Bab 3
Setelah Olivia pergi, alis Marcello masih tetap berkerut.
Tak lama kemudian, pintu kantor CEO kembali diketuk.
Namun kali ini bukan Olivia, melainkan sahabat Marcello sejak kecil, Javier Saris.
Orangnya belum masuk, tapi suaranya sudah terdengar.
"Berengsek, aku nggak ngerti ada apa dengan ayahku. Dia memaksaku kencan buta! Marcello, menurutmu mereka semua sudah gila nggak, 'kan? Tiap hari mengoceh soal punya keturunan! Kalau ayahku sudah nggak kuat, aku masih kuat! Aku mau bersenang-senang dulu selagi muda, nggak mau berhenti di satu wanita saja!"
Dia menjatuhkan diri di sofa, mata sipitnya penuh keluhan karena dipaksa menikah.
Melihat Marcello sama sekali tidak menyahut, Javier jadi kesal.
Dia manyun, berdiri dan berjalan mendekat, "Hei, hidupmu yang paling enak! Di Keluarga Furan hanya keponakanmu yang dipaksa untuk punya keturunan, kamu nggak."
"Ada apa?"
Marcello tetap dingin, wajahnya datar.
Javier mendengus dan memutar bola matanya, "Dasar, bisa nggak jangan kerja terus? Selama bertahun-tahun ini, nggak ada seorang pun wanita di sisimu. Jujur saja, memangnya kamu nggak ingin? Atau ... kamu suka main dengan tanganmu sendiri? Kalau ada masalah percintaan, katakan saja. Aku bisa kasih solusi!"
Melihat Marcello mengambil berkas lainnya lagi, Javier merasa bosan. Dia melambaikan tangan, "Membosankan! Aku pergi dulu."
Dia berjalan pergi dan sudah sampai di depan pintu.
Tiba-tiba, Marcello memanggilnya.
"Aku punya seorang teman dan ada hal mau ditanyakan."
"Hah?" Begitu mendengar kalimat pembuka itu, mata Javier langsung berbinar. Dia segera berbalik dan mendekat, "Cepat ceritakan!"
Marcello berpikir sejenak, jakunnya bergerak saat dia bicara.
"Dia ... nggak sengaja tidur dengan seorang wanita. Sebelum tidur, si wanita kelihatan antusias. Tapi setelah tidur, saat si pria bilang mau tanggung jawab, wanita itu malah menolaknya."
Javier langsung menepuk tangan dan membuat kesimpulan tanpa perlu berpikir.
"Itu pasti karena pria itu payah di ranjang!"
"Bahkan bisa dibilang sangat parah, sampai sikap wanitanya bisa berubah total setelah tidur!"
Alis Marcello berkerut, tidak mengatakan apa-apa.
"Eh? Jangan-jangan orang itu kamu, Marcello?"
"Keluar."
"Cih, bercanda saja nggak boleh! Tentu saja aku tahu itu bukan kamu. Kamu ini tiap hari hidup seperti pertapa, jangan-jangan sampai sekarang masih perjaka?"
Kali ini Marcello bahkan malas buka mulut. Dia langsung mengangkat tangan dan menunjuk ke pintu kantor.
Javier sadar kalau bercandanya sudah kelewat batas, apalagi di depan temannya yang kaku setengah mati ini. Jadi dia mengerutkan leher dan buru-buru keluar.
Pintu tertutup kembali, kantor pun hening lagi.
Namun Marcello mendapati berkas di tangannya sama sekali tidak bisa masuk ke kepala!
Dia teringat kejadian semalam ....
Memang benar, Olivia sempat berkali-kali bilang sakit.
Bahkan sepertinya sempat menangis, suaranya terdengar ada nada tangisan.
Tapi saat itu dirinya baru pertama kali merasakan, jadi tidak berhenti.
Jangan-jangan, karena itulah sikap Olivia jadi berubah drastis?
Semakin dipikir, wajah Marcello makin kelam.
Masalahnya, dia tidak bisa menjelaskan langsung pada Olivia. Semalam itu juga pertama kali buatnya, tidak ada pengalaman, ditambah pengaruh alkohol, jadi tidak bisa mempertimbangkan perasaan Olivia!
Selain itu, hal ini tidak bisa dijelaskan, juga tidak bisa dibuktikan.
Dia tidak mungkin mengajaknya keluar lagi malam ini untuk membuktikan secara langsung, 'kan?
Marcello berdiri dengan gelisah, sepanjang hidupnya, dia baru pertama kali menghadapi situasi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
...
