
Arman juga tidak pernah menolak untuk menginap.
Melihat dia memperlakukan kamar itu seperti rumahnya sendiri, Mitha tersenyum tulus.
Saat itu, ponselnya berbunyi. Mitha buru-buru mengangkatnya, berjalan ke balkon, dan menutup pintu sebelum berbicara dengan tenang.
"Sudah selesai semuanya?"
"Pastikan nggak ada jejak sedikit pun!"
"Sekarang Arman sedang mencarinya di seluruh kota. Aku nggak bisa menutupi ini lama-lama."
Namun dari ujung telepon, tak terdengar jawaban yang dia harapkan.
Sebaliknya, terdengar suara pria yang gemetar. "Nona Mitha, Nona Rani ... bertanya di mana Anda menyembunyikan bayinya."
Mitha terkejut, lalu menyeringai dingin. "Rani benar-benar licik."
"Dia belum mati? Jangan-jangan dia tidur dengan bos besar di belakang Arman untuk mendapatkan perlindungan?"
"Setauku, di Seranda ini, hanya orang tua berusia 80 tahun dari Keluarga Kartono yang berani melawan Keluarga Pratama."
Di ujung telepon, sang penculik jelas tidak tahu bagaimana harus merespons Mitha. Dia hanya bisa memohon, "Nona Mitha, aku sudah menculik bayi itu dan menyerahkannya padamu. Aku benar-benar nggak tahu di mana bayi itu sekarang."
Tolong, pertimbangkan semua yang sudah kulakukan untukmu, beri tahu di mana anak itu ...
Sekarang aku hanya ingin mati dengan tenang. Kumohon Nona Mitha.
Mitha merasa jantungnya berdebar.
Bagaimana bisa si bodoh ini membocorkan semua rahasia begitu saja?
Tampaknya, orang yang mendukung Rani sangat berkuasa.
Mitha tidak menjawab dan langsung menutup telepon.
Kilatan kejam terlihat di matanya.
Rani, ternyata kamu sangat beruntung!
Tapi aku nggak akan membiarkanmu berhasil.
Sambil berpikir, Mitha mengedit rekaman percakapan tadi dan mengirimkannya kepada orang tua Arman.
[Ayah Ibu, aku benar-benar nggak mengerti dengan Kak Rani. Hanya karena cemburu, dia nggak hanya kabur dari rumah, tapi juga menyuruh orang menculik bayiku.]
[Awalnya aku ingin membantu Kak Arman merahasiakan ini dari kalian, tapi sekarang bayi itu sudah hilang beberapa jam, dan aku benar-benar khawatir Kak Rani akan melakukan hal yang ekstrem.]
[Ayah Ibu, tolong jangan beri tahu Kak Arman aku yang melaporkan ini. Aku benar-benar melakukan ini demi Keluarga Pratama.]
[Kalau perbuatan Kak Rani ini sampai tersebar, orang lain pasti akan mentertawakan Keluarga Pratama.]
Saat menerima pesan dan video yang telah dipotong dari Mitha, orang tua Arman langsung marah besar dan segera berangkat malam itu juga.
Melihat putra sulung mereka yang kelelahan di kamar, dan menantu perempuan yang matanya hanya memandang sang putra, keduanya seketika memiliki ide di kepala mereka.