Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Seorang pelayan magang kebetulan datang mengantarkan camilan. Begitu mendengar ucapan itu, dia hampir menjatuhkan piring di tangannya dan menatap Nadine dengan kaget. Nadine meliriknya sekilas. Gadis muda yang cukup imut, sepertinya mahasiswa yang sedang kerja paruh waktu. Sepertinya agak familier? Namun sebelum Nadine sempat mengingat siapa dia, gadis itu sudah buru-buru meletakkan camilan dan pergi. Ekspresi Talia sempat terlihat jelek. Jari yang memegang cangkir kopi menegang sampai memutih karena terlalu kuat mencengkeramnya. Dia balik ke topik dengan nada penuh bermakna, "Nadine, jangan lupa, Bibi Maura masih terbaring di rumah sakit. Dia masih hidup berkat uang yang Ayah kirim tiap bulan ke rumah sakit." Rasa sesak dan marah membuat kebahagiaan Nadine hilang seketika, matanya menjadi tajam. Bibi Maura adalah pelayan yang ditinggalkan oleh ibu Nadine, yang mengikutinya dari Kota Gastro sampai ke Kota Trevora untuk merawatnya. Tiga tahun lalu, demi menyelamatkan Nadine, Bibi Maura berada dalam kondisi koma. Saat itu Nadine masih di bawah umur dan ayah Nadine menjadi wali Bibi Maura. Nyawa Bibi Maura ada di tangan ayah Nadine. Di sisi lain. Pelayan magang tadi masuk ke ruang istirahat, lalu buru-buru membuka obrolan WhatsApp dengan kakak sepupunya. [Kakak, transfer 100 juta, nanti aku kasih tahu bagaimana komentar Nadine tentangmu!] Dia juga mengirimkan emoji malu. ... Arvin baru saja pulang dari perjalanan dinas. Begitu masuk rumah, hal pertama yang dia sadari adalah semua sepatu wanita di rak sepatu sudah kosong. Asisten pribadinya, Dion Luken, berjalan di belakang sambil melaporkan pekerjaan, tapi tiba-tiba melihat bosnya mengangkat tangan, memberi isyarat agar dia diam. Arvin cepat-cepat memeriksa sekeliling dan menemukan semua barang pribadi Nadine sudah hilang. Wanita itu kabur! Arvin menggertakkan gigi belakang, rasa kesal membuncah di dadanya. "Nadine di mana?" tanyanya pada Dion. Mencari seseorang di Kota Trevora memang tidak mudah, tapi kabar justru datang dengan sendirinya. "Pak Arvin, Nyonya sedang di rumah sakit." Sebelum Dion menyelesaikan kalimatnya, Arvin langsung berdiri dan hendak keluar, "Apa terjadi sesuatu padanya?" Dion segera berkata, "Bukan,Nyonya pergi ke rumah sakit untuk menemui Pak Faro untuk menyelesaikan masalah antara Tuan Muda Owen dan Tuan Muda Justin secara pribadi." ... Di rumah sakit. "Pak Faro, aku benar-benar minta maaf soal Tuan Muda Justin, tapi meskipun Owen masuk penjara beberapa tahun, tetap nggak akan mengubah tragedi yang sudah terjadi. Aku dengar cucu Anda ingin masuk SMA di Sekolah Harro Enland. Saat aku sekolah di sana, guruku punya kedudukan cukup tinggi di dunia pendidikan. Aku bisa minta bantuannya surat rekomendasi untuk cucu Anda." Nadine mulai dengan permintaan maaf, kemudian menawarkan keuntungan. Keluarga Zarlen adalah orang kaya baru yang tidak berpengaruh. Mereka bisa saja mencari surat rekomendasi lewat jalur lain, tapi utang budi di dunia bisnis sulit dilunasi. Jelas, tawaran Nadine jauh lebih menguntungkan. "Nyonya Nadine, tawaran Anda memang menggoda, tapi ...." Pak Faro merentangkan tangan dengan pasrah. "Keluarga kami hidup dari kerja sama dengan Pak Arvin. Mungkin sebaiknya Anda diskusikan dulu dengan Pak Arvin?" Maksudnya sangat jelas, Arvin menolak penyelesaian damai. Pak Faro harus mendengarkan Arvin. Nadine langsung melajukan mobilnya kembali ke vila Morance. Arvin tampaknya baru pulang dari perjalanan bisnis, masih mengenakan kemeja. Hanya saja, dasinya dibuang begitu saja ke samping, beberapa kancing di bagian atas terbuka, memperlihatkan leher dan dada bidangnya. Dia bersandar di sofa pura-pura tidur. "Arvin, apa maksudmu?" Nadine masuk dengan marah. Arvin membuka mata saat mendengar suara dan Nadine sudah berdiri di depannya. Nadine yang sedang marah terlihat seperti anak kucing yang marah, tidak menakutkan sama sekali. Sejak pulang ke rumah dan tahu wanita itu kabur, kemarahan Arvin terus menumpuk. Tapi saat melihat Nadine sudah kembali ke rumah, amarah itu sedikit reda. Dia menyilangkan