Bab 7
Rombongan itu berjalan memasuki klub eksklusif.
"Klub Celestia" terletak di sudut tenang dari kawasan paling ramai di kota, namun tempat itu seolah berada di dunia yang sama sekali berbeda.
Di tempat ini, tak ada dinginnya beton dan baja, hanya jembatan kecil, aliran air yang tenang, paviliun, dan bangunan bergaya klasik. Setiap langkah menampilkan pemandangan indah yang dirancang dengan penuh ketelitian, menghadirkan pesona taman zaman dulu.
Siapa pun yang bisa melangkah masuk ke sini, pastilah tokoh penting, baik di Kota Handara maupun di tingkat nasional.
Malam ini, tempat itu semakin berkilau bak dipenuhi bintang.
Diiringi oleh rombongan yang mengelilinginya, Sania melintasi lorong-lorong berliku menuju ruang VIP "Seroja" yang telah dipesan.
Dia mengenakan gaun putih yang sederhana namun tetap memiliki desain yang menarik, dengan aura dingin yang bertentangan dengan keramaian di sekitarnya, namun justru menarik perhatian semua orang.
Riko berjalan di sampingnya, sedikit tertinggal setengah langkah di belakang. Sikapnya akrab namun tetap menjaga batas, dengan senyum hangat yang terpancar dari sorot matanya.
Tak jauh dari sana, dalam bayang-bayang ruangan, Bernard berdiri sambil memegang segelas anggur. Tatapan matanya yang dalam dan dingin seperti kolam beku, mengunci sosok ramping itu dengan tajam.
Sania?
Kenapa dia bisa bersama Riko?
Mata Bernard menyipit, tatapannya menembus kerumunan, tepat mengunci pada sisi wajah perempuan itu.
Benar-benar dia.
Perempuan yang secara hukum masih menyandang status sebagai istrinya.
Tatapan Bernard mengikuti gerak langkah mereka, hingga akhirnya berhenti di depan pintu ruang VIP "Seroja".
Pintu ruangan itu tidak tertutup rapat, menyisakan celah sempit.
Seolah digerakkan oleh naluri, Bernard melangkah mendekat dan mengintip ke dalam melalui celah itu.
Riko duduk di kursi utama, dan di sampingnya, duduk dua orang wanita.
Salah satunya adalah Sania.
Dengan penampilan polos dan tenangnya seperti itu, mana mungkin dia adalah sosok legendaris, penuh misteri, dan penuh pengaruh yang dikenal sebagai "Dewi Nia"?
Bernard mencibir dingin dalam hati.
Sementara wanita yang satunya lagi terlihat lebih muda, dengan wajah yang masih menyimpan kesan kekanak-kanakan dan sikap menjilat. Jelas bukan dia sosok legendaris yang dibicarakan.
Jangan-jangan ...
Tatapan Bernard menyapu tajam ke arah pria muda di sebelah Sania, sosok yang tampak ceria, namun memancarkan aura yang kuat dan tak bisa diremehkan.
Apakah ... dia?
Dewi Nia itu?
Apa Dewi Nia sangat dekat dengan Sania?
Kenapa Sania tidak pernah menyebutkan ini padanya sebelumnya?
Perasaan gelisah mulai menyelinap di hati Bernard.
Tepat saat itu, ponsel Sania berbunyi. Dia membisikkan sesuatu pada Riko, lalu bangkit dan keluar sendirian.
Dia melangkah ke bagian lorong yang lebih sepi, bersiap untuk menjawab panggilan itu.
"Halo ... "
Belum sempat kata-katanya selesai, sebuah kekuatan besar tiba-tiba menariknya dengan paksa.
Dalam putaran yang cepat, Sania terhuyung dan menabrak dada seseorang yang keras dan hangat. Aroma alkohol yang kuat bercampur dengan wangi dingin yang begitu familier langsung menyergap indra penciumannya.
Itu Bernard!
