Bab 4
Nadine menopang dagu dengan satu tangan, seolah sedang berpikir serius.
Cahaya lampu neon biru menyinari sisi wajahnya yang cantik. Bulu mata panjangnya yang lentik bergetar, membuatnya tampak rapuh dan memikat.
"Siapa yang tahu? Bukannya semua orang yakin kalau aku yang sengaja bikin skenario sendiri, pura-pura jadi korban agar bisa menikah dengan Arvin?"
Meskipun mereka sudah menikah tiga tahun, bahkan sekarang sudah mau bercerai, Nadine sampai hari ini masih tidak tahu kenapa dulu dia bisa kebetulan tertangkap basah oleh Keluarga Wenusa saat di ranjang bersama Arvin.
"Sudahlah, abaikan saja orang-orang gila itu!" Ariel tersenyum lagi. "Mari kita rayakan kamu jadi jomlo lagi?"
...
Lantai dua, ruang VIP.
Orang-orang lain sedang heboh berpesta, hanya Arvin yang minum sendirian di sudut, tidak ada yang berani mendekat mengganggunya.
Elan Viero selesai menelepon, lalu langsung duduk di sebelah sahabatnya.
"Di bawah ada wanita yang mentraktir semua orang minum untuk merayakan statusnya yang kembali jomlo."
Arvin tidak tertarik sama sekali, bahkan tidak menengok sedikit pun.
Beberapa pria muda yang duduk di dekatnya langsung menjulurkan leher dan bertanya, "Siapa itu? Siapa?"
Orang yang bisa mentraktir satu bar seperti ini biasanya masih satu lingkaran sosial dengan mereka, hanya masalah akrab atau tidak.
Elan tampan dan kalem dengan aura santai seperti orang yang hidup hanya buat bersenang-senang,
Dia menjawab dengan santai, "Ariel."
"Ariel akan bercerai dengan Darren Harlot?"
Sekelompok orang bangkit, membuka pintu ruang VIP dan keluar menonton keseruan.
Begitu lagu selesai, vokalis berteriak lantang, "Sekali lagi, kami ucapkan selamat untuk sahabat nona ini yang sudah berhasil keluar dari kuburan bernama pernikahan! Selamat jadi jomlo lagi!"
Tunggu dulu.
Sahabat Ariel?
Orang yang dekat dengan Ariel dan sudah menikah, bukankah hanya Nadine?
Semua orang serentak menoleh ke arah pria yang duduk di sudut ruangan. Seketika bingung harus bereaksi apa.
Arvin sudah berjalan mendekat.
Di bawah penuh lautan manusia.
Dalam sekejap, Arvin langsung menemukan Nadine.
Nadine memakai gaun panjang dengan tali di leher, memperlihatkan leher jenjangnya yang indah. Bahkan dari jauh, postur dan auranya tetap luar biasa.
Dalam beberapa menit saja, sudah ada tujuh pria dan dua wanita yang coba mengajak kenalan.
Dia tetap populer seperti dulu!
"Kak Arvin, kamu ... mau cerai dengan Nadine?" Salah satu dari mereka tidak tahan dan bertanya.
Wajah Arvin biasanya selalu dihiasi senyum tipis, hanya senyum sopan untuk bersosialisasi.
Tapi kali ini, bahkan senyum tipis itu pun lenyap.
Dia menyalakan sebatang rokok, sambil mengangkat kelopak matanya, "Siapa yang bilang?"
Tatapannya sangat santai, tapi justru memancarkan tekanan.
Semua orang saling pandang, tidak ada yang berani jawab.
Bukankah barusan Ariel merayakan untuk Nadine?
Kalau bukan Arvin dan Nadine ... memangnya Nadine dengan orang lain?
Arvin menunduk mengetik pesan singkat di ponsel sambil menyandarkan satu tangan di pembatas dan menatap ke bawah dengan tenang seperti sedang menunggu sesuatu.
Tak lama kemudian ....
Wanita yang duduk di sofa lantai bawah berdiri dan menatap ke lantai atas. Lalu segera melihat Arvin yang berdiri di antara belasan tuan muda lainnya!
...
Sebelum orang-orang sempat menebak pikiran Arvin, terdengar langkah kaki.
Nadine yang mengenakan sepatu hak tinggi putih melangkah mendekat. Ujung gaunnya bergoyang lembut mengikuti gerak tubuhnya. Itu adalah pemandangan yang memukau, kalau mengabaikan wajahnya yang dingin.
Meskipun dingin, wajahnya tetap sangat cantik!
Beberapa pria hampir terpesona, tapi begitu sadar Arvin ada di situ, mereka buru-buru mengalihkan pandangan.
Nadine mengabaikan semua orang dan berdiri di depan Arvin. Tatapannya tajam, seolah ingin menembusnya.
