Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Sudah tiga tahun Bernard Ferdian dan Sania Gunadi menikah secara diam-diam, dan selama ini mereka selalu menjalankan kewajiban sebagai suami istri seperti itu. Hari ini adalah tanggal lima. Seperti biasa, Bernard meminta kepala pelayan untuk menjemput Sania ke Taman Nirmala. Sania selalu menyukai taman di rumah itu yang penuh dengan bunga lili putih. Aromanya menyebar ke seluruh penjuru, menghadirkan nuansa yang indah bak dalam mimpi. Namun, masa tiga tahun itu kini telah berakhir. Hari ini adalah hari terakhirnya di sana. Bukan hanya datang untuk memenuhi pertemuan terakhir ini, dia juga membawa surat cerai. Saat dia melangkah masuk ke dalam kamar, Bernard baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan bahu lebar dan pinggang ramping, postur tubuh atletis berbentuk V yang memancarkan kekuatan di setiap lekuknya. Sebuah handuk mandi tergantung longgar di pinggangnya, sementara butiran air menetes perlahan mengikuti alur otot tubuhnya yang ramping dan berisi. Otot perutnya tampak jelas, dengan garis V yang tajam, menghilang di balik handuk, menimbulkan bayangan yang menggoda. Wajah tampannya bagaikan mahakarya yang diciptakan dengan penuh ketekunan oleh Sang Pencipta. Saat ini, bibir tipis Bernard terkatup rapat, sedikit memerah karena baru selesai mandi, namun sama sekali tidak terlihat lembut, justru memancarkan aura dingin yang membuat orang enggan mendekat. Dia langsung mengangkat Sania dan berjalan menuju tepi tempat tidur. Sania menjerit kaget, dan secara refleks melingkarkan kedua tangannya ke leher pria itu. Bernard tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunduk dan mencium bibir Sania, lalu mengulurkan tangan untuk membuka gaun yang dikenakannya. Sania memeluk lehernya. Aroma tembakau yang familier dari tubuh pria itu bercampur dengan sedikit bau alkohol, membuatnya merasa sedikit pusing. Hari ini, Bernard tampak agak terburu-buru seperti biasanya. Mungkin karena mereka sudah lama tidak bertemu. Dia mencium Sania dengan sangat intens, seolah ingin menelannya bulat-bulat. Suasana di dalam kamar terasa makin panas. Udara dipenuhi dengan suasana yang penuh gairah. Tanggal 5 dan 25 setiap bulan adalah hari yang disepakati oleh Bernard dan Sania untuk berhubungan intim. Setiap kali tiba harinya, kepala pelayan akan menjemput Sania ke Taman Nirmala, meskipun mereka tidak tinggal bersama. Sania teringat pada surat cerai di dalam tasnya. Mungkin inilah takdir dari pernikahannya. Seluruh hidupnya hanya dipinjamkan pada pria itu selama tiga tahun. Tengah malam, Sania terbangun karena lapar. Pria yang tadi bersamanya sudah lama menghilang, bahkan hangat tubuhnya pun tak lagi tersisa di atas ranjang. Seluruh tubuh Sania terasa pegal, dan dengan susah payah dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan jubah luar, lalu turun ke bawah. Di lantai bawah, kepala pelayan menyambutnya. "Bu Sania, Anda sudah bangun. Pasti Anda lapar. Sebelum pergi, Pak Bernard sempat berpesan kepada para pelayan agar menyiapkan bubur ayam untuk Anda." "Baik, terima kasih." Sania duduk dan mulai memakan bubur ayam itu perlahan-lahan. Dia meraih ponselnya dan dengan santai membukanya, lalu tiba-tiba muncul beberapa trending topic. #Pak Bernard gelar pesta ulang tahun mewah bernilai puluhan miliar untuk putri Keluarga Janata #Kabar Bahagia: Bernard Ferdian dan Karina Janata bertunangan di Negara Forida Pupil mata Sania mengecil. Jelas, dia terkejut dengan berita itu. Tiba-tiba, rasa pusing menyerangnya. Karina Janata! Jadi, wanita yang selalu ada di hati Bernard adalah Karina. Taman Nirmala yang indah ini ... seperti menyayat perasaannya perlahan-lahan setiap saat. Matanya mulai memerah, dan dia menatap wajah tampan tiada duanya di dalam foto itu. Pria itu adalah suaminya, Bernard. Bernard memeluk wanita cantik itu, tersenyum dengan begitu cerah. Dulu, Sania pernah mengira bahwa Bernard terlahir dingin dan tak pernah bisa