Bab 9
"Nadine, diam!" bentak Fredi dengan keras.
"Sial! Kalian sungguh menyebalkan!"
Owen yang dari tadi sibuk main ponsel akhirnya berdiri, mengacak rambutnya yang berantakan dengan kesal, "Memangnya barang-barang Nadine nggak bisa dia simpan sendiri? Dia sudah dewasa, sudah menikah! Buat apa disimpan di rumah kita? Sekarang ambil saja semuanya! Ambil semua! Ribut terus bikin pusing!"
Nadine sangat senang.
Tujuan utamanya hari ini memang untuk mengambil kembali barang peninggalan ibunya. Tidak disangka Owen malah berpihak padanya?
Anggota Keluarga Wenusa yang lain langsung terdiam.
Sebagian besar barang peninggalan Aiko adalah barang mahal yang tak ternilai harganya. Tentu saja Nyonya Besar Virna, Fredi, Karina, dan Talia tidak mau mengembalikannya.
Nyonya Besar Virna paling cepat bereaksi. Dia menarik tangan cucunya, membujuk pelan, "Owen, itu kan uang kamu. Kalau Nadine bawa pergi, kamu mau hidup pakai apa nanti?"
"Nenek! Itu uangnya Nadine! Itu barang peninggalan ibunya, nggak ada hubungannya denganku!"
Sebelum kalimatnya berlabuh, Owen sudah mengangkat salah satu hiasan antik di dekatnya dan bersiap membawanya keluar. Dia menoleh ke arah Arvin, "Kakak Ipar, itu barang istrimu, kamu nggak mau bantu?"
Nada suara anak remaja itu terdengar ketus, tapi Arvin tidak marah. Dia malah ikut mengambil dua kotak perhiasan, tampak seperti kuli yang sabar.
Fredi ingin menghentikannya, tapi Arvin sudah bergerak. Lagi pula, semua barang itu memang peninggalan ibu Nadine. Sekarang ada masalah di sini, dia mana berani menahannya?
Dia bukan hanya tidak punya alasan untuk menahannya, tapi hanya bisa melihatnya saja.
Fredi menahan sakit hati dan akhirnya menyuruh para pembantu membantu memindahkan barang-barang. Tak lama kemudian, semua barang peninggalan sudah dimasukkan ke mobil Mercedes G-Class milik Nadine, memenuhi bagasi dan jok belakang.
Nyonya Besar Virna sampai meneteskan air mata karena hatinya sakit, serta memelototi Karina dan Talia dengan tajam.
Kalau bukan karena dua wanita sialan itu, mana mungkin jadi begini!
"Arvin, Nadine, sudah hampir jam makan siang. Makan di sini dulu, ya?" Fredi masih ingin mempererat hubungan dengan Arvin.
"Nggak perlu, nanti sore aku ada kelas." Nadine takut kalau makan di sini malah merusak pencernaannya.
Talia menatap Arvin dengan penuh harap, "Arvin, hari ini aku masak makanan kesukaanmu."
Talia malah menggoda calon mantan suaminya yang masih belum resmi bercerai, benar-benar menjijikkan. Nadine tidak tahan dan langsung memutar bola matanya.
Dia malas memedulikan calon mantan suaminya, jadi berbalik dan hendak pergi.
Tapi Owen terdengar berkata, "Tentu saja kakak ipar akan mengantarkan Nadine, memangnya dia akan sendiri di sini?"
Owen melihat Talia seolah berkata, apakah otakmu tidak waras?
Nadine hampir tertawa.
Dia baru sadar ternyata bocah ini lumayan lucu juga.
Di depan para senior Keluarga Wenusa, Nadine tersenyum penuh makna, "Kakak, kalau punya niat lain, tolong jangan ditunjukkan terlalu jelas, kurang pantas."
Wajah Talia berubah, tapi segera menenangkan diri.
Dia menghela napas pelan, seolah tidak berdaya menghadapi Nadine yang keras kepala, "Nadine, aku dan Arvin teman lama. Kamu seharusnya lebih dewasa, jangan salah paham, apalagi bicara sembarangan, nggak baik."
"Siapa yang memukul wajahnya?" Suara Arvin tiba-tiba terdengar.
Fredi yang sebelumnya masih sibuk memikirkan barang peninggalan almarhum istrinya langsung menegang. Keringat dingin bercucuran, mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengatakan apa-apa.
Arvin menatapnya dengan dingin, meski tidak bicara, tapi tekanannya sangat kuat.
"Hanya ... salah paham saja ...." Setelah beberapa saat, Fredi akhirnya membuka mulut dengan suara gemetar. Begitu sadar situasinya, dia buru-buru minta maaf. "Nadine, tadi aku terbawa emosi. Kamu juga tahu aku nggak ada maksud jahat! Aku janji, nggak akan terulang lagi. Sungguh, menantuku, kamu tenang saja!"