Dia mengeluarkan ponsel, mendekatkan pesan yang baru diterimanya ke wajah Arvin dengan jari memutih karena menggenggam terlalu keras.
Isi pesannya, [Pengacara Owen sudah siap?]
Kelihatannya seperti perhatian.
Tapi sebenarnya itu ancaman!
Efek alkohol membuat emosinya tak terkendali. Nadine menarik dasi Arvin dengan kasar dan langsung melontarkan isi hatinya.
"Arvin, apakah kamu gila?"
Lirik lagu terdengar dari lantai bawah.
"Masih untukmu, kudaki bukit dan berziarah. Seperti biasa, kukenakan jubah putih untukmu."
Arvin berdecak pelan, "Nyonya Nadine, orang yang nggak tahu situasinya, mungkin berpikir aku sudah mati."
Lirik itu memang seperti lagu untuk mantan yang sudah meninggal!
"Aku nggak mengerti apa yang kamu bicarakan." Nadine mengangkat dagu, pura-pura tidak tahu.
Lalu dia menarik pergelangan tangan Arvin dan menyeretnya ke ruang kosong di sebelah, "Ayo, bicara di sana!"
Dia tidak ingin membicarakan hal pribadi di depan umum.
Arvin menatap tangan mungil yang menariknya, tapi tetap berdiri di tempat, tidak bergerak sedikit pun.
Sentuhan hangat dan lembut di pergelangan tangan, membuat pikiran orang berpikir jauh.
Nadine tidak bisa menariknya, jadi memelototinya, "Ikut aku!"
"Nyonya Nadine, dengan hubungan kita sekarang, tarik-tarikan seperti ini nggak pantas."
Arvin mengingatkannya soal perceraian.
Sikap Arvin santai, menunduk melihat wanita di depannya. Senyum tipis di bibirnya tampak elegan tapi malas. Beberapa tuan muda lainnya mengira Arvin sedang dalam suasana hati yang baik.
"Aku dan Anda pasangan sah. Apa yang nggak pantas?" Nadine balas dengan senyum sinis, bahkan memakai kata Anda dengan nada menyindir.
Arvin tidak menanggapi dan hendak mengisap rokoknya.
Nadine menempelkan tangannya di dada pria itu, lalu tiba-tiba mendekat!
Bibir merahnya hanya sejengkal dari bibir tipis pria itu. Tangan Arvin yang memegang rokok langsung berhenti di udara. Ujung rokok menyala redup di udara, seperti jantung yang bergetar pelan.
Mata Nadine menggoda dan napasnya hangat, "Arvin, meski sekarang aku menciummu secara paksa di depan mereka, tetap nggak ada yang kurang pantas, 'kan?"
Ahhh ... cium paksa!
Menantang sekali!
Orang-orang di sekitar ingin sekali bersorak, tapi karena orang itu Arvin, mereka hanya bisa menahan rasa ingin tahu dan memalingkan wajah melihat ke atas.
Saat jaraknya semakin dekat, Arvin mencium bau alkohol di tubuh Nadine.
"Kamu minum?"
Arvin tidak tahu Nadine minum berapa banyak, tapi jelas sudah mabuk. kalau tidak, Nadine tidak mungkin bicara begitu di depan umum. Biasanya gadis itu sangat kaku soal tata krama.
Arvin menunduk sedikit. Mata bulat Nadine berkilau, pipinya memerah, dan bibirnya mungil. Tulang selangkanya terlihat jelas dengan kulit putih halus. Semuanya sangat menggoda.
Arvin tiba-tiba memadamkan rokok. Lalu melingkarkan lengannya di pinggang ramping Nadine dan tanpa banyak bicara, menyeret wanita itu masuk ke ruang VIP kosong di sebelahnya.
Nadine tidak setinggi Arvin, jadi hampir diangkat pergi.
"Arvin! Arvin, lepaskan aku ...."
"Bruk!"
Suara lembut wanita itu langsung teredam ketika pintu tertutup.
Beberapa tuan muda saling pandang.
"Jangan-jangan mereka berantem?"
"Coba bayangkan saja, wanita yang dulu menjebakmu agar menikah dengannya dan mengutukmu mati, memangnya kamu bisa menahan diri untuk nggak memukulnya?"
"Sudah, sudah!" Elan tertawa dan menyela mereka. "Bersenang-senang saja! Jangan ikut campur urusan orang!"
Dulu sewaktu Nadine kuliah di Enland, Arvin diam-diam mencarikan teman sekamar yang pandai memasak makanan kampung halaman untuk Nadine. Dia takut Nadine kelaparan karena tidak cocok dengan makanan Enland.
Arvin tidak memberi tahu Nadine soal itu.
Dengan sikapnya yang seperti itu, memangnya Arvin tega memukul Nadine?