tersenyum. Ternyata, pria itu hanya tidak suka tersenyum padanya saja. Di leher Karina tergantung sebuah kalung carnelian merah menyala berbentuk bunga lili, yang menusuk mata Sania begitu dalam. Sania meletakkan sendok, lalu naik ke atas untuk berganti pakaian. Melihat ranjang yang kosong, tatapan matanya semakin membeku dalam kehampaan. Pria ini benar-benar tak kehabisan tenaga. Sore tadi masih bergumul dengannya di ranjang, malamnya sudah terbang ke Negara Forida untuk merayakan ulang tahun wanita kesayangannya. Sepuluh menit kemudian, Sania turun dan meminta kepala pelayan mengantarnya pulang. Dia tak akan kembali ke tempat ini lagi. Sesampainya di rumah, dia mengeluarkan surat cerai dari dalam tas dan membukanya, lalu membacanya sekilas. Surat itu sudah dia siapkan sejak sebulan yang lalu dan selalu disimpan di dalam tasnya. Awalnya, hari ini dia berniat memberikannya pada Bernard. Tak disangka, pria itu malah pergi begitu saja. Keesokan siang, dia terbangun karena dering telepon yang berisik. Sahabatnya, Windi Santosa, meneleponnya lebih dari 20 kali berturut-turut. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Dia segera menelepon balik. [Sania, akhirnya kamu menelepon balik! Aku kira kamu melakukan hal nekat. Aku benar-benar ketakutan.] Nada mengeluh dari seberang justru membuat Sania hanya bisa menepuk keningnya dengan sedikit rasa tak berdaya. "Tenang saja, aku mencintai hidupku dan sangat sayang nyawa." Setelah tidur, perasaannya jadi agak lebih lega. [Tunggu aku, aku akan segera terbang pulang untuk menemuimu.] Windi berkata dengan nada tak sabar. "Oke, aku tunggu!" Setelah menutup telepon, hati Sania terasa hampa. Dia menatap langit-langit, pikirannya dipenuhi kenangan tentang momen-momen kecil yang telah dilewatinya bersama Bernard selama bertahun-tahun. Saat di SMP, Bernard lompat kelas, dan Sania pun ikut lompat kelas bersamanya. Saat Bernard pergi ke luar negeri, Sania pun ikut pergi ke luar negeri bersamanya. Bernard memilih jurusan kedokteran, dan tanpa ragu, Sania pun ikut memilih jurusan yang sama. Bahkan, saat Bernard jatuh ke laut, Sania pun ikut melompat. Tapi tetap saja, Bernard sama sekali tak mengingat dirinya. Tiga tahun lalu, Bernard mengalami kecelakaan mobil dan menjadi buta. Kabarnya, cinta pertamanya pergi ke luar negeri. Kemudian, Sania muncul. Saat itu, neneknya Sania, Rima Laksono, yang sedang sekarat, menggunakan koneksinya untuk menikahkannya ke dalam Keluarga Ferdian. Awalnya, Bernard sangat membencinya, tapi kemudian, karena rencana kakeknya, Surya, mereka akhirnya menjadi suami istri yang sebenarnya Setelah itu, yang terjadi hanyalah desakan tanpa henti untuk segera memiliki keturunan. Karena itulah, Bernard akhirnya menyetujui untuk melakukan hubungan suami istri dengan Sania dua kali sebulan. Sania ingat, di tahun kedua pernikahan mereka, barulah mata Bernard pulih. Saat menatapnya, seluruh tubuh Bernard memancarkan hawa dingin, dan wajahnya penuh dengan kebencian. Namun, Sania percaya, dengan ketulusannya, dia bisa mencairkan dinginnya hati pria itu. Ternyata, sumber api itu bukanlah dirinya. Dering telepon yang kembali terdengar membuyarkan lamunannya dan menariknya kembali ke dunia nyata. Sania menekan tombol jawab, dan dari seberang sana hanya terdengar dua kalimat sebelum telepon langsung ditutup. Orang yang menelepon adalah ibunya Bernard, Bu Nurma, yang memintanya segera kembali ke rumah utama. Sania merasakan firasat buruk. Namun belum sempat memikirkannya lebih jauh, dia pun segera bangkit dari tempat tidur. Pukul empat sore, Sania sudah kembali ke rumah utama Keluarga Ferdian. Keluarga Ferdian adalah keluarga terpandang nomor satu di Kota Nayaka. Mereka memiliki kekayaan dan pengaruh yang sangat besar. Surya memiliki dua putra dan dua putri. Bernard adalah cucu tertua dari istri pertama, jadi wajar saja dia mendapat perhatian lebih. Saat Sania melangkah masuk ke ruang utama, Bu Nurma langsung berdiri. Dia melirik tajam ke arah Sania