Bab 4
Olivia benar-benar tidak menyangka semua berjalan semulus itu. Setelah kembali ke kantornya, dia masih memikirkan satu hal!
Kenapa pria sebaik dan sehangat Marco malah orang yang anti pernikahan?
Bahkan sikap tegasnya, sampai membuat keluarganya harus mencari cara lain untuk mewariskan keturunan.
Menurut Olivia, justru Marcello yang memiliki karakter dingin dan keras, yang lebih cocok jadi orang semacam itu!
Dia mendengus, lalu menunduk menyelesaikan sisa pekerjaan.
Pergi sendiri ke departemen proyek membuat banyak pekerjaan tertunda! Kalau sampai tidak bisa diselesaikan tepat waktu, Marcello pasti akan marah lagi.
Tiba-tiba nada dering telepon internal berbunyi. "Datang ke kantorku."
"Baik, Pak Marcello!"
Olivia segera merapikan berkas terakhir ke dalam map dan bernapas lega, lalu bergegas keluar.
"Aku sudah menolak dokumen tim proyek tiga karena kontrak pemindahan tanahnya belum bisa dipastikan sah. Minta pihak pendanaan segera urus sertifikat kepemilikan baru."
Melihat alis Marcello sempat berkerut, Olivia langsung menjelaskan kenapa kontrak proyek baru itu masih ada dokumen yang kurang.
Setelah setengah tahun bekerja di sisinya, Olivia sedikit banyak sudah paham dengan Marcello.
Usai mendengar penjelasannya, Marcello tidak berkata apa-apa dan itu sudah merupakan tanggapan terbaik!
Olivia merasa sisa pekerjaan seharusnya tidak ada masalah, jadi dia berdiri sambil melamun, memikirkan rencana langkah berikutnya.
Hingga suara berat terdengar lagi di telinganya.
"Kopi."
"Ah, baik! Aku buat sekarang."
Sekarang dia sudah benar-benar paham selera Marcello, bahkan dulu dia masih mau minum kopi jenis lain, tapi sekarang hanya mau minum kopi buatan Olivia.
Olivia berbalik meninggalkan kantor CEO, langsung menuju bar kecil Grup Furan.
Tempat ini disiapkan khusus oleh perusahaan, terbuka sepanjang hari di jam kerja, menyediakan berbagai minuman gratis seperti cola, kopi kaleng, dan minuman energi.
Bahkan staf kebersihan bisa minum di sini.
Melihat Olivia datang, penanggung jawab bar buru-buru membuka pintu kecil di samping dan berkata sambil tersenyum, "Pak Marcello selalu secangkir kopi tiap hari!"
"Iya, jadi CEO memang nggak mudah."
Dia masuk, di dalam sudah disiapkan mesin penggiling kopi manual khusus untuk Marcello.
Saat menunduk menyiapkan kopi, tiba-tiba terdengar suara familier dari luar.
"Kopi jenis apa yang lebih enak?"
Itu Marco!
Olivia langsung keluar, "Pak Marco, aku sedang membuat kopi giling manual, mau coba?"
"Hmm? Kebetulan sekali, Bu Olivia." Marco berkata sambil melangkah mendekat.
Saat tiba waktunya unjuk kemampuan, Olivia membuat kopi itu dengan penuh perhatian.
Marco minum seteguk, lalu mengangguk berulang kali, "Aromanya harum sekali, terima kasih Bu Olivia!"
"Hanya secangkir kopi saja, itu nggak seberapa! Kalau kamu suka, nanti kalau mau minum, tinggal hubungi aku saja."
Dia tersenyum, "Baik, kalau begitu aku nggak segan-segan."
"Nggak perlu! Aku malah senang."
Karena kejadian kecil itu, Olivia agak terlambat kembali ke kantor CEO.
Untungnya, fokus Marcello sepenuhnya tertuju pada pekerjaan, jadi tidak mempermasalahkannya.
Begitu Marcello selesai meninjau dokumen, artinya pekerjaan hari ini sudah selesai, Olivia pun diam-diam merasa lega.
Saat Marcello menutup berkas, Olivia sudah bersiap mengulurkan tangan untuk mengambilnya lalu kembali ke ruangannya dan pulang. Tapi Marcello tiba-tiba berkata.
"Ada acara setelah pulang kerja?"
"Nggak, apakah Anda harus lembur?" Dia tidak keberatan lembur karena Grup Furan memberi kompensasi lembur yang sangat tinggi.
Di mana pun dia bekerja, bukankah untuk menghasilkan uang?
Walau setelah misinya selesai, tetap saja dia butuh uang untuk hidup bersama adiknya setelah meninggalkan Kota Mitan.
"Bukan." Pada wajah tampan Marcello muncul sedikit rasa canggung yang jarang terlihat.
