Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Dalam hati, Sania terkejut. Kenapa tiba-tiba datang bulan? Dia buru-buru masuk ke mobil dan mulai menyetir. Saat mobil mencapai setengah perjalanan di lereng bukit, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Tidak bisa. Ini terlalu sakit! Dia segera menghentikan mobil, lalu mengambil ponselnya dan menelepon Windi. "Windi ... kamu ... sudah pulang belum? Bisa jemput aku sebentar?" [Sania, kamu di mana? Kamu kenapa?] "Aku di jalan pegunungan dekat kediaman Keluarga Ferdian ... " Suara sirene ambulans tiba-tiba memecah kesunyian malam. Untung saja Windi sempat memanggilkan ambulans. Saat Sania tiba di rumah sakit, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setelah serangkaian pemeriksaan, ternyata Sania mengalami keguguran. Dia sudah hamil enam minggu. Sania terbaring di ranjang rumah sakit, setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Dia merasa kasihan pada bayi kecilnya yang bahkan belum sempat dia temui. Kemarahan Windi memuncak, dan dengan penuh emosi, dia melontarkan kata-kata kasar, "Dasar laki-laki brengsek! Dia nggak tahu kamu hamil, ya? Masih sempat-sempatnya dia menyuruh orang menjemput kamu ke Taman Nirmala, lalu menyiksa kamu sampai segitunya!" Siklus haid Sania memang selalu tidak teratur, jadi dia sendiri pun tidak tahu bagaimana bisa tiba-tiba hamil. Anak ini seharusnya dia kandung sejak bulan lalu. Bulan lalu, dia tidak dipanggil ke Taman Nirmala, tapi justru pergi ke Negara Andalas. Saat itu, Bernard sedang dinas ke Negara Andalas, dan dia membawa Sania ke sana. Sania menemaninya selama tiga hari penuh di Negara Andalas, baru kemudian pulang. Saat itu, Bernard bahkan memperingatkannya bahwa "jatah bulan ini" sudah dipakai bulan lalu. Tak disangka, bulan ini dia tetap menyuruh orang menjemput Sania seperti biasa. Tepat saat itu, seorang dokter perempuan mengetuk pintu dan masuk sambil membawa sebuah laporan di tangannya. "Kamu benar-benar terlalu ceroboh. Sudah tahu sedang hamil, kenapa masih minum pil kontrasepsi? Sebenarnya, anak ini masih bisa diselamatkan." Pil kontrasepsi? Begitu mendengarnya, Sania dan Windi seketika membeku. Wajah mereka tampak terkejut dan tidak percaya Sania dan Bernard tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi apa pun, bagaimana mungkin ada pil kontrasepsi di dalam tubuhnya? Windi langsung meledak karena marah. "Dasar pria brengsek! Demi perempuan murahan bernama Karina itu, tega-teganya dia diam-diam memberimu pil kontrasepsi. Kalau memang nggak mau anak, kenapa nggak bilang terus terang saja? Kenapa harus menyakitimu seperti ini?" Saat ini, hati Sania terasa sangat sakit. Apakah benar Bernard melakukan itu? Setiap kali selesai, Bernard selalu menyuruh para pelayan menyiapkan bubur ayam atau sup ayam untuknya. Apakah mungkin obatnya dicampurkan ke dalam bubur itu? Dan bulan lalu, saat mereka berada di Negara Andalas, Bernard tidak punya kesempatan untuk mencampurkan obat itu. Apakah itu alasan kenapa bulan ini Bernard kembali "memanggilnya"? Lalu memanfaatkan kesempatan untuk mencampurkan obat? Dalam sekejap, Sania merasa seluruh tenaganya hilang, seakan disedot habis dari tubuhnya. "Kamu tunggu saja, aku akan langsung ke rumah Keluarga Ferdian sekarang juga biar mereka mempertanggungjawabkan kematian anak itu." Windi begitu marah hingga seluruh tubuhnya bergetar, lalu mengambil ponsel dan bersiap untuk pergi. "Windi." Sania berkata dengan lemah, suaranya sangat serak, "Jangan pergi!" "Sania!" Windi tiba-tiba berbalik, melihatnya dengan tidak percaya, "Dia telah membunuh anakmu! Apa kamu akan membiarkannya begitu saja?" Sania perlahan menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu saat membukanya kembali, yang tersisa di matanya hanyalah kebencian yang dingin dan tekad yang bulat. "Aku dan dia sudah memutuskan untuk bercerai. Aku nggak mau ada hubungan apa pun lagi dengannya." Dia terdiam sejenak, lalu menatap Windi dan berkata dengan tegas. "Tapi, aku tetap akan menyelidiki bagaimana anak ini bisa gugur. Siapa pun yang melakukan kejahatan ini, aku nggak akan membiarkan satu pun lolos!" Tatapan matanya terlalu dingin, terlalu tajam, sampai-sampai membuat Windi merinding. Inilah Sania yang dia kenal. Tampak lembut di luar, tapi jauh lebih kuat dari siapa pun di dalam. Windi meletakkan ponselnya, lalu menggenggam erat tangan Sania yang dingin seperti es. "Tenang saja, kita akan balas dendam bersama. Siapa pun pelakunya, aku pasti akan membuatnya membayar mahal!" ... Tengah malam, Sania terbangun karena suara petir, dan sulit untuk kembali tidur. Dia menatap lampu tidur yang redup dengan mata terbuka, pikirannya melayang jauh. Dia teringat kejadian saat usianya 12 tahun ... Sudah 12 tahun dia mengikuti pria itu dan menempuh segala kesulitan demi bisa berada di sisinya. Segala yang bisa dia berikan pada Bernard, sudah dia berikan. Sania hanya tidak sengaja mengandung anaknya, sungguh ... benar-benar tidak sengaja. Tanpa sadar, air matanya mengalir deras. Takdir seolah-olah telah menarik pergi tameng terakhir yang melindunginya, membuat ketegaran yang dia pertahankan di siang hari runtuh seketika. Itu adalah satu-satunya harapan yang tersisa dari tiga tahun pernikahannya dengan Bernard. Tapi anak itu ... sudah tiada! Sudah tiada! Sania menutup wajah dengan kedua tangan, lalu menangis tersedu-sedu. Malam begitu pekat seperti tinta. Di luar jendela, hujan deras mengguyur lebat, tetesannya menghantam kaca dengan suara riuh, seolah memainkan simfoni yang kacau dan liar. Bernard tiba-tiba terbangun dari tidurnya, duduk tegak di ranjang sambil terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Mimpi itu lagi. Air sedingin es membungkus seluruh tubuhnya, dan tak peduli seberapa keras dia berjuang, dia tetap tak bisa bernapas. Dia hanya bisa menyaksikan dirinya tenggelam semakin dalam, jatuh ke dalam kegelapan tanpa ujung. Rasa sesak itu begitu nyata, membuatnya masih diliputi ketakutan. Dengan gelisah, dia mengacak-acak rambutnya, lalu bangkit dan berjalan ke arah jendela besar, memandangi kota yang diselimuti tirai hujan. Hujan malam yang deras sekali pun tak mampu membersihkan kabut kelam yang menggantung di hatinya. Dia beranjak ke rak minuman, menuangkan segelas besar wiski untuk dirinya sendiri, lalu menenggaknya dalam sekali teguk. Cairan alkohol yang menyengat membakar tenggorokannya, namun tetap tak mampu mematikan rasa panik dan gelisah yang tak beralasan itu. Dia merasa seolah ada sesuatu yang telah terjadi dan mengacaukan pikirannya ... Membuat dadanya terasa nyeri ... seakan kehilangan pegangan. Keesokan paginya, Sania didorong masuk ke ruang operasi oleh perawat. Peralatan logam yang dingin, cahaya lampu yang menyilaukan, dan bau menyengat cairan disinfektan yang tak kunjung hilang mengelilinginya. Dokter menatap hasil pemeriksaannya dengan alis yang berkerut rapat. "Masih ada sisa jaringan dalam rahimmu. Kita harus melakukan kuretase. Kamu pasti tahu, kamu punya kelainan genetik, dan alergi terhadap sebagian besar obat bius. Jadi ... untuk operasi kali ini, kita nggak bisa menggunakan anestesi." Ini berarti, Sania harus menanggung rasa sakit yang hampir seperti dicabik-cabik, dalam keadaan yang sepenuhnya sadar. Sania mengangguk sedikit, tubuhnya bergetar ringan karena ketakutan dan kedinginan. Dia menggigit kuat bibirnya, jemarinya mengepal erat hingga kuku-kukunya menusuk dalam ke telapak tangan. Saat alat medis yang dingin menyentuh tubuhnya, rasa sakit yang tajam, seperti disayat dan dikoyak, langsung menyerangnya tanpa ampun. "Ugh ... " Suara erangan tertahan lolos dari mulutnya, sementara keringat dingin segera membasahi dahinya. Sakit. Sakit sekali! Rasanya seperti seluruh organ dalam tubuhnya diaduk dan dihancurkan tanpa ampun. Air mata mengalir deras tanpa bisa dikendalikan, bercampur dengan keringat, membuat pandangannya menjadi kabur. Sania menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga, hingga bibirnya pecah dan berdarah. Rasa anyir besi pun menyebar di mulutnya. Dia harus mengingat rasa sakit ini. Mengingat siapa yang membuatnya harus menanggung semua ini. Mengingat perih yang menusuk hati saat kehilangan anaknya. Dia tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang telah mencelakai anaknya! Rasa sakit itu datang seperti gelombang pasang, menghantam sarafnya satu demi satu. Dia merasa dirinya seperti perahu kecil di tengah badai besar, yang bisa hancur kapan saja. Tak lama kemudian, dia pun pingsan. Di saat yang sama, di kantor presiden direktur Grup Ferdian. Bernard menatap layar ponselnya, keningnya semakin berkerut. Sudah pukul sepuluh pagi, namun ponsel Sania masih juga tidak bisa dihubungi. Mati? Apa perempuan itu ... sengaja menghilang tanpa jejak? Bukankah mereka sudah sepakat untuk bertemu hari ini dan menandatangani surat cerai? Apa Sania berniat membatalkan sepihak dan meninggalkannya begitu saja? Amarah tanpa sebab langsung membakar dadanya. Dengan kesal, Bernard melemparkan ponselnya ke atas meja. Entah kenapa, sejak pagi tadi, hatinya terus gelisah seolah sesuatu yang buruk akan terjadi. Apakah ini tentang Sania? Apa yang mungkin bisa terjadi padanya? Paling-paling dia hanya ingin menggunakan trik murahan lagi untuk menarik simpatinya, atau sekadar mencari alasan untuk menunda perceraian. Bernard justru ingin tahu, sandiwara apa lagi yang bisa dimainkan wanita itu kali ini.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.