Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Dia mengenakan setelan jas hitam yang dibuat khusus dengan potongannya yang sangat rapi. Setiap inci kain memancarkan kemewahan yang tenang dan elegan, membingkai tubuhnya yang bidang dan ramping dengan sempurna. Cahaya lampu memantulkan bayangan lembut di wajahnya yang tegas, tampan, tapi juga sedingin es. Hidungnya mancung, bibir tipis terkatup rapat, dan garis rahangnya tajam seolah terukir pisau. Tapi yang paling mencolok adalah sepasang matanya yang dalam dan tajam seperti danau beku, tanpa sedikit pun kehangatan. Hanya dengan satu lirikan acuh tak acuh, dia sudah memancarkan tekanan seolah mampu menentukan hidup dan mati. Aura kekuasaan yang dingin dan jauh terpancar dari pria yang telah lama terbiasa berada di puncak kekuasaan ini. Jika orang biasa bertatapan dengan mata seperti itu, mungkin mereka sudah gemetar ketakutan, bahkan sulit berkata-kata. Namun saat ini, sepasang mata yang cukup dingin untuk membekukan segalanya itu, justru melembut dalam sekejap ketika melihat Sania. Seolah es yang membeku tiba-tiba mencair, menyisakan satu perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata seperti ... kelembutan. Ya, benar. Kelembutan! Menggunakan kata itu untuk pria ini rasanya benar-benar mustahil, seperti dongeng yang tak masuk akal. Tapi semua itu nyata, terjadi tepat di depan matanya. Sania terpaku di tempat, tubuhnya kaku, pikirannya kosong tak bisa memproses apa pun. Riko? Kenapa dia bisa ada di sini? Belum sempat dia pulih dari keterkejutannya yang luar biasa, Riko sudah bergerak. Dia melangkah maju, mengulurkan lengannya yang panjang, lalu tanpa memberi kesempatan untuk menolak, menarik Sania erat-erat ke dalam pelukannya. Suara keras dari pintu yang tertutup rapat memisahkan mereka dari dunia luar. Pelukannya luas dan kuat, membawa kehangatan yang menenangkan, dan aroma samar kayu pinus langsung membungkus seluruh tubuh Sania. Tenaga pria itu juga sangat kuat, sampai tulang Sania terasa sedikit sakit, tapi anehnya justru memberinya rasa aman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Sebuah tangan besar dengan jari-jari yang tegas perlahan membelai rambut halus Sania, dari puncak kepala hingga ujung, gerakannya begitu lembut, hampir tak bisa dipercaya. Riko tidak mengatakan apa-apa. Namun, Sania merasakan ada ribuan kata yang tak terucap dalam pelukan yang sunyi itu. Rindu yang terpendam, penantian yang tak diketahui orang lain, dan kekhawatiran yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sudah tiga tahun berlalu. Tiga tahun penuh tanpa bertemu. "Sania, aku sudah kembali." Suara seraknya yang dalam terdengar di atas kepala Sania, sedikit berat dan hampir tak terasa. "Tiga tahun itu sangat lama." Bagi Riko, tiga tahun itu terasa seperti satu abad. Dia menunggu hingga pernikahan kontrak yang konyol itu benar-benar selesai, baru berani mendekat dengan perlahan. "Nanti, nggak akan ada orang lain yang berani menyakitimu lagi." Suaranya tegas dan penuh janji yang tak bisa dibantah. Hidung Sania tiba-tiba terasa perih, dan air matanya langsung membasahi pipi. Sania melepaskan diri dari pelukan Riko, bukan karena menolak, tapi hanya butuh sedikit ruang untuk bernapas. Dengan kepala tertunduk, dia berbalik dan berjalan menuju dapur. "Kamu ... mau minum apa?" "Sama seperti biasa." Suara Riko mengikuti langkahnya. Sania dengan terampil mengambil biji kopi, menggilingnya, dan menyeduhnya. Setiap gerakan itu sudah tertanam dalam dirinya seperti kebiasaan yang melekat di tulang. Kopi ini juga merupakan kopi favorit Bernard. Sayangnya, pria itu tidak pernah meminum kopi yang diseduh olehnya. Tak lama kemudian, secangkir kopi seduh tangan yang harum disodorkan di hadapan Riko. Rio menerimanya dengan santai karena suhu cangkir keramik itu sangat pas. Dia menunduk dan menyeruputnya perlahan. Rasanya pahit namun lembut, disertai sentuhan manis yang halus di ujung lidah. Itulah biji kopi yang biasa Sania gunakan, diseduh dengan cara khas yang hanya dia kuasai, menciptakan rasa yang sudah tertanam kuat dalam ingatan Riko. "Kenapa ... kenapa kamu tiba-tiba kembali?" tanya Sania sambil mengangkat kepala, suaranya masih terdengar rapuh dan berhati-hati. Riko meletakkan cangkir kopi di meja. Suara dentingan jelas terdengar saat cangkir menyentuh permukaan meja. Dia menatap Sania dengan senyum tipis tersungging di bibirnya, terselip sedikit candaan dan sikap percaya diri yang menunjukkan tekad kuat. "Kenapa? Apa setelah tiga tahun, kamu benar-benar melupakan taruhan kita?" Taruhan? Jantung Sania berdebar kencang, dan potongan-potongan kenangan