Bab 5
Begitu masuk ke ruangan yang gelap, Nadine belum sempat menyesuaikan penglihatannya.
Detik berikutnya, tubuhnya sudah ditekan ke dinding dan bibirnya langsung disumbat!
Ciumannya ganas, seolah ingin menelannya hidup-hidup.
Nadine kesulitan bernapas dan berusaha mendorong tubuh pria itu.
Tak bisa didorong, badannya malah jadi lemas.
Rasanya begitu tidak berdaya.
Begitu Arvin melepaskan ciuman, mata cantik wanita itu sudah berkilau, tertutup kabut tipis.
Entah karena pengaruh fisik atau pikiran.
Tapi tatapan itu jelas penuh keluhan.
Setelah ciuman panas itu, aroma alkohol semakin kuat.
Hawa ambigu menyebar di udara.
"Dasar pemabuk kecil, bicara secara logika saja. Kamu yang minum duluan dan datang menantangku. Sekarang malah seperti tersakiti?"
Arvin merasa jengkel tapi juga geli, tangannya masih menyangga pinggang wanita itu supaya tidak jatuh.
Kamu yang minum duluan dan datang menantangku.
Kamu yang minum duluan dan naik ke tempat tidurku.
Nadine menunduk, tidak lagi menatapnya.
Arvin menyadari perubahan emosinya dan keningnya mengerut sedikit.
Dia seperti pemburu yang sabar, tidak bertanya, hanya menunggu Nadine bicara lebih dulu.
Setelah lama diam, suara gumaman Nadine memecah kesunyian.
"Kak Rainer nggak akan seperti ini."
"Apa kamu bilang?"
Wajah Arvin langsung berubah dingin.
"Sakit!"
Baru setelah Nadine meringis kesakitan, Arvin baru sadar kalau genggaman di pinggang wanita itu terlalu kuat, hampir menekan tubuhnya ke dada.
Arvin menyalakan lampu, ingin lihat ekspresi Nadine dengan jelas.
Dia bahkan sempat curiga, waktu mereka berciuman tadi, Nadine mungkin menganggap dirinya sebagai kakaknya ... Rainer Gupta!
Kedekatan yang sempat memanas di kegelapan langsung lenyap.
Sakit di pinggang membuat Nadine sedikit sadar. Dia mengusap wajahnya dua kali, memaksa dirinya tenang dan kesedihan di matanya langsung hilang.
Kata Kak Rainer barusan seolah hanya gumaman dalam mimpi.
"Arvin, demi hubungan kita dari kecil, bisakah kamu nggak ikut campur soal Owen?"
Kalau bukan karena Arvin ikut campur, Nadine sudah berhasil membujuk Keluarga Zarlen.
"Nadine, aku nggak pernah peduli hubungan pribadi."
Nada suaranya datar, seolah orang yang barusan menciumnya dengan agresif bukan pria itu.
Nadine mengangguk dan mentertawakan dirinya sendiri, "Benar juga, di antara kita memang nggak ada hubungan apa-apa."
Senyuman Nadine hilang, "Kalau begitu, kita bicarakan hal dewasa."
Arvin menaikkan alis, ekspresinya tenang tapi penuh rasa ingin tahu.
"Aku nggak seharusnya memilih lagu itu. Arvin, aku minta maaf."
Arvin tahu lagu itu bukan Nadine yang pilih, tapi Ariel. Nadine tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Namun karena dia melindungi sahabatnya, juga tidak mengungkapnya.
Dia sebenarnya tidak masalah dengan lagu itu.
"Kalau begitu kenapa kamu nggak mau bercerai?"
"Aku hanya nggak mau ribet."
Wajah tampan Arvin tersembunyi di bawah bayangan.
Nadine langsung mengerti.
Arvin bukan tidak mau bercerai dengannya.
Bahkan dia mungkin ingin segera bercerai dengannya!
Namun, dirinya yang merupakan istri sah tidak mengganggu hubungannya dengan Talia, bahkan di malam hari dia bisa memanfaatkannya untuk kebutuhan biologisnya.
Bercerai merupakah hal yang merepotkan dan masih belum perlu untuk sementara waktu.
Betapa konyolnya!
Nadine menarik napas dalam-dalam, "Lepaskan Owen. Selain nggak bercerai, kamu boleh ajukan syarat apa pun juga."
Pernikahan yang ada Talia, satu detik pun Nadine tidak mau bertahan lagi!
Arvin menatapnya dengan dingin, "Nadine, memangnya apa yang bisa aku incar darimu?"