dan berkata dengan nada penuh amarah, "Kamu yang mengadu ke Ayah, 'kan? Nggak nyangka, biasanya kamu pendiam, tapi kali ini kamu main licik ya?" Sania menatap ibu mertuanya yang penuh dengan tuduhan, lalu membuka bibirnya perlahan dan berkata, "Bu, aku nggak tahu apa yang Ibu maksud." Bernard ada di ruang kerja, sedang dihukum. Dengan satu tatapan, sang mertua memberi isyarat, dan kepala pelayan pun langsung membawa Sania naik ke atas. Saat hampir tiba di depan ruang kerja, suara pertengkaran sudah menggelegar dari dalam. "Dasar kamu anak durhaka, masih berani membantah? Kamu mau bikin aku mati karena marah!" Surya mengunci pintu dan mulai memarahi cucunya. Amarahnya begitu besar hingga hampir membuatnya muntah darah. "Kakek, apa pun yang dipaksakan, hasilnya nggak akan baik. Bukankah dulu Kakek sudah berjanji, kalau dalam tiga tahun Sania belum hamil, aku boleh menceraikannya dan menikah lagi?" "Dasar bocah kurang ajar! Masih berani bicara soal cerai? Kalian masih suami istri! Aku nggak izinkan kamu terus-terusan terseret gosip dengan si Karina entah siapa itu. Segera keluarkan pernyataan klarifikasi ke media!" "Aku nggak bisa mengendalikan apa yang beredar di internet, Kakek. Kenapa harus ambil pusing soal itu?" "Aku akan membunuhmu." Suara benturan benda-benda terdengar dari dalam ruangan. Sania menenangkan diri sejenak, lalu mengangkat tangan dan mengetuk pintu. Pintu terbuka, dan saat Surya melihat Sania, ekspresinya jelas sedikit terkejut. "Sania, kamu datang!" "Kakek, jangan sampai Kakek jatuh sakit karena marah." Sania mengulurkan tangan untuk membantunya kembali ke dalam ruangan, sambil memberikan senyuman lembut. "Untuk apa kamu masih berdiri diam di situ? Cepat minta maaf pada Sania!" Surya membentak Bernard dengan tegas. Bernard menekan bibir tipisnya rapat-rapat, ekspresinya penuh dengan sikap acuh dan penghinaan.. Dia sengaja menunggu hingga batas tiga tahun ini untuk menyebarkan kabar itu, dan yakin bahwa Sania akan tahu diri. "Kakek, aku ingin bicara berdua saja dengan Bernard." Setelah Sania berkata demikian, Surya pun dengan bijak meninggalkan ruangan. Sania menatapnya sejenak. "Bernard, ayo kita bercerai. Aku akan melepaskanmu!" Bernard tampak sedikit terkejut, dan menatapnya seolah sedang melihat makhluk aneh. Dia sempat mengira wanita itu akan kembali sambil marah-marah, atau setidaknya meminta dukungan dari Kakek. Tak disangka, dia justru mengucapkan kata "cerai" dengan begitu mudah. Sania benar-benar mau melepaskan status sebagai istrinya begitu saja? Sania menambahkan, "Kita bisa urus berkas-berkasnya dulu. Nanti, kalau sudah waktunya, kamu tinggal beri tahu Kakek." Bernard terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya membuka mulut, "Apa kompensasi yang kamu inginkan?" *Nggak perlu. Biar semuanya berakhir dengan baik," kata Sania dengan ringan, tanpa sedikit pun keraguan. Dia mengeluarkan surat perjanjian cerai yang sudah dia siapkan dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas meja. Bernard mencibir, menatapnya tajam dengan tatapan dingin. "Kalau kamu tahu diri, tentu aku nggak akan membuatmu rugi. Besok pagi, datang ke kantor untuk tanda tangan. Aku akan suruh bagian hukum menyiapkan surat cerainya." Dengan kata lain, Bernard ingin bilang bahwa urusan isi surat cerai, bukan urusan Sania untuk menentukan. "Baik, aku akan datang!" Sania menatapnya tanpa ekspresi, lalu berbalik dan keluar dari ruang kerja. Bagi dia, berpisah secara baik-baik adalah cara paling bermartabat yang bisa dia berikan untuk pernikahan ini. Sania tinggal di rumah Keluarga Ferdian untuk makan malam. Saat hendak pergi, dia memeluk Kakek Surya lebih dulu, lalu bersiap mengemudi pergi. Saat itu, hujan tiba-tiba turun, rintiknya terdengar seperti suara tangisan yang pilu. Baru melangkah beberapa langkah, tiba-tiba perut Sania terasa nyeri, dan aliran darah hangat mengalir turun di kakinya.
Bab Sebelumnya
1/298Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.