Olivia sama sekali tidak memikirkan soal itu.
Tekanan dari perjanjian dengan Keluarga Furan, membuat pikirannya hanya fokus pada satu hal.
Mendekati Marco, mencari kesempatan untuk menaklukkan Marco.
Setelah kembali ke kantor, dia menelepon dokter yang menangani Ornello.
"Pemberi donor sudah tanda tangan, kami mulai persiapan sebelum donasi! Tapi ...." Dokter tetap mengingatkan, "secara hukum, donor tidak bisa dipaksa. Jadi meski sudah setuju, tetap bisa berubah pikiran kapan saja."
"Anda tenang saja, mereka seharusnya nggak akan begitu."
Bagaimanapun juga, uangnya sangat banyak, jumlah yang tidak mungkin bisa didapatkan paman seumur hidup!
Setelah membicarakan kondisi adiknya, Olivia menutup telepon. Dia berencana menyelesaikan pekerjaan dulu, baru mencari cara mendekati Marco.
Mungkin memang langit sedang kasihan padanya, dari tumpukan berkas proyek yang baru masuk, Olivia justru menemukan proposal milik Marco!
Dia langsung bersemangat, membuka dokumen itu, lalu berusaha keras mencari beberapa bagian bermasalah dan buru-buru berlari ke departemen proyek.
"Permisi, Pak Marco ada?"
Dia mengetuk pintu dan seorang pria yang tampak seperti asisten menunjuk ke sebuah ruangan, "Ada, aku sampaikan pada Pak Marco dulu."
"Baik! Terima kasih!"
Olivia menunggu sekitar satu menit di depan kantor proyek, lalu dipersilakan masuk.
Marco tampak sedang membicarakan proyek lewat telepon, sambil memberi isyarat agar Olivia duduk dulu.
Olivia memberi tanda OK. Setelah duduk, dia tanpa sadar melihat sekeliling ruangan Marco.
Tempat ini terlihat jelas kalau milik seorang anak muda.
Di dinding tergantung lukisan warna-warni, ada papan selancar Canel edisi terbatas dengan tanda tangan entah siapa.
Di meja juga ada beberapa barang kerajinan yang harganya mahal.
Berbeda jauh dengan kantor Marcello yang penuh warna hitam, putih, dan abu.
Padahal usia mereka hanya selisih tiga tahun, kenapa perbedaan karakter terasa begitu besar!
"Maaf, departemen hukum membahas kontrak denganku." Marco tidak duduk di kursinya seperti seorang bos, malah melangkah ke sisi Olivia dan suaranya lembut, "Bu Olivia, ada keperluan mencariku?"
"Iya!" Olivia buru-buru mengeluarkan berkas proyek yang pernah diajukan Marco, lalu menunjuk bagian tertentu. "Pak Marco, mungkin karena baru pulang dari luar negeri, jadi perhitungan tingkat pengembalian investasi proyek dalam negeri masih agak meleset."
Begitu Marco mendengar itu berkaitan dengan urusan pekerjaan, senyumnya langsung hilang dan menjadi serius.
Olivia akhirnya punya kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dan perlahan menjelaskan tentang situasi pasar investasi di dalam negeri. Selain itu, cara menghitung tingkat pengembalian yang harus dikurangi nilai risiko, agar hasilnya lebih akurat.
"Selain itu, saat melakukan peninjauan perusahaan, harus pastikan hak paten atas nama pemilik badan hukum. Persyaratan soal hak paten di dalam negeri berbeda dengan luar negeri."
Marco mendengarkan sambil terus mengangguk. "Bu Olivia mengingatkan dengan tepat, aku memang belum mempertimbangkan hal itu."
Olivia segera mengeluarkan kode QR WhatsApp miliknya. "Kalau Pak Marco nggak keberatan, boleh kita tukar kontak? Kalau ada apa-apa, kamu bisa tanya aku kapan saja!"
Dia tahu ini agak terlalu mendadak, tapi waktunya sangat mendesak.
Namun, agar niatnya tidak terlihat terlalu jelas, Olivia pura-pura tersadar dan salah tingkah, lalu menarik kembali ponselnya.
"Ah! Maaf, aku nggak memikirkan hal lain. Aku hanya ingin membalas budi atas bantuanmu, jadi ingin membantu sebisa mungkin sehingga lupa soal batasan antar lawan jenis ...."
Detik berikutnya, Marco tersenyum tipis dan menyodorkan ponselnya ke telapak tangan Olivia.
"Kontak WhatsApp saja nggak cukup, masukkan nomor telepon juga."