Bibir tipisnya terkatup, sebelum akhirnya berkata dengan nada dingin, "Kamu sebelumnya bilang, ada restoran Italika di Kota Mitan yang ingin kamu datangi."
Mendengar itu, Olivia langsung teringat.
Saat itu, dia ingin mendekatkan diri dengan Marcello, tahu kalau dia suka masakan Italika, jadi sengaja bilang ingin mentraktir Marcello makan, tapi langsung ditolak mentah-mentah.
Sekarang ....
"Pak Marcello, aku sudah pernah ke sana, rasanya kurang enak."
"..."
"Kalau Anda akan bertemu tamu penting, perlukah aku rekomendasikan beberapa tempat lain?"
Marcello mengerutkan kening, "Nggak perlu."
"Baik, kalau tidak ada urusan lain lagi, aku permisi dulu."
Olivia mundur beberapa langkah, lalu berbalik dan segera pergi.
Tidak seperti dulu, yang selalu mencari-cari alasan untuk bisa bertahan lebih lama di kantornya!
Marcello mengangkat tangan memijat pelipisnya.
Layar ponselnya yang tergeletak di samping menyala.
Itu pesan dari Javier.
[Soal teman yang kamu ceritakan itu, aku baru terpikir kemungkinan lain! Mungkin wanita itu sedang memakai taktik tarik ulur!]
Taktik tarik ulur?
Mata hitam Marcello melirik ke arah Olivia yang baru saja pergi.
Kedua kemungkinan itu, memang tidak bisa dikesampingkan ....
...
Setelah pulang kerja, hal pertama yang Olivia lakukan tentu saja pergi ke rumah sakit menjenguk adiknya.
Karena sudah lewat jam besuk, dia hanya bisa melihat melalui kaca dari luar.
Freya bekerja di rumah sakit itu, tahu dia datang, jadi sengaja meminta izin keluar untuk menghiburnya!
"Oliv, dua puluh miliar itu jumlah yang nggak bisa didapatkan banyak orang seumur hidup. Jadi hambatan dan rintangan di tengah jalan itu wajar saja. Lagi pula kita bisa dibilang cukup beruntung, uang muka diterima tepat waktu, jadi persiapan sebelum donor nggak tertunda!"
"Hmm." Olivia mengangguk.
Sekarang dia hanya bisa berpikir positif.
Kalau tidak, dia pasti sudah hancur ditekan kenyataan.
Saat menatap adiknya yang lemah di dalam ruang rawat, rasa sakit di dalam hati Olivia benar-benar tidak ada yang bisa merasakannya.
Dulu saat dia diterima kuliah, bahkan mendapat kesempatan studi ke luar negeri, orang tuanya bilang soal biaya tidak masalah, jadi dia tidak curiga, lalu mengambil jurusan keuangan di luar negeri.
Dia tidak menyangka, ternyata itu uang hasil kerja adiknya setelah mengundurkan diri dari sekolah!
Harus diketahui, prestasi Ornello waktu itu sangat bagus, bahkan sekolah berharap dia bisa masuk universitas papan atas.
Setelah berhenti sekolah, pihak sekolah, beberapa kali datang ke rumah untuk membujuk, tapi dia tetap tidak mau kembali.
Budi itu tidak bisa dibayar Olivia seumur hidup!
Melihat kondisi sahabatnya, Freya tahu pasti Olivia teringat lagi pada masa lalu.
Dia menghela napas dan memberikan selembar tisu, "Hapus air matamu. Jalan sesulit apa pun tetap harus kita lewati, 'kan?"
Baru saat ini Olivia menyadari kalau dirinya menangis.
Dia buru-buru menyeka pipinya dan tersenyum, "Tuhan nggak akan memberikan ujian di luar kemampuan kita. Aku sudah cukup beruntung karena bisa punya kesempatan mendapatkan dua puluh miliar yang merupakan angka yang sangat nggak masuk akal itu! Freya, aku baik-baik saja, kamu nggak perlu membujukku."
"Baguslah kalau kamu bisa berpikir seperti itu! Ada yang bisa aku bantu lagi?"
Awalnya Olivia mau bilang tidak ada, tapi tiba-tiba teringat sesuatu.
"Tolong ambilkan lagi beberapa paket obat maag khusus untuk Marcello. Walaupun dia bukan lagi targetku, tapi demi bisa terus bekerja di Grup Furan dan mendekati Marco, aku nggak boleh menyinggungnya."
Freya mengangguk, "Tapi ayahku pergi ke rumah bibiku, minggu depan baru kembali. Aku juga nggak tahu komposisi resep itu."
"Nggak apa-apa, minggu depan saja! Aku masih ada satu paket."