Saat melayangkan tamparan itu, Fredi sama sekali tidak menyangka kalau Arvin akan ikut campur!
Nadine merasa hal ini agak konyol dan lucu, matanya jadi sedikit panas.
Pria ini datang membela Talia, tapi sekalian peduli dan menanyakan siapa yang menamparnya.
Dia memainkan drama dengan baik.
Ketika melihat Nadine tidak bicara, Fredi lanjut berkata, "Nanti, Bibi Kirana akan membeli kembali gelang manik giok itu dari rumah lelang dan mengembalikannya padamu!"
"Baik." Nadine tahu kapan harus berhenti.
Bibi Maura masih di rumah sakit dan sekarang Fredi masih wali Bibi Maura. Dia tidak bisa berselisih dengan Fredi.
...
Saat barang peninggalan ibunya sudah kembali ke tangannya, senyum di bibir Nadine sulit disembunyikan. Tapi kalau tersenyum agak lebar, otot di pipi kirinya langsung tertarik. Dia kesakitan sambil menarik napas dalam-dalam.
"Diperlakukan nggak adil, tapi nggak mau mengadu?" tanya pria di kursi penumpang depan.
"Mau mengadu pada siapa? Kamu?"
Nadine baru saja mau menyindirnya, tapi teringat kalau barusan memang karena satu kalimat dari Arvin, sikap Fredi langsung berubah total. Jadi ucapan tajam yang sudah di ujung lidah akhirnya ditelan kembali.
Begitu teringat tamparan di bar malam itu, rasa bersalah tiba-tiba muncul di hati Nadine.
Dia pura-pura batuk kecil, "Ehem! Soal Keluarga Zarlen yang akhirnya mau mengalah, kenapa kamu nggak kasih tahu aku? Kalau tahu, aku juga nggak akan ...."
Tidak akan menamparnya.
Nadine menarik napas dalam, "Pokoknya, terima kasih ya ...."
"Bukan aku."
Arvin menangkap senyum senang yang tidak bisa disembunyikan di wajahnya, tapi segera menarik pandangan dan berkata, "Itu keputusan Kakek."
"Oh." Senyum di wajah Nadine menjadi kaku, lalu berusaha tampak santai, "Tetap saja Kakek yang paling baik padaku!"
Salahnya yang tidak tahu diri sehingga mempermalukan diri sendiri.
Dia asal ngomong kalau Nyonya Besar Amara yang membantunya, tapi ternyata yang bantu sebenarnya Tuan Besar Azriel. Ya, itu hampir sama.
"Aku nggak baik sama kamu?" tanya Arvin.
Nadine benar-benar bingung, "Kamu baik sama aku? Kamu sendiri merasa baik padaku? Kalau kamu baik, apa aku perlu dipermainkan olehmu semalam?"
"Nona Nadine, kalau kamu nggak mau jadi istriku, tentu nggak bisa menikmati hak-haknya."
Nadine baru mau balas, tapi ponsel Arvin berdering.
Dia mengangkatnya, "Talia."
Ekspresi senang Nadine langsung hilang. Bulu matanya yang panjang menutupi rasa sedih yang dalam.
Dia menatap pria itu dengan wajah lesu, sementara wajah Arvin perlahan menjadi serius. Setelah menjawab satu kata "baik", dia menutup telepon.
"Nadine, antar aku ke rumah Keluarga Wenusa," kata Arvin.
Nadine mendengus kesal sambil tertawa dingin. Amarahnya naik ke ubun-ubun.
Mereka baru keluar dari vila itu, tapi Talia sudah bikin masalah!
"Memangnya aku sopirmu? Aku baru saja membawamu keluar dari sana, sekarang kamu suruh aku mengantarmu kembali lagi? Apakah cukup mengantarmu kembali ke rumah Keluarga Wenusa? Arvin, bagaimana kalau aku sekalian mengantarmu ke ranjangnya?"
Arvin menatapnya penuh teguran dan memanggilnya lengkap, "Nadine Wenusa, tangan Talia terluka."
"Apa maksudnya?"
"Dia bilang, kamu nggak sengaja mendorongnya dan sekarang tangan kirinya mulai sakit."
Kapan dia mendorongnya ....
Tunggu dulu, sewaktu Talia menarik tangannya, dia memang menepis tangan Talia ....
Tapi tepisan seperti itu malah disebut mendorongnya?
"Kamu percaya omongannya?" tanya Nadine dengan nada getir.
Arvin menjawab datar, "Nana, aku percaya pada fakta."