Uang, bakat, koneksi.
Namun, Arvin tidak kekurangan semua hal itu!
"Memberi pilihan kesannya nggak tulus." Nadine tersenyum manis. "Asal nggak melanggar hukum, apa pun yang Pak Arvin mau, aku kasih. Bukankah lebih baik begitu?"
"Kalau ...." Arvin menatapnya datar dan berkata santai, "Aku mau kamu jadi selingkuhanku?"
Senyum Nadine langsung membeku.
Rasa percaya diri sebelumnya langsung hilang.
"Kita ini suami istri, mana ada istilah selingkuhanku?"
Arvin mundur dua langkah, bersandar santai di sandaran sofa, "Sudah bukan lagi setelah cerai."
"Arvin, kamu sengaja mempermalukanku?"
"Hanya menjelaskan fakta."
"Berapa lama? Nggak mungkin seumur hidup, 'kan? Owen nggak pantas membuatku mempertaruhkan seluruh hidupku. Aku masih mau menikah lagi."
Nadine pura-pura santai, seolah ini hanya negosiasi bisnis.
"Menikah dengan siapa? Pacar barumu?" Jari panjang Arvin menyentuh pipi Nadine dan berkata sinis, "Kalau dia tahu kamu jadi selingkuhanku, apakah dia masih mau denganmu?"
Nadine merasa terhina, wajahnya membeku, "Bukan urusanmu!"
Arvin menyilangkan tangan dan menatapnya santai.
Dia belum mendapatkan jawaban yang diinginkan, jadi tidak buru-buru bicara lagi.
Pemburu selalu memegang kendali.
Setelah waktu lama.
Wanita itu menarik napas panjang, seolah memutuskan sesuatu yang sangat berat dan memecah keheningan.
"Baik ... aku setuju! Aku setuju jadi selingkuhanmu!"
Dia lebih memilih menjadi selingkuhan daripada menjadi istri yang sah.
Arvin tiba-tiba tertawa.
Senyum yang tampak lembut itu sarat dengan ejekan.
Arvin berdiri, mencengkeram dagu Nadine, memaksa wanita itu mendongak menatap matanya.
"Nadine, kamu tahu apa artinya jadi selingkuhan?"
Saat Nadine melihatnya, senyumannya sudah hilang sepenuhnya, digantikan sorot mata hitam yang dalam, sehingga tidak bisa dibaca.
"Bukankah kamu bilang aku kurang ahli? Kenapa masih mau?"
Nadine terkejut dan langsung panik, "Kamu ... kamu tahu dari siapa?"
Kalimat itu hanya pernah dia katakan pada Talia, mungkinkah Talia yang memberitahunya?
Memangnya Talia gila?
Arvin sedang marah besar, jadi mengabaikan pertanyaannya, lanjut bicara dengan kejam.
"Hubungan tanpa status, kamu harus siap kapan pun aku minta, dan menuruti semua kemauanku?"
Wajah Nadine perlahan membeku, dipenuhi amarah dan kewaspadaan.
Arvin tersenyum tipis, mengingatkan, lihat, ini baru namanya penghinaan.
Arvin memang tidak peduli padanya.
Sekarang, dia hanya tertarik pada tubuhnya yang masih muda, itu saja!
"Plak!"
Suara tamparan nyaring terdengar seiring gerakan cepat tangan wanita itu.
"Arvin, kamu nggak tahu malu!"
Kepala Arvin sedikit miring karena tamparan itu. Dia mengusap sudut bibirnya dengan jari, tidak ada darah.
Dia menatap Nadine dengan dingin.
Nadine merasa seperti sedang ditatap oleh seekor binatang buas, seolah lehernya akan digigit sampai robek kapan saja.
Tapi dia tetap memaksa dirinya untuk menatap balik.
Dia sudah kenal Arvin lebih dari sepuluh tahun, belum pernah melihat Arvin ditampar dan dia yang pertama.
Namun pria itu tiba-tiba mengangkat alis dan berkata, "Nana, dengan temperamen ini, kamu masih mau jadi selingkuhanku?"
Sebelum kalimat itu selesai, Arvin sudah melangkah keluar dari ruang VIP.
Nadine langsung paham maksudnya.
Banyak wanita berebut ingin jadi selingkuhannya. Arvin jelas tidak tertarik dengan wanita keras kepala sepertinya!
Nadine berdiri di tempat dan meremas dengan gugup.
Dia telah merusak segalanya ....
Bibi Maura ... bagaimana dengan Bibi Maura?