yang selama ini sengaja dia kubur mulai muncul kembali. "Tentu saja aku kembali untuk menjemputmu," kata Riko sambil sedikit maju, menatap tajam ke mata Sania, memancarkan aura kuat yang langsung menguasainya. "Aku menunggumu untuk kembali ke panggung dunia." Kembali ke panggung dunia ... Empat kata itu seperti petir yang menggelegar di dalam pikiran Sania. "Lalu ... " Riko berhenti sejenak, suaranya berat dan memikat, setiap kata seolah menghantam langsung ke dalam hati Sania yang terdalam. "Bersama denganku, kita akan berdiri lagi di puncak dunia ini." Sania benar-benar tertegun. Jantungnya seolah dicengkeram erat oleh sesuatu, terasa perih dan penuh sesak. Secara naluriah, dia mencoba menyunggingkan senyum dan ingin mengucapkan sesuatu yang jenaka untuk menyembunyikan gelombang emosi yang sedang bergolak di dalam dirinya. Misalnya, "Kakak, kelakuan berlebihanmu ini masih belum hilang, ya?" Atau, "Angin di puncak dunia terlalu kencang, aku takut kedinginan." Namun dia gagal. Meski sudut bibirnya mulai bergerak membentuk senyuman, air mata justru lebih dulu mengalir tanpa bisa dikendalikan. Tetesan air mata yang besar-besar itu jatuh dan membakar punggung tangannya. Terasa hangat. Riko adalah kakak seniornya. Dulu, saat Sania menempuh studi doktoral sendiri di luar negeri, dan tanpa seorang pun kerabat di sekitarnya, Riko-lah yang selalu merawat dan melindunginya dari segala kesulitan seperti seorang kakak sejati. Dia juga menjadi rekan kerja terbaik bagi Sania. Mereka bekerja bersama tanpa henti di laboratorium, hingga akhirnya Sania berhasil menemukan "formula" yang bisa mengubah dunia. Namun justru pada saat itulah, Sania memilih untuk mengundurkan diri dari dunia yang dia cintai. Dia menikah dengan seorang pria yang baru beberapa kali ditemuinya, dan rela menelan harga dirinya demi menyetujui pernikahan selama tiga tahun. Tak ada seorang pun yang benar-benar memahami dirinya. Semua orang menganggapnya sudah kehilangan akal. Termasuk Riko. Saat itu, Riko begitu marah hingga hampir membalik meja. Tapi pada akhirnya, dia hanya menatap Sania dalam-dalam, meninggalkan janji taruhan selama tiga tahun, lalu pergi menuju negeri seberang untuk membuka jalan baru dan merintis masa depan. Sementara Sania sendiri, menghilang sepenuhnya dari pandangan dunia. Selama tiga tahun ini, hidupnya tenang, tapi juga penuh tekanan. Seperti seekor burung yang sayapnya patah, terkurung dalam sangkar emas. Kini, pintu sangkar itu akhirnya terbuka. Dan pria yang dulu terbang bersamanya, kini telah kembali. Pria itu datang dengan sikap kuat yang tak memberi ruang untuk penolakan, ingin membawanya kembali terbang menembus langit. Hanya Sania yang tahu ada hal-hal yang harus diselesaikan. Riko tak berani menyeka air mata Sania, takut dirinya tak mampu menahan emosi. Dia hanya berkata ringan, "Air mata Dewi Nia terlalu berharga, jangan disia-siakan. Sana ganti baju, aku mau ajak kamu makan. Lihat dirimu, sudah kurus seperti itu." Sania mengangguk pelan dan masuk ke kamar utama. Lima belas menit kemudian, Riko turun bersama Sania. Di luar, sebuah iring-iringan mobil mewah sudah terparkir. Riko membuka pintu mobil dan naik bersamanya. Riko menyukai aroma lembut yang selalu tercium dari Sania. Memiliki wanita ini di sisinya serasa seperti memiliki seluruh dunia. Setengah jam kemudian, mereka tiba di klub elite Celestia. Pintu mobil terbuka, menampakkan wajah tampan dengan senyum cerah. "Kakak." Saat Sania turun dari mobil, adik-adik juniornya menyapa dengan hormat sambil berkata, "Selamat datang kembali, Kak Sania." Sania menatap mereka dengan penuh kejutan dan kegembiraan. Mereka adalah wajah-wajah yang begitu familier, dan para rekan seperjuangan yang pernah menemaninya melewati banyak hal. "Kalian semua sudah kembali?" Juna melangkah maju dan menggandeng lengan Sania dengan penuh keakraban. "Kak Sania, kami kangen sekali padamu. Untung saja kakak senior bermurah hati mengizinkan kami kembali. Sekalian bisa menemanimu, kita juga bisa mengurus Forum Medis Internasional kita." Naya pun ikut maju dan merangkul lengan Sania sambil tersenyum manis. "Benar sekali! Dengan Kak Sania di sini, kami nggak perlu kerja keras seperti kuda setiap hari. Kak Riko itu galak sekali ke kami!" "Anak kecil ini sudah makin dewasa dan anggun. Bukan si cengeng kecil yang dulu lagi." Sania mencubit pipi mungilnya yang manis. Tiba-tiba, tatapan tajam Riko menyapu ke arah mereka. Juna buru-buru melepaskan tangannya, merinding seketika. Menyeramkan sekali! Riko membuka bibir tipisnya dan berkata pelan, "Masuklah."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.