"Sania, kamu sudah makin berani rupanya!"
Suara pria itu terdengar rendah dan dingin di atas kepalanya, penuh dengan sindiran dan amarah yang tak dia sembunyikan sedikit pun.
"Kalau aku nggak salah ingat, kita belum bercerai, 'kan? Tapi kamu sudah tak sabar lagi, buru-buru keluar mencari pengganti?"
Lengan Bernard mencengkeram pinggangnya seperti penjepit besi, begitu kuat seolah ingin menghancurkannya.
Sania merasakan nyeri yang menusuk.
Dia berusaha keras melepaskan diri, mendorong pria itu dengan sekuat tenaga, suaranya dingin dan menusuk. "Bernard, kamu gila ya? Lepaskan aku!"
Alih-alih melepaskan, Bernard justru mempererat pelukannya. Wajah tampannya semakin mendekat, dan di matanya berkecamuk emosi yang rumit.
Ada amarah, ketidakrelaan, dan sedikit rasa memiliki yang bahkan tak dia sadari sendiri.
"Aku gila?"
Dia tertawa dingin.
"Apa menurutmu aku hanya bisa diam saja melihat istriku sendiri tertawa-tawa dengan pria lain?"
"Pak Bernard, kamu benar-benar pelupa ya. Apa kamu lupa kita sedang mengurus perceraian?"
Sania menatapnya tanpa gentar, mendongakkan kepala dan menantang balik dengan tatapan tajam. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Lagi pula, sejak kapan kamu punya perasaan sedalam itu padaku?"
Mata dingin Bernard menyipit, menatap tajam wajah cantik Sania. Tiba-tiba, bayangan memikat muncul di benaknya.
"Kamu tahu ... kapan aku mulai nggak bisa melepaskanmu."
Sania tertegun sejenak. Sesaat kemudian, rona merah merekah di pipinya.
Sejak kapan pria ini jadi sebegitu tak tahu malu?
"Pak Bernard, kamu menahanku di sini ... bukan cuma untuk mengingat masa lalu kita, 'kan?"
Bernard akhirnya melepaskannya, dan kembali menunjukkan sikap dinginnya seperti biasa. "Kamu sangat akrab dengan Riko, ya?"
"Memangnya kenapa ... ?"
"Kalau begitu, kamu pasti tahu siapa sebenarnya 'Dewi Nia', 'kan?" Akhirnya, Bernard mengungkapkan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.
Sania menatapnya dengan senyum setengah mengejek. "Ternyata, Pak Bernard juga tertarik pada Dewi Nia, ya? Oh, aku hampir lupa Grup Ferdian juga punya bisnis di bidang medis."
Tapi Bernard tak ingin bercanda dengannya. Dia langsung mengajukan tawaran. "Asal kamu bisa memberitahuku siapa Dewi Nia itu sebenarnya, aku akan ubah isi perjanjian cerai. Kamu bisa dapat tambahan 400 miliar."
Sania menyilangkan tangan di depan dada, menatapnya seolah sedang mengamati seekor monster langka.
"Hmm ... mengingat nilai komersialnya yang luar biasa, kalau Grup Ferdian bisa bekerja sama dengan Dewi Nia, peluang bisnisnya tentu nggak terhingga. Untuk sosok Dewi Nia yang sebesar itu, tawaranmu terdengar agak pelit, Pak Bernard."
Untuk pertama kalinya, Bernard benar-benar melihat wanita ini dengan jelas. Ternyata selera bisnisnya tidak kecil.
Bernard mengulurkan tangan dan mendorong Sania ke tiang besar di belakang. Sepasang mata tajamnya menatap lurus pada wanita itu, tanpa berkedip. "Kamu mau berapa?"
Sania langsung mendorongnya menjauh dengan paksa. "Pak Bernard, sebaiknya kamu bersabar. Bulan depan, di forum medis, kamu akan melihat Dewi Nia yang asli. Dan sekarang, kamu belum cukup mampu untuk berurusan dengannya."