kaki, nada suaranya malas, "Nana, waktu itu kamu yang menggodaku. Sekarang sudah bosan dipakai, mau dibuang begitu saja? Kamu kira aku ini cowok bayaran?" Nana adalah nama kecil Nadine. Nadine mendengus dan memutar mata. Dia memalingkan wajah dan bergumam, "Cowok bayaran lebih patuh daripada kamu." Arvin memegang dagu Nadine, memaksanya menatap ke arahnya, pura-pura bertanya, "Kamu ngomong apa barusan?" Nadine yang tidak siap langsung kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tubuh Arvin. Kedua tangannya refleks menahan dada pria itu. Jarinya merasakan otot yang kekar dan detak jantung yang kuat, sementara hidungnya penuh dengan aroma tubuh Arvin. Nadine segera berdiri dan mundur beberapa langkah, berusaha bicara rasional. "Arvin, Owen adalah adik kandung Talia. Aku sedang membantu adik kandung Talia. Meski ingin menyulitkanku, nggak seharusnya sekarang, 'kan?" Perawatan Bibi Maura tidak boleh sampai terputus, begitu alat bantu napas dimatikan, nyawanya akan melayang. "Kamu berpikir berlebihan." Nada suaranya jelas berkata memang dia harus pilih waktu untuk menyulitkannya? "Terus yang kamu lakukan sekarang?" Nadine berpikir serius. "Kamu marah karena aku ajukan cerai?" Dia marah, jadi menyulitkannya. Arvin tetap diam, tatapannya dingin dan berat. Nadine mengangkat wajah cantiknya, tersenyum manis dan pura-pura bertanya, "Arvin, jangan-jangan kamu menyukaiku setelah tidur beberapa kali denganku?" "Ya." Arvin menjawab santai. Senyum Nadine membeku, menatapnya dengan tidak percaya, dan jantungnya berdegap kencang. Arvin menarik pinggang rampingnya dan menahan tubuhnya di pelukan, "Aku suka ... tubuhmu." Dia memberikan penilaian, "Sampai sekarang, aku cukup puas." Kata-kata yang penuh nada merendahkan itu membuat Nadine terasa seperti hanya sebuah alat, bukan manusia. Sama seperti setahun terakhir, sikapnya selalu dominan. Nadine mendorongnya dengan keras, wajahnya dingin. "Arvin, kamu bajingan!" Arvin tidak peduli dengan umpatan itu. "Nana, hanya istriku yang layak bernegosiasi dengan Keluarga Zarlen. Pilihan ada di tanganmu." ... Di bar, lampu warna-warni berkilau. Musik band di atas panggung memekakkan telinga. Nadine harus berteriak keras-keras agar bisa didengar sahabatnya. "Bukankah dia nggak waras? Bukankah seperti itu! Aku sudah berinisiatif mengajukan cerai dan pergi tanpa minta sepeser pun. Di lingkaran ini nggak ada calon mantan istri sebaik aku. Dia masih nggak puas juga?" "Waktu aku yang gegabah karena tidur dengannya! Itu salahku dan aku mengakuinya. Aku sudah banyak kali mengaku salah! Tapi dia masih saja menyindirku! Dasar orang gila!" "Dia sengaja membuatku kesal. Memangnya dia nggak ada kerjaan? Gila!" "Dari tadi kamu hanya bisa bilang gila." Ariel Liman, sahabatnya menggeleng dan kesal dengan etika baik Nadine. "Sayang, bisa nggak kamu belajar beberapa kata makian yang lebih pedas?" Nadine yang kesal langsung menenggak satu gelas whisky lagi. Emosinya membuncah, kepalanya pusing. "Nadine, pernahkah kamu memikirkannya kalau Arvin mungkin nggak mau bercerai denganmu?" Ariel tiba-tiba berkata. Nadine yang sedang minum tersedak dan matanya membulat karena kaget. Dua detik kemudian, batuk parah. Begitu bisa bernapas lagi, dia berkata dengan takut, "Kalau begitu berarti dia benaran nggak gila! Arvin punya orang lain di hatinya. Dulu dia menikahiku karena terpaksa. Kita semua tahu dengan itu." Setelah menikah, keesokan harinya Arvin langsung ke Amerikana untuk memperluas bisnisnya. Setahun kemudian, Nadine ke Enland sebagai mahasiswa pertukaran, barulah Arvin pulang dari Amerikana. Kalau dihitung, waktu mereka benar-benar hidup bersama belum sampai setahun. Terlihat jelas kalau Arvin benar-benar tidak menyukai Nadine Ariel yang melihat kondisi Nadine merasakan perasaan yang rumit dan dalam hati dia sudah memaki Arvin ribuan kali. "Sebenarnya siapa yang memberi tahu Nyonya Besar Amara sewaktu kamu dan Arvin bersama di ranjang waktu itu? Masa kalian belum sempat turun dari ranjang tapi sudah ketahuan? Aku nggak percaya kalau nggak ada yang lapor!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.