Tatapan Bernard mengunci erat mata indah Sania yang bercahaya tajam, mengandung ancaman yang tak tersamar. "Sania, kamu berani menolakku?"
"Pak Bernard, di dunia ini masih banyak hal yang nggak bisa kamu beli dengan uang."
Sania menatap balik dengan sorot dingin, tak tergoyahkan.
Wanita ini selalu punya cara untuk dengan mudah memancing amarahnya.
Wajah Bernard langsung berubah gelap, seolah bisa meneteskan air karena murkanya.
"Sania, jangan lupa siapa dirimu! Dalam perayaan ulang tahun Grup Ferdian, Kakek secara khusus menyebut namamu untuk hadir. Kuharap, kamu nggak akan mengecewakannya."
Bernard merapikan kerah jasnya yang sedikit kusut, kembali menampilkan sikapnya yang angkuh dan superior. Suaranya terdengar seperti perintah, tak memberi ruang untuk bantahan.
Lagi-lagi kakeknya!
Sania hanya mencibir dingin dalam hati.
Pria ini selalu menjadikan sang kakek sebagai tameng untuk menekannya. Tapi kali ini akan jadi yang terakhir.
Sania menarik napas dalam-dalam, menekan kegelisahan di dalam hati, namun wajahnya tetap dihiasi senyum palsu yang sempurna.
"Tenang saja, Pak Bernard. Namanya juga akting, aku tetap akan menjalankannya. Aku nggak akan mempermalukanmu."
Selesai berkata demikian, dia bahkan sedikit menganggukkan kepala dengan anggun, seolah-olah konflik hebat barusan tak pernah terjadi.
"Kalau nggak ada urusan lain, aku pamit dulu, Pak Bernard."
Dia berbalik dan berjalan menuju ruang VIP "Seroja" tanpa menoleh sedikit pun. Sosoknya tegap dan penuh ketegasan.
Bernard tetap berdiri di tempat, menatap pintu yang tertutup di belakangnya. Pintu itu memutus seluruh pandangannya terhadap wanita itu.
Dia mengepalkan tinjunya erat-erat hingga urat-urat di punggung tangannya menyembul tajam.
Sialan!
Bagaimana mungkin dia bisa dibuat marah oleh wanita itu?
Bernard segera mengeluarkan ponselnya dan cepat-cepat menekan sebuah nomor. "Tahan dulu surat cerainya. Kirimkan setelah perayaan ulang tahun perusahaan."
Di seberang telepon, Joel tampak kebingungan. Tanpa sempat banyak berpikir, dia segera memutar balik mobil untuk mengambil kembali dokumen yang baru saja dikirim.
Bernard kembali ke ruang VIP, langkahnya tiba-tiba terhenti.
Ruangan itu kosong. Tak ada Ciko, juga tak ada Karina.
Di udara masih tersisa aroma campuran makanan dan alkohol.
Di atas meja makan, hanya ada satu benda yang tertinggal. Sebuah ponsel milik Karina yang tergeletak sendirian dengan layar yang sudah mati.
Rasa cemas yang kuat seketika mencengkeram dirinya.
Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat.
"Karina?"
Dia memanggil dengan suara lantang.
"Karina!"
Yang menjawabnya hanyalah kesunyian yang mencekam.
Wajah Bernard langsung berubah drastis. Dia berbalik dengan cepat dan menerjang keluar dari ruang VIP.
Beberapa pengawal berpakaian hitam yang berjaga di depan pintu langsung menegang, ekspresi mereka menjadi serius.
"Ke mana mereka!" Suara Bernard dingin membeku, dipenuhi amarah yang nyaris tak terkendali.
Para pengawal saling berpandangan, jelas mereka juga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Cari mereka!"
Bernard membentak rendah.
"Tutup semua pintu keluar! Periksa setiap sudut tempat ini!"
Para pengawal segera menyebar, bergerak dengan cepat.